Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENDAPAT mandat konstitusi sebagai auditor negara, Badan Pemeriksa Keuangan semestinya berada di garda terdepan menyingkap penyelewengan uang negara. Dalam bertugas, para auditornya harus bertindak seperti detektif: mencari yang tersembunyi, menelisik yang belum terungkap.
Peran itu tak dilaksanakan ketika lembaga tinggi negara ini memeriksa laporan keuangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat tahun 2013. Tak menguliti temuan penyimpangan yang penting, BPK memberi pendapat wajar tanpa pengecualian, kategori tertinggi nilai hasil pemeriksaan.
Mengabaikan fungsinya sebagai lembaga pemeriksa yang bebas, mandiri, dan profesional, BPK dituding merekayasa hasil pemeriksaan. Kesalahan pencatatan dana bantuan sosial sekitar Rp 6 triliun di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2013 yang terindikasi menyimpang "disembunyikan" oleh petugas BPK Perwakilan Jawa Barat. Padahal tim pemeriksa di lapangan mendapati beragam penyimpangan prosedur. Pemerintah Jawa Barat, misalnya, tidak bisa menyajikan daftar seluruh penerima hibah. Selain itu, pemerintah tak menyediakan mekanisme kontrol untuk memastikan hibah itu diterima organisasi yang berhak.
Sebetulnya tidak terlalu sulit membuktikan berbagai penyimpangan penyaluran dana bantuan sosial. Investigasi majalah ini menemukan sebagian dana itu dicairkan sepekan menjelang pemilihan Gubernur Jawa Barat pada Februari 2013. Dalam pemilihan kepala daerah tersebut, calon inkumben Ahmad Heryawan, politikus Partai Keadilan Sejahtera, terpilih kembali sebagai gubernur.
Dengan fakta tak beres itu, tim pemeriksa menilai telah terjadi kesalahan dalam penyajian laporan keuangan. Maka opini yang tepat diberikan adalah wajar dengan pengecualian—satu tingkat di bawah wajar tanpa pengecualian. Namun yang terjadi sebaliknya. Ketika usul itu dibahas, ada "tangan hitam" yang memerintahkan rekayasa. Auditor lapangan ditekan agar tidak memunculkan temuan mereka.
"Operasi gelap" merekayasa hasil audit ditengarai dilakukan pejabat daerah yang berkolaborasi dengan petinggi BPK Jawa Barat. Praktek lancung ini mustahil terjadi tanpa restu pimpinan BPK pusat—pejabat paling tinggi yang mengambil keputusan akhir. Dugaan permainan busuk makin kuat karena tersiar kabar plakat opini wajar tanpa pengecualian sudah dipesan jauh-jauh hari sebelum rapat pengesahan.
Cerita jual-beli opini tidak sekarang saja terjadi. Pada Juni 2010, Komisi Pemberantasan Korupsi membekuk pejabat BPK Jawa Barat yang tertangkap tangan menerima suap dari pejabat Kota Bekasi yang meminta laporan keuangan pemerintah daerahnya dipoles.
Sulit untuk tak berwasangka ada "transaksi" bawah tangan di balik perubahan opini BPK di Jawa Barat. Majelis Kehormatan Kode Etik BPK harus turun memeriksa perkara ini. Semua pejabat yang berwenang dalam proses audit mesti diperiksa. Hasil pemeriksaan Majelis Kode Etik harus diumumkan ke publik dan, jika ditemukan pelanggaran pidana, mesti dilimpahkan ke aparat penegak hukum.
Tanpa langkah tegas, pemeriksaan tahunan BPK akan dianggap sebagai sesuatu yang rutin dan bisa "diakali". Sebagai pengawal penggunaan anggaran, BPK harus diselamatkan dari pejabat lancung yang gemar menerima fulus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo