Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Hantu Komunis

20 Juni 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketakutan sering tak masuk akal, termasuk takut pada komunisme. Menteri Pertahanan dan para jenderal memburu buku-buku tentang komunisme, membakar simbol-simbol komunis, membubarkan diskusi yang membicarakan soal itu, termasuk konon akan menginterogasi Patung Pak Tani di depan Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat.

Para jenderal menyerukan agar masyarakat waspada akan kebangkitan ideologi komunis dan Partai Komunis Indonesia, yang telah runtuh 51 tahun lalu. Artinya, PKI sudah tak ada dan dunia membuktikan bahwa komunisme sebagai ideologi, sistem politik dan ekonomi, telah melapuk, dan bangkrut, setelah Rusia pecah dan Cina serta Vietnam terbuka pada modal luar.

Dalam manifestonya, Karl Marx menulis sejak kalimat pertama bahwa komunisme adalah hantu. Ada hantu berkeliaran di Eropa-hantu komunisme, demikian tulis Marx. Jelas sekali perumusnya sendiri menyatakan bahwa komunisme tak riil. Ia hantu. Maka mereka yang ketakutan pada komunisme sesungguhnya takut pada yang tak ada, tak terlihat.

Mereka para pengidap "phasmophobia", demikianlah bahasa manusia menamainya. Ini istilah yang dilahirkan dalam ilmu kejiwaan untuk menyebut orang-orang yang takut pada hantu, meski bisa saja mereka belum bertemu dengan hantu. "Phasmophobia" adalah salah satu jenis ketakutan pada yang tak terlihat, sama seperti "philophobia" untuk menyebut ketakutan jatuh cinta.

Takut hantu adalah ketakutan paling tua, tapi istilahnya baru ditemukan pada abad ke-20. Bahasa Indonesia bahkan tak punya padanan dan istilah lokal. Kita menyerap "phasmophobia" begitu saja atau menunjukkan faktanya dengan frasa "takut hantu".

Sama seperti bau-bauan. Meski manusia menyukai bau tanah kering tersiram hujan pertama, istilahnya baru muncul pada 1964 ketika dua ilmuwan lingkungan, Isabel Joy Bear dan Roderick G. Thomas, menyebutnya dengan "petrichor". Mereka mengambilnya dari bahasa Yunani: petra (batu), dan ichor (cairan yang mengalir di dalam pembuluh para dewa). Sejak itu, harum yang menyenangkan itu memiliki nama.

Indonesia belum merumuskan padanan atau menamainya dengan bahasa lokal. Kita masih memakai petrichor, sebuah nama asing sehingga belum masuk kamus, padahal kita punya "ampo". Ini nama kue lempung yang dibuat orang-orang di sekitar perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Di sana orang menjemur lempung hingga kering lalu menyangrainya di gerabah kemudian memakannya sebagai camilan. Bau kue itu persis dengan harum petrichor.

Bahasa Indonesia belum sudi menjadikan hampo atau ampo sebagai padanan petrichor. Padahal ampo merujuk pada bau kue itu yang diterima saraf penciuman ketika dikunyah di dalam mulut. Kita, terutama para ahli di Pusat Bahasa, belum menyepakatinya untuk menamai harum tanah tersiram hujan pertama itu. Di kamus, "ampo" baru merujuk pada bendanya.

Bahasa menuntut kesepakatan para pemakainya karena terbentuk oleh saling serap antarpenutur bahasa lain. Bahasa yang terbuka biasanya bahasa yang dengan mudah menyerap bahasa lain tanpa ketakutan kehilangan identitas-betapapun ganjilnya kata ini. Toh, menurut Remy Sylado, sembilan dari sepuluh kata dalam bahasa Indonesia adalah asing. Dan bahasa daerah, selain Melayu, adalah bahasa asing.

Sebelum 1976, kita tak punya nama untuk menyebut "bebas dari rasa ketegangan", yang dinamai "relax" oleh orang berbahasa Inggris. "Bebas dari ketegangan" masih berwajah indo dengan pemadanan begitu saja dengan "rileks", sampai Bur Rasuanto mulai mengenalkan "santai" melalui majalah Tempo. Sejak itu pula keadaan "bebas dari rasa ketegangan" itu mendapat wajah baru dalam bahasa Indonesia. "Santai" adalah bahasa Komering di Sumatera Selatan, asal Bur.

Atau nama musik "dangdut", seperti sudah dibahas Bandung Mawardi di lembar ini. Putu Wijaya memakai "dangdut" untuk menyebut musik yang diserap dari musik India dengan kendang dan ketipung, sementara Remy memakainya untuk menamai kegiatan bersenang-senang secara seksual. Definisi yang dibuat Putu Wijaya yang kemudian lebih diterima.

Dari dua contoh di atas jelas sekali bagaimana bahasa bekerja sebagai alat ucap dan komunikasi manusia. Kesepakatan-kesepakatan itulah yang membentuk definisi dan pengertian baru atas sebuah situasi, benda, keadaan, keinginan, dan sesuatu yang nyata dan tak kasat mata, kecuali istilah "takut hantu". Kita belum memikirkannya atau belum membuat dan menyepakati nama yang pas untuk menyebut perasaan itu. l

Bagja Hidayat (Wartawan Tempo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus