Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Mencegah Efek Angelina Jolie

Seorang dokter Indonesia mengembangkan pemindaian untuk tes kanker payudara. Menyeleksi pasien dari tes yang mahal.

7 Juli 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jawaban tegas keluar dari mulut Dewi Yulita. "Kalau hasil tes itu positif, saya buang payudara kiri saya," kata perempuan 43 tahun itu, Kamis dua pekan lalu. Ia berbicara tentang tes mutasi genetik bernama BRCA yang akan dijalaninya. Dari tes itu akan diketahui apakah dia masih memiliki "benih-benih" kanker. Jika ya, ia harus merelakan payudaranya yang tersisa.

Dewi adalah survivor kanker atau penderita yang bertahan hidup setelah berhasil menangkal keganasan perkembangbiakan sel kanker. Di tubuhnya pernah bersemayam kanker tiroid pada 1997, kanker payudara pada 2005, kanker paru, dan terakhir kanker otak pada 2009. Akibat kanker payudara stadium III-B, payudara kanannya diangkat.

Meski sudah sembuh, Ketua II Cancer Information and Support Center ini masih waswas apakah sel kankernya masih tumbuh, sel kankernya bermutasi, atau kankernya bisa menurun ke anaknya. Faktor genetis memang berperan besar pada Dewi. Neneknya dari pihak ibu meninggal karena kanker indung telur. Dua tantenya juga terkena kanker payudara.

Tes yang akan dijalani Dewi itu bertujuan mengetahui adanya mutasi gen penentu kanker payudara yang bersifat menurun. Kepopuleran tes ini mencuat sejak aktris Angelina Jolie pada 14 Mei 2013 menulis surat terbuka di New York Times tentang keputusannya mengangkat dua payudara karena punya mutasi gen BRCA1 dari sejarah kanker keluarganya. Ibunya menderita kanker indung telur pada usia 56 tahun dan bibinya didiagnosis positif kanker payudara pada umur 61 tahun. 

BRCA adalah kependekan dari BReast CAncer atau Broca. Ahli patologi Prancis, Pierre Paul Broca, adalah orang yang menemukan fenomena sifat kanker payudara yang terwariskan. Dari temuan Broca pada abad ke-19, penelitian terus berkembang hingga, pada 1994, ahli genetika dari Amerika Serikat bernama Mary-Claire King menemukan gen spesifik kanker payudara, yang diberi kode BRCA1.

Penemuan BRCA1 menggiring percobaan berikutnya pada 2001, yang berhasil menambah gen penentu kanker payudara kedua, yaitu BRCA2. "Kalau salah satu gen ini ditemukan bermutasi dalam tubuh, pemiliknya berisiko terkena kanker payudara dan kanker indung telur," ujar onkolog dari Rumah Sakit Dharmais, Samuel Haryono.

Kanker, Samuel menjelaskan, terjadi karena ketidakstabilan genetik yang disebabkan oleh adanya mutasi gen atau pengaruh faktor lingkungan. Akibat ketidakstabilan tersebut, sel-sel membelah tidak terkontrol hingga mendesak, bahkan memakan sel-sel normal.

Pada penderita kanker payudara, ada banyak gen abnormal yang menentukan terjadinya kanker di luar BRCA1 dan BRCA2. Di antaranya yang tenar adalah gen ATM, gen P53, gen CHEK2, gen PTEN, gen CDH1, dan GenPALB2. Cuma, memang hanya BRCA1 dan BRCA2 yang memiliki faktor risiko tertinggi. Samuel mengatakan satu dari empat orang yang memiliki riwayat keluarga kanker payudara mewarisi mutasi duo gen tersebut. Ahli waris tersebut berisiko terkena kanker payudara hingga 87 persen dan kanker ovarium sebesar 44 persen sampai usianya 70 tahun. 

Kenapa terkena kanker ovarium juga? Hubungannya masih ditelaah hingga sekarang. Tapi pandangan ginekolog dan onkolog hingga sekarang, menurut Samuel, mengacu pada keberadaan hormon estrogen yang diproduksi di indung telur. Keberadaan hormon estrogen yang berlebih bisa memicu kanker payudara. Maka nantinya hasil pemeriksaan pun melibatkan ginekolog sebagai referensi masalah indung telur.

Karena efek Jolie, perempuan Amerika berbondong-bondong melakukan tes BRCA. Aktivitas ini membuat Unit Tugas Layanan Pencegahan Amerika Serikat (USPTF) sampai harus mengeluarkan peringatan dengan rekomendasi D. Maknanya tes tersebut tidak bermanfaat untuk dilakukan. "USPTF melarang tes BRCA pada perempuan yang tidak punya sejarah mutasi gen BRCA1 dan BRCA2 di keluarganya," tulis mereka dalam situs resminya pada 23 Desember 2013.

Pemeriksaan genetik memiliki banyak metode pemindaian. Ragam cara ini dikembangkan dan disesuaikan berdasarkan kebiasaan suatu negara. Samuel pun mengembangkan salah satu teknik bernama SAMANDA, yang diambil dari Screening Approach of Mutation Analysis Needs Data Assessment.

Kelebihan tes milik Samuel ini adalah dia menetapkan sejumlah kriteria khusus yang akan diberi skor angka. Kriteria utama yang dijadikan patokan antara lain memiliki riwayat keluarga yang terkena kanker payudara sebelum usia 50 tahun atau kanker ovarium di semua usia dan survivor kanker payudara yang terkena sebelum umur 35 tahun. "Kanker payudara yang terjadi di bawah 35 tahun itu biasanya keturunan," ujar Samuel.

Jika skor yang dikumpulkan dari kriteria-kriteria itu mencapai angka tertentu, pasien boleh menjalani tes BRCA. Di Indonesia memang tidak terjadi efek Jolie. Tidak ada perempuan sehat berbondong-bondong antre untuk dites BRCA. Namun pemindaian ala SAMANDA penting untuk menyeleksi orang yang benar-benar butuh tes BRCA. "Tes BRCA mahal, jadi harus selektif," kata Samuel tentang alasannya mengembangkan SAMANDA. Satu kali tes di Amerika dibanderol US$ 4.000 atau sekitar Rp 47 juta. Di Indonesia, biayanya dari Rp 17 juta, tergantung hasil pemindaian.

Jika hasil SAMANDA menunjukkan layak untuk uji genetik, sampel darah pasien diambil—sedikit saja, hanya 6 cc atau separuh tube jarum suntik. "Kami isolasi di laboratorium untuk diambil DNA-nya," ucap Kepala Laboratorium Kalbe Genomic Ahmad R. Utomo. Laboratorium ini bermitra dengan Samuel menyediakan jasa layanan uji genetik BRCA. Isolat DNA dari laboratorium tersebut kemudian dikirim ke klinik genetika Newgene di bawah lembaga kesehatan Inggris, National Health Service, yang berbasis di London. Dua bulan kemudian, baru pasien mendapatkan hasilnya.

Sebenarnya, kata Ahmad, Indonesia bisa saja melakukan uji ini. Hanya, untuk mendapatkan hasil dalam waktu dua bulan tidak memungkinkan, mengingat penguraian gen BRCA1 dan BRCA2 cukup panjang—lebih dari 100 pasang DNA yang harus diuraikan. Di Indonesia, belum ada alat yang memiliki teknologi Next Generation Sequencing, yaitu kemampuan penguraian satu gen dalam satu waktu, sehingga hasilnya bisa lebih cepat dan tentunya lebih murah.

Namun, Ahmad menambahkan, jika mutasi dua gen tersebut sudah ditemukan pada pasien, untuk pengujian anak-anaknya tidak perlu mengirim sampel ke London. Cukup di Indonesia karena lokasi cantolan gen mutasi dari ibunya sudah ditemukan, sehingga tinggal mencocokkan dengan sampel gen sang anak. 

Sewaktu hasil dikirim, pasien akan mendapatkan tiga informasi: positif mutasi, negatif mutasi, dan tidak jelas (uninformed). Yang positif jelas bahwa pasien akan menurunkan kanker payudara atau kanker ovarium ke anak-anaknya. Tapi untuk yang negatif, Samuel mengingatkan, bukan berarti pasien bebas. Lantaran tes ini hanya untuk BRCA1 dan BRCA2, bukan gen lain, "Setidaknya dia lega, risiko terbesarnya negatif," ujar Samuel. "Meski masih ada gen-gen lain, risikonya lebih kecil." Kajian khusus perlu diberikan pada hasil yang tidak jelas. Status itu, kata Samuel, berarti pasien mengalami mutasi dalam kondisi lemah.

Mereka yang mendapatkan hasil positif bisa memilih mastektomi atau pengangkatan payudara dan pengangkatan ovarium (ooforektomi). Mereka juga dapat memilih chemo prevention atau konsumsi obat-obat pencegah kanker, misalnya obat antihormon. Yang tak kalah penting adalah mempersiapkan keturunan dari pasien positif. Pencegahan ahli waris gen abnormal, yaitu anak, dilakukan dengan perbaikan gaya hidup dan pemindaian rutin. "Gen yang bermutasi ini bisa saja tidak muncul kalau sistem kekebalan tubuh bagus," ucap Deputi Direktur Lembaga Molekul Biologi Eijkman Indonesia Profesor dr Herawati Sudoyo.

"Saya pribadi sudah siap dengan hasil tes itu. Yang saya butuhkan adalah kesiapan untuk konseling bagi anak-anak saya," kata Dewi, yang memiliki sepasang putra dan putri.

Dianing Sari


Pemeriksaan Genetik SAMANDA

  • Kriteria utama yang dijadikan patokan antara lain memiliki riwayat keluarga yang terkena kanker payudara sebelum usia 50 tahun atau kanker ovarium di semua usia dan survivor kanker payudara yang terkena sebelum umur 35 tahun.
  • Jika hasil SAMANDA menunjukkan layak untuk uji genetik, sampel darah pasien diambil—sedikit saja, hanya 6 cc atau separuh tube jarum suntik.

    Tes BRCA

  • Isolat DNA dari laboratorium tersebut kemudian dikirim ke klinik genetika Newgene di bawah lembaga kesehatan Inggris, National Health Service, yang berbasis di London. Dua bulan kemudian, baru pasien mendapatkan hasilnya.
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus