HUKUMAN denda selama ini hanya dikenal masyarakat sebagai sanksi pelanggaran perkara-perkara sumir, seperti pada pelanggaran lalu lintas atau perkara tilang. Padahal, pidana denda itu, menurut Johannes Eduard Lokollo lebih bermanfaat ketimbang pidana penjara, juga untuk perkara-perkara biasa. Sebab itu, Lokollo mencetuskan gagasan agar pidana denda itu diperluas dalam penerapan hukum pidana kita, misalnya, juga untuk kejahatan pencurian. "Pidana denda itu lebih manusiawi daripada pidana penjara. Sebab, seorang yang menerima pidana penjara tidak bisa berbuat apa-apa lagi, karena ia harus mendekam di penjara, sementara kalau hanya didenda ia masih bisa menghidupi keluarganya," kata Lokollo. Dengan gagasannya itu, Lokollo, 52 tahun, meraih gelar doktor di bidang hukum pidana dalam sidang terbuka senat Universitas Airlangga, Sabtu dua pekan lalu, dengan predikat sangat memuaskan. Ayah dua anak yang sehari-hari dosen Fakultas Hukum Universitas Patimura itu bahkan mengusulkan pula agar untuk kasus-kasus pidana ringan, yang dikenai hukuman denda, bisa pula diselesaikan di luar sidang - yang disebutnya dengan istilah transaksi. "Dengan sistem itu si terdakwa tidak akan mengalami penderitaan akibat pemeriksaan, penahanan, dan persidangan yang memakan waktu panjang," kata Lokollo, yang juga termasuk anggota Tim Penyusunan KUHP Baru BPHN, Departemen Kehakiman. Kecuali menguntungkan terdakwa, menurut Lokollo, pidana denda itu juga akan menguntungkan pemerintah. Sebab, dengan hanya menjatuhkan hukuman denda, tidak banyak orang yang harus menjadi narapidana atau menjalani hukuman penjara. Dan tentu saja anggaran untuk lembaga pemasyarakatan bisa dikurangi. Di pihak lain, negara akan memperoleh pemasukan dari denda tersebut, yang diusulkan Lokollo supaya disetorkan terhukum melalui bank. Lebih jauh lagi, dengan sistem transaksi tadi - perkara diselesaikan di luar sidang menurut dia, akan terkurangi pula jumlah tunggakan perkara, yang belakangan ini semakin menumpuk di pengadilan sampai ke Mahkamah Agung. "Jadi, dengan sistem itu nanti hanya perkara-perkara besar saja yang disidangkan di pengadilan," ujar sarjana hukum lulus FH Universitas Patimura itu kepada Jawa Pos di Surabaya. Sebenarnya, menurut dia, di banyak negara sekarang ini telah tumbuh kecenderungan mengoreksi kembali pidana penjara, dan bahkan semakin banyak yang menerapkan pidana denda. Kalau di Indonesia kini perbandingan antara pidana denda dan pidana penjara 1: 27, katanya, di negara-negara maju perbandingan itu menjadi terbalik, yaitu 1 pidana penjara dibanding 4 pidana denda. "Keadaan itu terjadi karena sarjana-sarjana hukum kita hanya membaca buku KUHP berserta komentarnya yang disusun Susilo," kata Lokollo. Gagasan Lokollo itu, kendati tidak baru lagi - sudah berkembang di Eropa dalam 25 tahun terakhir - disambut baik oleh Dr. Bambang Purnomo, Dosen FH Universitas Gadjah Mada, asal saja tidak menghapuskan alternatif pidana penjara. Sebab, katanya, alasan penjara yang dikandung pidana penjara, bahkan pidana mati, ternyata tidak membuat kriminalitas berkurang. "Maka ahli pidana selalu mencari alternatif baru," kata Bambang. Dengan pidana denda itu, katanya, diharapkan bahwa pelaku justru menjadi takut berbuat kejahatan. Misalnya, seorang pencuri motor dikenai hukuman denda yang lebih besar dari harga motor yang dicurinya. "Mungkin, kalau dihukum penjara 3 bulan, ia tidak merasa rugi, tapi kalau didenda begitu ia akan kelabakan," kata Bambang, yang membuat disertasi tentang hukum penjara itu. Namun, gagasan Lokollo itu tak urung membuat guru-guru besar yang lain kaget. Tak kurang dari salah seorang penguji Lokollo, Prof. Soebijono Tjokrowinoto, menyatakan ketidaksetujuannya terhadap gagasan itu. Soebijono menganggap pidana denda itu tidak akan menimbulkan efek kejeraan kepada pelaku. Prof. Soebekti bahkan terkejut mendengar gagasan Lokollo itu. "Hukuman penjara itu untuk membuat orang kapok. Lha, pidana denda itu apa? Kalau orang merampok hanya didenda, nanti orang bisa enak saja berbuat kejahatan, toh nanti bisa bayar denda, kata ahli hukum perdata yang bekas ketua Mahkamah Agung itu. Rekannya, ahli hukum pidana, Prof. Oemar Senoadji, berpendapat senada. "Aliran yang hendak menghapus hukum penjara itu tidak mempertimbangkan faktor korban. Jika hanya kena denda, si pelaku tidak merasakan beratnya penderitaan korban," kata Senoadji. Setuju atau tidak, KUHP baru nanti agaknya akan menganut pidana denda sebagai alternatif pidana penjara. Menurut salah seorang tokoh penyusun KUHP baru itu, Dr. Andi Hamzah dalam KUHP yang akan datang akan tercantum hukuman denda bagi kejahatan yang diancaman hukuman 6 tahun ke bawah. "Hukuman denda itu memang ada kelemahannya, karena si pelaku bisa menyuruh orang lain membayar hukumannya. Tapi bermanfaat untuk orang yang seharusnya tidak masuk penjara tapi tersangkut perkara. Misalnya, orang yang karena mengantuk menabrak orang lain lebih efektif didenda," kata Andi Hamzah. Gagasan Lokollo itu, yang disebut Andi Hamzah aliran modern, kini dianut sepenuhnya di Belanda. "Tapi di sini ide itu tidak bisa sepenuhnya diterapkan, karena tidak adil, akibat masih banyak orang yang tidak mampu. Nanti hanya orang miskin yang masuk penjara," kata Andi. Sebab itu, dalam KUHP baru dianut juga aliran Skandinavia, yang besar kecilnya denda tergantung pendapatan pelaku. "Jadi, untuk kasus yang sama, hukumannya bisa berbeda-beda," tambahnya. Artinya, seperti kata Andi Hamzah, KUHP kita nanti tidak sepenuhnya mengikuti aliran modern, tapi juga tidak lagi mengikuti ajaran primitif. Di tengah-tengah, seperti biasanya. Karni Ilyas, Ahmadie Thaha (Jakarta), I Made Suarjana (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini