KIAN tinggi sebatang pohon, kian banyak dia terkena angin. Kata pepatah ini sekarang mungkin bisa ditambah: pohon semacam itu juga paling gampang mati. Terutama jika kita baca sebuah artikel di majalah Keieisha, Jepang, yang belum lama ini membikin jeri eselon atas bisnis Jepang. Majalah eksekutif itu, terbitan bulan ini, mencatat bahwa dalam tahun ini Januari sampai Agustus -- 84 orang eksekutif top meninggal mendadak. Beberapa datanya memang mengejutkan. Awal September yang baru lalu, Kentaro Hattori, presiden direktur Seiko, meninggal dunia karena kanker pankreas. Dua bulan sebelumnya, Seiko Group, industri arloji terkenal itu, kehilangan pula eksekutif puncaknya, Ichuro Hattori, direktur utama Seiko-Epson -- saudara sepupu Kentaro. Ichuro, cucu pendiri Seiko Group, Rejiro Hattori, dikenal sebagai "Pangeran Seiko", karena dianggap orang terkuat untuk menduduki kursi puncak "Kekaisaran Seiko". Dalam deretan manajer top Jepang lainnya yang baru meninggal ada Takeo Kondo, direktur utama Mitsubishi Corp Teruhisa Shimizu, direktur utama Fuji Electric Yoshio Ono, direktur utama industri kosmetik terkenal Shishedo yang sedang giat mengembangkan usahanya ke Paris Tojiro Nakade, direktur utama Taiyo Gyogyo, salah satu perusahaan perikanan terbesar di Jepang Toshiyuki Nakamura, direktur utama industri cat Dai Nippon Toryo Co Kosuke Asano, direktur utama Nippon Light Metal Co. Walhasil, dalam waktu singkat, dunia bisnis Jepang terkena kenaikan kurs yen dan turunnya stok pimpinan yang berbakat. Dalam Keieisha itu, Dr. Kiyoyasu Arikawa mengutarakan 30% lebih dari eksekutif eselon satu meninggal pada usia sekitar 50 tahun. Sebuah umur yang relatif muda, mengingat harapan hidup rata-rata pria Jepang adalah sekitar 75 tahun. Sebagian besar mati mendadak, karena serangan jantung akibat stres. Dr. Arikawa, yang memimpin klinik untuk memberikan konsultasi medis kepada para eksekutif, mencatat hampir semua pemimpin top Jepang menderita stres berat yang menahun. Karena itu, mereka sangat rentan terhadap depresi. Apalagi dengan adanya perang dagang antara Amerika dan Jepang, yang mengakibatkan sejumlah besar barang Jepang tak bisa memasuki AS. Itu di Jepang. Bagaimana di sini? Eksekutif di Indonesia boleh lega karena di sini tak ada perang dagang. Tapi posisi yang harus bertanggung jawab serta beban kerja para pimpinan itu (tentu saja bila mereka bukan jenis eksekutif goyang kaki) bisa diduga akan berakibat yang kurang enak. Apalagi dalam kelesuan ekonomi. Sayang, tak ada data persis berapa persen eksekutif top menderita depresi. Namun, dalam Simposium Depresi Tersamar, yang diselenggarakan Agustus lalu di Semarang, terungkap ada peningkatan jumlah penderita. Mereka yang terkena depresi berasal dari kelompok produktif. Artinya, berumur antara 25 dan 40 tahun. Mereka berada di jalur sibuk, ribut dengan perubahan cepat dan desakan yang menegangkan. Apalagi bila ada pukulan lain. Kasus manajer top Ir. Rudy Parmaputra, terpidana perkara korupsi Gedung Arthaloka, yang baru saja disidangkan, adalah sebuah contoh. Pengusaha ini, yang kini di penjara, dikabarkan mengalami guncangan jiwa hebat. Secara tak langsung, dr. Mikhael Bharya, yang merawatnya di RS Saraf & Jiwa Dharmasakti, membenarkan Rudy depresi berat. Seorang rekan Rudy yang tak mau disebutkan namanya pernah menyaksikan bagaimana direktur PT Mahkota Real Estate itu tidak lagi bisa mengenali kawan, ketika berpapasan. Maka, orang pun berbicara ia kehilangan kesadarannya. Cerita itu belum bisa diperkuat kebenarannya. Tapi Adiyoso Abubakar, Kepala Laboratorium Psikiatri FK Universitas Diponegoro, berpendapat kemungkinan besar kasus itu, bila terjadi, tidak timbul mendadak. Umumnya penderita sudah lama mengidap depresi tersamar. Keadaannya semakin berat karena tidak mendapat perawatan psikoterapi. "Bahkan bisa jadi sudah psikosis," ujar Abubakar, "sebab pada fase ini seseorang sudah kehilangan kesadarannya." Depresi, menurut psikiater RS Saraf Babarsari, Yogyakarta, Dr. R. Soeyono Prawirohardjo, adalah penyakit jiwa akibat terganggunya keadaan emosional secara berkepanjangan. "Misalnya orang yang merasa amat kecewa atau terlalu sedih," katanya. Perasaan sedih dan kecewa ini diikuti gejala somatik, artinya tampak dalam keadaan tubuhnya, misalnya berupa sulit tidur, nafsu seksnya menurun, dan berbagai rasa sakit muncul di sekujur badannya. Menurut Mikhael Bharya, hingga kini belum diketahui secara pasti bagaimana depresi bisa mengakibatkan kelainan saraf. "Kita cuma tahu setelah gejala-gejalanya muncul, " katanya. Salah satu yang khas dalam peri lakunya adalah tidur meringkuk seperti terkena rasa sakit yang hebat. Gejala lainnya, malas omong dan tidak mampu berbicara spontan. "Mereka berbicara dalam satu arah, nggak ngomong kalau nggak ditanya," ujar Bharya lagi. Gejala klinis depresi diungkapkan Soeyono sebagai menyusutnya jumlah neurotransmitter -- senyawa kimia yang bertugas merambatkan sinyal listrik saraf dari satu sel ke sel lainnya. Karena itu, setidaknya menurut Bharya, pengobatan paling efektif adalah terapi kejutan listrik. Namun, penyembuhan ini harus diikuti pemberian obat dan psikoterapi. "Sebab ketika penderita memasuki fase sembuh, ia justru punya kecenderungan besar untuk melakukan bunuh diri," ujar Bharya. Nah, jika Anda kebetulan berada di kursi yang tinggi, bersiaplah untuk menghindari depresi. Caranya tidak teramat sukar malah mungkin menyenangkan. Dr. Arikawa, misalnya, dalam tulisannya di Keieisha menyarankan beberapa kegiatan. Antara lain, menghindari kehidupan bujangan. Dan sebisanya menikmati kegiatan seks. Menurut penelitian di Jepang, semua orang yang tampak jompo, tapi berhasil hidup lebih dari 100 tahun, memang diketahui mempunyai kegiatan seks rutin hingga meninggal. Cuma tidak disebutkan, bagaimana kegiatan itu bisa disemarakkan dalam lingkungan kebudayaan di luar Jepang. Dengan catatan: tanpa menimbulkan problem baru -- dan tentu saja stres baru. Jim Supangkat, Diah P. (Jakarta), Seiichi Oakawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini