DI Indonesia ternyata banyak orang yang memegang "kartu miskin". Itu bukan nama resmi. Tapi seorang pegawai negeri akan mengenalinya. Kartu itu berwarna kuning. Sebenarnya ia dimaksudkan untuk membantu meringankan ongkos perawatan kesehatan. Carik kertas itu memang kartu asuransi kesehatan, yang di Indonesia yang banyak singkatannya ini, tersohor sebagai "kartu Askes". Bahwa ia merepotkan pemegangnya bisa didengar di beberapa penjuru. Banyak yang menganggap, sistem pelayanan ini amat njlimet, dan sang pemegang kartu tak jarang diperlakukan sebagai warga kelas dua. Contohnya, seperti yang dikemukakan Iskandar, seorang pegawai negeri di Jakarta Pusat, "Selama ini saya jarang menggunakan kartu kunmg itu. Sistemnya berbelit-belit, dan pelayanannya kurang diperhatikan." Bahkan ada yang mengatakan, kartu kuning adalah kartu miskin, karena dipegang oleh yang ingin tak ditindih biaya pengobatan untuk diri atau keluarganya. Dengan kata lain, citra Askes tak menguntungkan. Sistem asuransi kesehatan ini, yang diperkenalkan pertama kalinya 19 tahun yang lalu, memang tampaknya bukan sesuatu yang cepat beres. Bahkan pada tahun 1970/1971, pengelola Askes bangkrut. Kenapa? "Karena sistemnya waktu itu kurang tepat. Sehingga tagihan lebih besar dari pemasukan," kata Dr. Sulastomo, M.P.H., Direktur Bina Pemeliharaan Kesehatan Perum Husada Bhakti (disingkat PHB), perusahaan negara yang ditunjuk sebagai pengelola asuransi itu. Peserta Askes selama ini terbatas pada para karyawan pegawai negeri, pensiunan dan keluarganya. Jumlah mereka sekitar 15 juta jiwa. Seperti lazimnya asuransi, mereka sebenarnya "menyimpan" sejumlah uang untuk keperluan nanti. Dalam sistem Askes, itu dilakukan dengan memotong gaji pokok sebesar 2% per bulan, sebagai iuran wajib. Untuk pelayanan kesehatan para peserta yang telah membayar iuran wajib itu, badan penyelenggara menunjuk suatu fasilitas kesehatan tertentu -- misalnya sebuah rumah sakit umum. Fasilitas ini memberi pelayanan kesehatan kepada peserta, cuma-cuma. Kemudian si rumah sakit diberi penggantian dana oleh badan penyelenggara. Ternyata, cara ini bisa menggerogoti dana perusahaan yang jadi penyelenggara. Soalnya, konon, para peserta asuransi sering datang berobat hanya untuk dapat obat gratis -- yang kemudian mereka jual ke pasar. "Tak ada plafon yang jelas, sehingga boros," kata seorang pejabat teras PHB. Melihat gelagat itu, beberapa perbaikan mulai diadakan. Misalnya dengan memperjelas sistem "rujukan", yang diperkenalkan di Dinas Kesehatan DKI Jakarta, sejak tahun 1979. Dalam sisem ini, peserta tak boleh datang begitu saja ke sebuah rumah sakit yang dia inginkan. Ia sebelumnya harus diperiksa puskesmas setempat. Jika para dokter puskesmas itu tak mampu merawat atau mengobatinya mereka akan memberikan rujukan ke rumah sakit terdekat. Bila rumah sakit ini pun tak mampu merawat -- misalnya tak punya peralatan -- barulah si pasien peserta Askes itu boleh masuk ke rumah sakit khusus. Ketentuan ini hanya boleh dilanggar jika keadaan si pasien memang darurat. Sistem berjenjang ini jelas bertujuan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya pelayanan yang berlebihan -- yang bisa mengancam dana pihak penyelenggara asuransi yang harus membayar tagihan dari pihak rumah sakit. Tapi sistem rujukan itu tampaknya tak disertai dengan usaha mempermudah pelayanan. Dan timbullah keluhan. Suara inilah, yang membuat para pengelola Askes terbangun. Sejak Juli lalu, mereka pun memperkenalkan sistem baru pelayanan Askes, yang boleh disebut "sistem paket rawat-nginap". Tujuannya: membuat prosedur pelayanan kesehatan lebih sederhana dan efisien. Setidaknya, itu menurut dr. Brata Ranuh Direktur Utama PHB. Dalam sistem ini, biaya rumah sakit rawat-nginap ditetapkan berdasarkan sebuah "paket" tertentu, berupa jatah biaya per hari bila si pasien dirawat dan harus menginap. Misalnya, untuk rumah sakit umum yang langsung di bawah pengawasan Departemen Kesehatan (disebut "rumah sakit vertikal"), jatah itu per hari Rp 7.500. Tarif ini bagi rumah sakit "tipe A", yang dilengkapi dengan dokter spesialis. Rumah sakit yang kelasnya lebih rendah tentu jatahnya lebih kecil. Biaya per hari rawat-nginap ini dibagi dalam tiga komponen. Komponen pertama adalah pembayaran buat jasa rumah sakit, yang meliputi ongkos perawatan dan menginap, obat standar, pemakaian kamar operasi, pemakaian laboratorium dan radiologi. Komponen kedua, bahan dan alat kesehatan. Komponen ketiga adalah komponen jasa medis dan administrasi. Berarti semua beban itu gratis bagi si pemilik kartu kuning. Di samping itu, ada biaya lain yang masih dibayarkan di luar paket itu. Termasuk obat dan pelayanan canggih seperti hemodialisa (cuci darah) dan bahkan operasi jantung. Pola baru ini juga mengatur penggolongan kelas kamar sebuah rumah sakit. Sebelumnya, setiap peserta Askes hanya mendapat jatah di kamar kelas tiga. Sekarang berdasarkan pangkat. Pegawai negeri golongan IV, misalnya, berhak dapat kamar kelas I. Sebaliknya, pegawai negeri golongan I akan memperoleh jatah di kelas III. Pola yang diperbarui itu tampaknya memang lebih baik. Tapi bagaimana dalam pelaksanaan? Untuk melihat itu, pertengahan bulan lalu pimpinan PHB meninjau beberapa rumah sakit di Jawa dan Bali. Ternyata, memang tak semuanya sudah ikut aturan. Di RS Sidoarjo, misalnya, masih dijumpai pasien peserta Askes yang harus merogoh kocek. Seharusnya semua gratis. Dokter Abdul Madjid, dirut rumah sakit itu, mengakui bahwa ia belum memahami peraturan itu. Meskipun pengakuan itu bisa dimaklumi -- dia memang ahli bedah yang biasanya ada di ruang bedah -- para peserta Askes toh tetap dirugikan jika hak-haknya terabaikan. Mereka sebagian besar selama ini memang tak tahu sejauh mana haknya harus digunakan. Seperti ucapan salah seorang pemegang kartu kuning di Sidoarjo. "Keperluan obat dan spuit masih saya beli sendiri," ujar Ibu Hanifah, guru SD yang baru melahirkan. Dia tak protes. Di RS Sidoarjo ini juga tak ada kamar kelas I. Seorang peserta Askes dari pegawai golongan IV akan terpaksa ditempatkan di ruang klas II. Sekali lagi, ini menyalahi ketentuan. Tapi kemampuan RS im memang terbatas. Seperti diakui kemudian oleh dr. Moh. Isa, Dirjen Pclayanan Medik, Departemen Kesehatan, " Pembagian kelas itu memang tergantung kemampuan daerah dan keadaan rumah sakit itu sendiri." Moh. Isa berjanji, nantinya akan ada penyeragaman kapasitas. Di Semarang, di RSU Dokter Kariadi, kebijaksanaan baru itu malah belum dilaksanakan. Penempatan peserta Askes belum sesuai dengan haknya. Mereka masih bertumpuk tanpa pandang bulu -- di kamar-kamar kelas III. "Pola baru itu akan dimulai Oktober depan," kata Dr. Mustafa Abu Bakar, Dirut RSU Dokter Kariadi. Padahal, sistem ini sejak Juli seharusnya sudah jalan. Pola baru ini memang boleh dipuji. Ada penyederhanaan sistem. Ini misalnya dikatakan oleh seorang ahli ekonomi kedokteran di Jakarta, dr. Ascobat Gani. Tapi yang lebih penting, "peserta harus tahu hak-haknya," kata Ascobat menambahkan. Maka, ia menyarankan agar penyuluhan kepada para peserta lebih diintensifkan. Penjelasan tentang prosedur inilah yang memang masih jadi pekerjaan rumah yang belum selesai di pihak PHB. Sulastomo scndiri menegaskan, setelah melihat prakteknya di lapangan, program penyuluhan kepada semua yang terlibat harus secepatnya dilaksanakan. Peraturan baru itu akan seret selama kurang informasi yang jelas. Toh peraturan itu masih bisa terganjal, bila ternyata tarif yang ditentukan buat perawatan tak cocok dengan kebutuhan yang nyata. Dokter Ascobat mengingatkan hal itu. "Selama ini di Indonesia belum ada analisa biaya untuk perawatan pasien rumah sakit," katanya kepada TEMPO. Jadi, memang masih diragukan keandalan angka paket baru yang ditetapkan. Penyempurnaan sistem Askes tentunya tak akan berhenti dengan paket baru itu. Sistem asuransi kesehatan yang berlaku di Indonesia sekarang ini, bila dibanding dengan yang di Eropa atau AS, memang masih tertinggal. Dokter Mohamad Hassan, seorang komentator terkemuka masalah-masalah kesehatan, menyebutkan bahwa di bagian dunia itu, sekitar 90% penduduknya ikut asuransi. "Di negara kita, baru pegawai negeri, pensiunan dan keluarganya," kata Mohamad Hassan membandingkan. Tak mengherankan bila kemudian timbul istilah "pasien kelas dua". Jika sebagian besar penduduk sudah terlibat dengan asuransi, perbedaan di antara pasien tentu tak akan muncul. Juga, lebih banyaknya peserta akan memperbesar dana yang terhimpun. Hal ini penting, untuk mengurangi risiko bangkrutnya perusahaan pemerintah yang melayani penagihan rumah sakit. Apalagi Askes sekarang digunakan untuk melayani semua jenis penyakit. Seperti dikatakan dr. Hassan, pelayanan seperti itu sangat riskan. Pembayaran biaya untuk hemodialisa dan operasi jantung, misalnya, sangat mahal. Sarannya: untuk pelayanan penyakit khusus, perlu ada premi khusus juga. Atau premi asuransi dinaikkan. Perlukah premi dinaikkan? "Sampai saat ini belum perlu," kata Benyamin Parwoto, Dirjen Anggaran dari Departemen Keuangan, yang menghimpun dana Askes (dari gaji pegawai) kepada TEPO Soalnya, dana yang tersedot dari sekitar 3,6 Juta pegawai negeri, tahun ini -- sampai bulan Agustus -- sudah sekitar Rp 33 milyar. Artinya, target untuk tahun ini, sekitar Rp 78 milyar, akan dengan mudah dipenuhi. Apalagi jika citra Askes lebih baik, dan orang bergairah membayar premi. Upaya mengatrol citra ini memang kelihatan masih tersendat. Tapi Sulastomo optimistis, sekitar satu setengah tahun lagi upaya ini sudah lancar. Gatot Triyanto, Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini