Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Babeh, begitu dia biasa disapa, terdiam sekian detik sewaktu ditanya tahun berapa ia hijrah ke Jakarta. Pria asal Ciamis, Jawa Barat, ini benar-benar lupa sama sekali saat pertama kali meninggalkan kampung halaman mengadu nasib di Ibu Kota. "Pokoknya, zaman masih muda," kata pria berusia 59 tahun ini, akhirnya.
Lupa saat mulai merantau masih bisa dimaklumi. Tapi ternyata Babeh juga lupa tanggal keramat saat menikahi perempuan idamannya. Jangankan tanggal, tahunnya saja ia tak ingat. Tapi pedagang kopi di Salemba, Jakarta Pusat, itu punya cara menerkanya. Kata dia, anaknya sudah lulus kuliah, dan sekarang usianya 24 tahunan. Jadi, dia menikah, "Ya, setahun sebelum itu," katanya terkekeh.
Saat tertawa itulah terlihat sebagian giginya sudah ompong. Jumlahnya tak tanggung-tanggung, hampir separuh geliginya musnah. Dia mengaku sejak kecil memang jarang membersihkan gigi. Ketika perangkat untuk menggigit itu sakit, dia emoh pergi ke dokter. Alih-alih, ia memilih pengobatan dengan meneteskan getah kamboja. Ternyata cara ini malah membuatnya cepat ompong. "Giginya jadi lekas ambrol," katanya.
Kehilangan lebih dari selusin alat pengunyah itulah yang bisa jadi membuat Babeh jadi pelupa—bahkan menjurus pikun (demensia). Ini sesuai dengan hasil penelitian ahli dari Huashan Hospital, Fudan University, Shanghai, Cina, yang menemukanbahwa orang lanjut usia (lansia) yang kehilangan gigi lebih dari 16 buah akan mengalami demensia. Hasil riset yang menelisik 3.036 lansia itu dipublikasikan pada Maret lalu. Sebuah riset di Jepang (2010) juga menyimpulkan hal serupa. Disebutkan bahwa lansia yang kehilangan gigi akan mengalami penurunan fungsi kognitif.
Bagi sebagian masyarakat Indonesia, kehilangan gigi pada usia lanjut dirasakan wajar belaka. Ada anggapan bahwa ompong merupakan efek penuaan. Jadilah, kebanyakan dari mereka pasrah saja menerima nasib gigi-geliginya rontok. Riset menunjukkan banyak orang yang belum mencapai umur 60, giginya yang tersisa kurang dari 20. "Padahal alat kunyah ini sebenarnya bisa dipertahankan," kata Roro Asyurati Asia, dosen Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Jakarta.
Rati, demikian dia disapa, belum lama ini berhasil menuntaskan disertasinya di Fakultas Kesehatan Gigi Universitas Indonesia. Dia berhasil membuat indeks pengukur prediksi kehilangan gigi pada lansia.
Pada orang dewasa, gigi berjumlah 32 buah. Badan Kesehatan Dunia Perserikatan Bangsa Bangsa (WHO) menyatakan agar bisa mengunyah dengan baik diperlukan minimal 20 gigi. Rati menegaskan kehilangan gigi lebih dari angka itu juga dapat menimbulkan masalah kekurangan gizi. Orang ompong terpaksa pilih-pilih makanan atas pertimbangan kemampuannya mengunyah.
Untuk mencegah kerontokan geligi tersebut, kini pasien bisa meneropongnya dengan indeks yang dikembangkan Rati. Untuk merumuskan indeks itu, sebelumnya dia meneliti 208 pria dan wanita berusia 60 tahun (atau lebih) di Depok dan Sukabumi, Jawa Barat; serta Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, pada 2012. Mereka dibagi dalam dua kelompok berdasarkan jumlah gigi yang tersisa. Kelompok pertama adalah mereka yang mempunyai gigi kurang dari 20. Sisanya kelompok yang giginya lebih dari itu. Rombongan terakhir ini dimaksudkan sebagai pembanding. Lalu gigi dan kesehatan mereka dicek serta diminta mengisi kuesioner.
Hasilnya, ada empat hal yang bisa dijadikan pengukur kemungkinan kehilangan gigi. Pertama adalah dugaan diabetes melitus. Penyakit sistemik ini menyerang seluruh tubuh, termasuk gusi. Diabetes akan beraksi ketika muncul luka padagusi sehingga membuat bagian penyangga ini sulit sembuh. Walhasil, makanan yang masuk ke mulut akan mengiritasi luka dan membuatnya bertambah parah. "Gusinya akan rusak, dan gigi pun akan gampang goyang lalu lepas."
Kedua adalah dugaan demesia. Orang yang pikun akan kesulitan menggosok gigi karena fungsi kognitifnya terganggu. Bahkan ia bisa lupa menggosok gigi. Karena faktor inilah kebersihan mulut mereka menjadi buruk dan menyebabkan gigi membusuk.Jadi, kepikunan bukan cuma dampak dari gigi berlubang. Tetapi sebaliknya, mereka yang sudah telanjur pikun dan masih bergigi sehat pun giginya akan berlubang.
Ketiga, kelainan jaringan penyangga gigi. Jarang menyikat gigi akan membuat sisa makanan bersarang di dalam mulut. Nah, sisa makanan ini lalu berinteraksi dengan bakteri dan protein pada air ludah untuk membentuk plak. Inilah penyebab utama gigi berlubang (karies) dan radang gusi.
Kalau tak dibersihkan, timbunan bakteri dalam plak akan menumpuk dan mengeras hingga menimbulkan karang gigi (kalkulus). Tumpukan ini biasanya menghuni permukaan gigi atau di atas gusi. Karang tak bisa dibersihkan hanya dengan menggosok gigi atau berkumur, tapi harus dengan bantuanscalingdi dokter gigi. Jika tak dienyahkan, karang akan menekan gusi dan membuatnya terbenam. Akibatnya, timbul jarak antara gusi dan gigi. Kurangnya pelekatan gigi ini akan membuat gigi goyang dan terlepas begitu saja.
Terakhir adalah masalah perilaku para lansia. Ini meliputi pengetahuan dan perlakuan mereka terhadap masalah kesehatan gigi dan mulut. Semakin tak peduli, kesehatan gigi akan semakin buruk.
Keempat penyebab itu mempunyai bobot skor berbeda. Sementara memiliki dugaan diabetes diberi skor 1, dugaan dimensia 2, perilaku yang buruk 1, dan kehilangan jaringan penyangga gigi 3. Jika nilainya lebih dari 4, muncul risiko kehilangan gigi lebih dari 12 buah. Itu artinya hanya akan tersisa kurang dari 20 gigi di rongga mulutnya.
Untuk mengurangi risiko itulah Rati menyarankan agar kesehatan mulut dijaga sedini mungkin. Caranya, menggosok gigi dua kali sehari dan memeriksakan ke dokter gigi minimal enam bulan sekali.
Bagi pengidap diabetes, kunjungan ke dokter dilakukan lebih sering, yakni 2-3 bulan sekali. Tujuannya agar kesehatan gigi tetap terjaga dan mengurangi kemungkinan luka. Untuk para lansia yang sudah mengalami demensia, diperlukan perawat atau anggota keluarga yang peduli dengan kesehatan mulut mereka.
Kalaupun giginya sudah menghilang, bisa dibuatkan gigi palsu. Tapi Rati mewanti-wanti agar gigi buatan ini dibikin oleh tenaga medis, bukan tukang gigi. Soalnya, banyak gigi karya tukang gigi yang tak memenuhi unsur kesehatan. Misalnya menggunakan bahan yang tak dianjurkan, seperti aluminium. "Ujung-ujungnya bisa bikin kanker mulut," ujarnya. Atau, pada saat pemasangan, gigi asli tak dibersihkan sebelum memasang gigi baru. Akibatnya, makin banyak kuman bersarang di dalam mulut.
Kopromotor disertasi Rati, Adang Bachtiar, mengatakan hasil penelitian itu bisa memberikan pemecahan dalam masalah pemeliharaan gigi lansia. Indeks prediksi tersebut bisa dipakai sejak usia dewasa agar geligi tetap yahud ketika sepuh menjelang.
Meski demikian, Adang berharap studi tersebut dikembangkan dan dievaluasi lagi dengan riset yang mengikuti perilaku orang selama bertahun-tahun. Ini untuk meyakinkan faktor prediksi tersebut. Namun yang sudah ada ini, "Tetap bisa dipakai untuk upaya promotif dan preventif," kata pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat UI tersebut.
Nur Alfiyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo