Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Memangkas Hasrat Seksual Pria

Kebiri tak hanya memangkas libido pria, tapi juga menurunkan kesehatan mereka. Risikonya bisa diminimalkan.

20 Juni 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DOKTER Johannes Soedjono beberapa kali kedatangan pasien pasangan suami-istri. Kepada dokter spesialis andrologi itu, para istri mengeluhkan libido suaminya yang tinggi. Bahkan beberapa istri meminta Johannes mengebiri (kastrasi) suaminya karena tak tahan melayani hasrat seks suaminya. "Mereka enggak kuat," ujarnya pada Kamis tiga pekan lalu.

Tapi Johannes enggan mengabulkan keinginan itu karena kesehatan laki-laki berpeluang besar merosot setelah dikebiri. Dalam jangka panjang, pria yang dikebiri bisa terkena penyakit diabetes hingga jantung akibat pengerasan pembuluh darah. Maka, alih-alih memberikan suntikan untuk menekan libido pasiennya, ia lebih menyarankan suami mengikuti bimbingan konseling untuk mengubah perilakunya.

Pengalaman serupa pernah dialami dokter spesialis andrologi Wimpie Pangkaliha. Seorang perempuan pernah memintanya untuk menurunkan nafsu seks suaminya karena sang suami memerkosa dua anak tirinya. "Suami juga merasa berdosa sehingga ingin menghilangkan nafsunya," kata Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Andrologi Indonesia ini, Kamis dua pekan lalu.

Setelah mereka memberikan persetujuan, Wimpie menyuntik suami perempuan itu. Dalam dua kali suntikan, gairah seksualnya sudah menurun. Tapi pria itu tak pernah datang kembali untuk disuntik. "Enggak tahu sekarang kabarnya bagaimana," ujarnya. Padahal, menurut dia, efek obat tersebut bersifat sementara.

Kebiri kimia (chemical castration) ini menjadi perbincangan hangat setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak pada 25 Mei lalu. Aturan itu menyebutkan kebiri kimia bisa diberikan sebagai hukuman tambahan kepada pelaku pelecehan seksual terhadap anak.

Menurut Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Peningkatan Pelayanan Akmal Taher, hukuman ini diberikan untuk menghilangkan libido para pelaku dengan menurunkan kadar testosteron dalam tubuh. "Sehingga keinginan seksualnya turun," tuturnya.

Testosteron memang dikenal sebagai hormon seks pada pria, tapi fungsinya tak melulu mengurusi masalah seks. Menurut Johannes Soedjono, hormon jenis androgen ini memiliki segudang manfaat untuk laki-laki, dari mempengaruhi otak, kulit, hati, jaringan lemak, otot, pembuluh darah, sumsum, sendi, tulang, ginjal, prostat, hingga penis.

Testosteron diproduksi oleh testis. Di tempat yang sama juga diproduksi sperma. Proses pembentukannya dimulai dari hipotalamus yang terletak di otak. Hipotalamus merangsang produksi gonadotropin-releasing hormone (GnRH), yang juga disebut dengan luteinizing hormone-releasing hormone (LHRH). Hormon ini kemudian merangsang kelenjar hipofisis yang terletak di otak untuk memproduksi luteinizing hormone (LH) dan follicle stimulating hormone (FSH). FSH merangsang sel sertoli di testis untuk menghasilkan sperma, sedangkan LH berinteraksi dengan reseptor sel leydig di testis untuk menstimulasi hormon testosteron.

Setelah testosteron diproduksi, hormon ini kemudian mengirimkan umpan balik dengan memberi sinyal ke otak untuk mengatur pelepasan LHRH. Sinyal ini memberi informasi, jika testosteron kurang, maka pelepasan LHRH akan ditambah. Sebaliknya, jika testosteron berlebih, LHRH yang dilepas akan lebih sedikit.

Untuk kebiri, LHRH inilah yang dihambat. Menurut dokter spesialis urologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Chaidir A. Mochtar, kebiri dilakukan dengan memberikan obat LHRH agonis, yang juga dikenal sebagai GnRH agonis. Obat yang sama diberikan kepada para penderita kanker prostat stadium lanjut untuk mencegah kankernya menyebar ke tempat lain. Obat ini akan bekerja sebagai kompetitor LHRH. "Dia memiliki persamaan bentuk dengan LHRH," ujarnya.

Setelah obat ini masuk ke dalam tubuh, LHRH agonis akan menempel pada reseptor LHRH. Pada tahap awal, reseptor akan menyangka LHRH agonis tersebut sebagai LHRH asli sehingga produksi testosteron akan meningkat tajam.

Tapi, setelah beberapa lama, hipofisis akan mengetahui bahwa yang menempel pada reseptor bukanlah LHRH sebenarnya. "Sehingga hipofisis akan menyangka bahwa tak ada perintah untuk memproduksi LH dan FSH," kata Chaidir.

Walhasil, testosteron pun tak dibuat. Kalaupun tetap diproduksi, jumlahnya sangat minim sehingga hasrat seksual pun menurun.

Tapi, karena fungsinya yang sangat banyak tadi, penurunan hormon testosteron ini juga memiliki dampak signifikan pada organ lain. Ada banyak hal yang menurun, di antaranya tanda maskulinitas seperti otot yang jadi mengendur, energi yang melemah, fungsi kognitif yang melambat, kepadatan mineral tulang yang menurun, dan gugup.

Menurut Johannes Soedjono, yang paling membahayakan adalah meningkatnya resistensi insulin dan meningkatnya adipositas atau jaringan sel lemak. Dua hal ini akan mengakibatkan obesitas perut, diabetes tipe 2, meningkatnya kadar lemak darah, dan hipertensi. Ujungnya akan mengakibatkan sindrom metabolik, yang akan menimbulkan kerusakan pembuluh darah. Jika pembuluh darah rusak, sejumlah penyakit, seperti jantung koroner dan stroke, berpotensi menyerang.

Penelitian pada penderita kanker prostat yang mengkonsumsi obat LHRH agonis menunjukkan bahwa kadar insulin melonjak 63 persen dalam waktu tiga bulan sehingga mereka akan gampang menderita diabetes. Massa lemak mereka meningkat, kadar lemak jahat (LDL) meningkat, kadar lemak baik (HDL) menurun, dan darah akan gampang menggumpal sehingga penderita akan mengalami penyumbatan pembuluh darah dalam waktu dua tahun. Selain itu, pembuluh darah akan rusak sehingga berpotensi mengalami serangan jantung.

Dari hasil perhitungan, risiko terkena diabetes tipe 2 meningkat 44 persen, penyakit jantung koroner 16 persen, terhentinya aliran darah dari arteri koroner sehingga menyebabkan sel jantung mati 16 persen, dan risiko kematian mendadak meningkat 16 persen. "Pria dengan testosteron rendah tiga kali lebih berisiko menderita sindrom metabolik dan 1,33 kali lebih berisiko meninggal," ucap Johannes.

Akmal Taher mengakui efek jangka panjang ini. Tapi ia mengatakan pemerintah berencana memonitor para terpidana yang akan diberi obat ini agar risikonya bisa diminimalkan. "Mesti dijaga supaya efeknya jangan sampai terjadi atau kalau terjadi bisa seminimal mungkin," ujarnya.

Menurut dia, para penderita kanker prostat yang diberi obat hormonal ini pun mengalami efek yang sama. Tapi para dokter memantaunya sehingga risiko yang tak diinginkan ini bisa teratasi.

Chaidir mengatakan pemantauan memang dilakukan. Biasanya para urolog bekerja sama dengan dokter spesialis lain, seperti spesialis penyakit dalam, untuk menghalau efek ini. Pasien juga diminta berdiet dan berolahraga agar lemak dan kadar insulinnya bisa terkontrol.

Nur Alfiyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus