Dokter baru harus diseleksi lagi untuk menjadi pegawai negeri. IDI tidak setuju peraturan baru itu diterapkan. DOKTER baru bakal sukar menjadi pegawai negeri. Di samping itu, mereka sulit memilih spesialisasi walau sudah menyelesaikan wajib kerja sarjana di udik. Kini, sistem kontrak justru dianggap menjerat mereka. Peraturan baru itu dibacakan Harly Soeradi, Sekretaris Jenderal Departemen Kesehatan, Jumat pekan lalu. Kemudian, delapan mahasiswa fakultas kedokteran yang terlambat hadir di sana menyambutnya dengan debat. Mereka yang tergabung dalam Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI) tidak puas terhadap peraturan yang baru diluncurkan itu. Bahkan, Gatot Abdul Razak, Ketua Senat Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, menyebutkan peraturan itu memperlakukan dokter makin tidak adil. Dokter, selain diwajibkan menunaikan kerja sarjana di daerah, statusnya juga sebagai pegawai tidak tetap. Lain sebelum sistem itu lahir, justru dokter baru bisa otomatis diangkat menjadi pegawai negeri. Dua hari sebelum pertemuan di Departemen Kesehatan itu, aksi mereka disulut di gedung Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jakarta. Agar peraturan itu adil, demikian ISMKI menilai, dokter baru dapat dibebaskan dari wajib kerja sarjana. Sebab, ada sarjana lain yang lulus 4,5 tahun langsung bisa mengambil doktor. "Mengapa kami tidak boleh?" tanya delegasi ISMKI. Peluang melanjutkan ke spesialis juga ditanya. Mahasiswa itu risau jika peraturan baru tadi mempersempit peluang menempuh jalur spesialis. Bagi dokter swasta yang ingin melanjutkan ke spesialis, misalnya, tentu dibutuhkan biaya tak sedikit. Untuk itu, mereka terpaksa mengandalkan sponsor. Swastawan belum tentu mudah membiayai dokter baru. Bahkan, pihak rumah sakit swasta lebih senang memakai dokter yang sudah spesialis. Mereka tak repot lagi merogoh kocek membiayai pendidikan seorang dokter baru. Harly Soeradi, yang didampingi Abednego Hadi Marjanto, Kepala Biro Kepegawaian Departemen Kesehatan, menjawab mahasiswa itu. Peraturan baru tadi, katanya, menjamin kehidupan profesi mereka sebagai dokter. Di situ ada janji proses penempatan dokter baru lebih cepat. Penumpukan dokter baru, karena tak ada formasi seperti selama ini, diharapkan tidak terjadi nanti. Sebagai pegawai tidak tetap, dokter baru bisa langsung dikirim ke tempat terpencil agar memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana. Dalam peraturan baru itu disebutkan: tiap dokter yang ingin menjadi pegawai negeri harus diseleksi. Ini untuk membendung dokter yang keterlaluan nakal agar tidak telanjur diangkat menjadi pegawai negeri. Maka, tes itu perlu, sekalian untuk skrining. Peraturan yang tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1991 yang diberlakukan 13 Agustus lalu itu, kata Harly Soeradi, merangsang dokter muda memilih untuk ditempatkan di daerah terpencil. Dokter yang berkubang di pelosok itu diprioritaskan menjadi pegawai negeri, lalu baru melanjutkan ke spesialis. "Ini supaya adil sehingga jangan sampai yang di tempat enak tetap mendapat bagian enak," tambah Harly. Begitu pula dokter swasta -- karena tak lulus jadi pegawai negeri -- diberi kesempatan mengambil spesialis. Mereka bisa memperoleh sponsor di tempat kerjanya, atau dengan biaya sendiri, kemudian baru mendaftar melalui Departemen P dan K. Dengan begitu, bagi dokter umum yang hebat, mereka bahkan bisa jadi rebutan. Namun, semua itu, katanya, tergantung kualitas dokter itu sendiri. Walaupun dokter baru itu sebagai pegawai tak tetap, menurut Menteri Kesehatan Adhyatma kepada Suara Pembaruan, mereka tetap dijadikan kepala puskesmas. Imbalannya sudah disesuaikan: Rp 250 ribu untuk mereka yang di daerah perkotaan, dan Rp 750 ribu sampai Rp 800 ribu untuk di tempat terpencil. Selama ini, dengan status pegawai negeri, imbalannya Rp 120 ribu, untuk daerah terpencil dan di perkotaan. Menurut Menteri Adhyatma, selama ini, dalam mengangkat pegawai negeri, Departemen Kesehatan merasa melanggar peraturan pemerintah karena dokter yang diangkat itu tanpa dites, tidak seperti calon pegawai negeri lainnya. Ketua IDI Pusat, Dokter Azrul Azwar, memaklumi bila dokter muda sulit menjadi pegawai negeri. "Hanya, kebutuhan dokter yang diperlukan pemerintah untuk ditempatkan di puskesmas sebenarnya berapa, sih?" tanya Azrul. Selama ini, tak ada pegangan pasti. Malah, dengan sistem kontrak itu, kata Azrul, Departemen Kesehatan menggantung nasib dokter. Artinya, setelah sistem tadi dijalani, barulah mereka diseleksi menjadi pegawai negeri. Mengapa kebutuhannya tidak ditentukan langsung, kemudian mereka itu diseleksi. Maka, ia heran, setelah menjalani wajib kerja sarjana, mereka harus pula menunggu sampai tiga tahun. Seorang dokter yang selesai bekerja di daerah kemudian baru mendaftar untuk pegawai negeri. Karena harus melewati seleksi lagi, prosesnya belum tentu cepat. Selama menunggu, kapan ia bisa spesialis? Menurut Azrul, "Makin lama para spesialis kita makin tua-tua. Jika begini, kapan majunya dunia kedokteran kita?" Mengapa seorang dokter tak disuruh menentukan pilihan: pegawai negeri atau swasta. Jadi, tak usah digantung selama tiga tahun. "Makanya, secara prinsip, IDI tak setuju pada konsep pegawai tidak tetap itu," ujar Azrul Azwar. Boleh jadi, tawaran pada dokter untuk mengejar status pegawai negeri nanti tidak lagi menarik. Di negara maju, daya tarik di swasta lebih besar daripada yang jadi pegawai negeri. Namun, di Indonesia swasta belum berkembang baik. Maka, menjadi pegawai negeri bagi dokter baru nampaknya masih primadona. Gatot Triyanto dan G. Sugrahetty D.K.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini