Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sergius Mencari Bacchus
Penulis: Norman Erikson Pasaribu
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, April 2016
Tebal: 70 halaman
Buku puisi Sergius Mencari Bacchus karya Norman Erikson Pasaribu, yang menjadi juara pertama Sayembara Manuskrip Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2015, sebenarnya tengah menguji seberapa jauh penjelajahan bentuk dan isi puisi Indonesia mutakhir. Ketika puisi liris masih terus mendominasi, ia hadir dengan sehimpunan puisi naratif, yang kerap mengabaikan permainan bunyi yang programatik dan metafora yang canggih. Ketika subyek lirik puisi Indonesia mutakhir berpretensi menjadi pemburu sunyi, ia justru menghadirkan manusia urban yang riuh dan banal. Suara subyek liriknya terdengar sangat personal, tertindas, antihero.
Semua itu terjadi karena yang diajukan Norman adalah suara kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT)-warga negara Indonesia yang masih mengalami ketidakadilan karena preferensi seksual mereka. Norman bersuara untuk mereka yang telah ditolak atau diasingkan dari lingkungan masyarakat "normal-heteroseksual". Semua itu berlangsung dalam nada minor-jauh dari kesan gagah atau heroik. Bandingkanlah, misalnya, dengan Rendra ketika melakukan pembelaan terhadap pelacur lewat puisi "Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta".
Puisi pembuka, "Puisi", memberi kita beberapa kemungkinan makna. Bahwa puisi dalam bentuknya yang termutakhir adalah prosa, penyingkapan kebenaran, pernyataan politik. Meski penataan lariknya masih menggunakan bentuk puisi liris, larik demi larik dalam puisi itu sama sekali tidak mendukung permainan bunyi, tapi "kisah" tentang seorang suami yang homoseksual. Repetisi dalam puisi itu digunakan untuk menekankan sesuatu yang sangat penting untuk diungkapkan: "Waktunya menceritakan yang habis dalam gelap-menunjukkan apa yang tersisa."
Puisi itu bukanlah satu-satunya puisi yang mengajukan motif LGBT-masih ada tak kurang dari 13 puisi lain. Bahkan puisi yang menjadi judul buku ini, "Sergius Mencari Bacchus", adalah penafsiran ulang atas kisah Sergius dan Bacchus, dua santo dari zaman Romawi, yang kelak menjadi ikon penting kaum gay. Dengan kata lain, Norman sedang mencari sandaran historis, bahkan biblikal, nasib kaum LGBT hari ini.
Di tengah dominannya puisi bermotif LGBT, Norman sebenarnya memberikan puisi lain yang cukup menjanjikan. Sebutlah puisi "Merebus Mie Instan di Ujung Pelangi", "Pembukuan Berbasis Aktual", atau "Ragam-Macam Payung Beserta Karakteristiknya". Puisi-puisi ini memang tidak bertumpu pada permainan bunyi yang programatik atau metafora yang canggih, tapi justru bertahan pada kesederhanaan ungkapan, kebeningan pesan, tanpa harus kehilangan segi-segi puitis yang penting. Misalnya larik-larik terakhir "Merebus Mie Instan":
di ujung pelangi tak ada apa-apa.
Ia bahkan bukan lukisan-
sungguh hanya tipuan cahaya.
Karina-yang dulu bilang kepadamu Aku sedang menggedor pintu sorga, semoga kelak dibuka-lupa
bahwa kita semua adalah titik-titik air
yang pasti jatuh ke tanah, tetapi belum.
Dan kasih adalah Cahaya.
Dan Kasih adalah cahaya.
Jika saja Norman bisa bertahan lebih lama dalam bentuk-bentuk dengan kualitas seperti ini, mungkin akan lebih banyak kesegaran yang ia tawarkan. Dengan kata lain, ia butuh lebih gigih lagi memadatkan, bahkan menyuling, kalimat-kalimat dalam puisinya. Namun ia telanjur memilih puisi naratif. Sebab utamanya, bagi saya, puisi-puisi Norman selalu mengacu pada peristiwa, bahkan peristiwa besar dalam sejarah dan Kitab Suci, di samping pada banalitas kehidupan pascamodern. Semua ini mendesak ia untuk, tidak bisa tidak, menggunakan nalar puisi naratif. Karena menyuarakan kaum yang terus-menerus mengalami ketidakadilan, ia tidak memerlukan bahasa puisi yang kelewat metaforis.
Sementara itu, dalam skala kecil, puisi-puisi Norman masih mengacu pada lukisan suasana-sesuatu yang khas dalam puisi lirik. Penataan tipografi yang khas dengan larik-larik yang hemat kata tapi penuh tenaga, sebagaimana dalam kutipan di atas, membuat puisi-puisi jenis ini punya pesona tersendiri.
Apa yang segar, jika bukan baru, dalam Sergius Mencari Bacchus adalah kesungguhan penyair untuk meluaskan medan penjelajahan puisi Indonesia mutakhir. Bahwa ia memilih menyuarakan suara kaum minoritas LGBT, itu tindakan yang cukup berani dan baru dalam puisi Indonesia. Hari ini puisi Indonesia kembali menemukan wilayah tematik baru dan itu diupayakan dengan penuh kesungguhan oleh seorang penyair yang lebih dulu dikenal sebagai penulis cerpen.
Zen Hae, penyair dan kritikus sastra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo