Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Yogyakarta baru-baru ini, Ketua Umum Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) dengan lantang mengajak rakyat untuk "menjadi antek Soeharto" (Kompas, 16 Maret 2004). Partai ini juga mencalonkan Tutut sebagai calon presiden pada Pemilu 2004 nanti. Pernyataan ini segera menjadi pembicaraan yang luas, disertai imbauan-imbauan yang cukup keras untuk mewaspadai kembalinya kekuatan Orde Baru.
Banyak orang menjadi marah atas ucapan ini. Kok berani benar kekuatan Orde Baru ini? Setelah membuat negara ini rusak oleh korupsi tingkat tinggi, setelah melakukan pengebirian terhadap demokrasi, kini setelah mereka disingkirkan dan demokrasi kembali, mereka dengan lantang mau kembali dengan memanfaatkan demokrasi yang dulu mereka tindas.
Tapi, pada saat ini kita tidak berhak melarang mereka. Sebab, kalau kita melarangnya, demokrasi yang mau kita tegakkan menjadi cacat. Demokrasi memberi hak yang sama untuk berpolitik kepada semua kalangan selama mereka tidak melanggar hukum. Kalau kita menggunakan kekuatan politik untuk melarang, kesalahan sejarah akan berulang. Kita masih ingat pada zaman Soeharto, mula-mula PKI dilarang. Kemudian keluarga para anggota PKI juga dibatasi hak-hak politiknya, kemudian mereka yang dianggap pernah "memberontak" (Masyumi dan PSI), kemudian para mahasiswa yang mengkritik pemerintah (tidak mendukung pembangunan), kemudian para cendekiawan yang kritis, dan seterusnya. Sekali sebuah pemerintah diberi kekuasaan untuk melarang, meskipun ada alasan yang kuat, kekuasaan untuk melarang itu akan berjangkit ke mana-mana dan dipakai secara lebih meluas.
Maka, kini pertanyaannya: kalau tidak dilarang, apakah kekuatan Orde Baru ini punya kesempatan untuk kembali berkuasa melalui Tutut dan PKPB, dengan bersaing secara demokratis?
Ada sebuah kenyataan yang menarik. Golkar ternyata tidak mencalonkan Tutut sebagai calon presiden. Tutut hanya dicalonkan oleh sebuah partai baru yang kecil: PKPB. Kalau kita bertanya mengapa, jawabannya kiranya adalah sebagai berikut: nama Soeharto sudah sangat tidak populer di kalangan masyarakat sehingga Golkar pun tidak berani mengasosiasikan diri kepada mantan presiden kita ini dan keluarganya. Nama Tutut lebih merupakan bencana ketimbang anugerah bagi perolehan suara.
Kesimpulan pertama yang bisa kita peroleh dari kenyataan di atas adalah adanya anggapan (termasuk di kalangan Golkar sendiri) bahwa rakyat sudah tidak suka terhadap Soeharto dan keluarganya.
Kemudian, untuk menang dalam pemilu, dibutuhkan adanya mesin politik yang efektif dan dana yang cukup. Barangkali Tutut punya dana. Tapi hampir dapat dipastikan, sebagai partai baru, PKPB belum punya mesin politik yang efektif yang tersebar di daerah-daerah. Ini satu kendala lagi bagi Tutut untuk bisa berhasil kalau "kendaraan politik" yang dipakainya adalah PKPB. Lain halnya kalau Tutut dicalonkan oleh Golkar, yang mesin politiknya masih relatif utuh, termasuk yang ada di daerah-daerah di luar Jawa.
Atas dasar kedua hal ini, saya berpendapat bahwa kesempatan Tutut untuk bisa berhasil menjadi presiden hampir tidak ada. Karena itu, saya agak terkejut melihat reaksi yang emosional dari beberapa tokoh pengamat politik yang mengutuk ajakan Hartono tersebut. Apakah ajakan yang tidak realistis tersebut patut ditanggapi seserius itu? Kenyataannya, dengan tanggapan yang emosional itu, "pancingan" Hartono tampaknya jadi mengenai sasarannya. Kemungkinan Tutut menjadi presiden tiba-tiba terasa menjadi besar.
Lain halnya kalau memang ada skenario tersembunyi bahwa Golkar juga sebenarnya mendukung pencalonan Tutut. Sehingga, pada waktu yang tepat sebelum pemilihan presiden bulan Juli nanti, Golkar akan memilih Tutut sebagai presiden.
Menurut saya, kemungkinan ini sangat kecil. Bukan saja karena di kalangan Golkar sendiri Tutut dianggap sudah tidak populer lagi, tapi juga karena sudah ada banyak tokoh Golkar yang ingin menjadi calon presiden partai ini.
Tapi politik kadang-kadang bisa menimbulkan kejutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo