Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Mengubah ’Tak Aman’ Jadi ’Aman’

Prevalensi HIV/AIDS di Papua tertinggi di Indonesia. Yang paling banyak tertular adalah istri.

20 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebut saja namanya Susan. Tubuh ibu berusia 40-an tahun yang dirawat di Rumah Sakit Dok 2 Jayapura itu amatlah kurus. Kulitnya keriput dan matanya sayu. Kitab Injil tergeletak di sebelah bantalnya. Dia hanya mengangguk lemah ketika Samuel M. Baso, dokter senior di rumah sakit tersebut, bertanya apakah Susan sudah berselera makan.

Susan menangis ketika Samuel menanyakan suaminya. Dia tertular HIV/AIDS, virus yang menggerogoti sistem kekebalan tubuh, dari suaminya. Seperti yang banyak terjadi di Papua, kata Samuel, suami Susan diketahui melakukan hubungan seks dengan orang lain. ”Suaminya meninggal dunia akibat AIDS beberapa tahun lalu,” kata Samuel, dua pekan silam.

Karen H. Smith, Wakil Direktur Family Health International (FHI), organisasi nirlaba asal Amerika Serikat yang bergerak di bidang penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, mengatakan bahwa ibu rumah tangga di Papua merupakan kelompok yang paling banyak tertulari sejak 2002. Ini yang membedakan penyebaran HIV/AIDS di Papua dengan daerah lain.

Dia menjelaskan kekhasan Papua dalam hal penyebaran HIV/AIDS kepada beberapa mahasiswa di negara Asia Tenggara anggota ASEAN yang terpilih mempelajari fenomena HIV/AIDS di Papua selama tiga hari, dua pekan silam. Kunjungan para mahasiswa tersebut dilakukan dalam rangka memperingati ulang tahun ASEAN ke-40, Agustus ini.

Topik HIV/AIDS dan daerah Papua dipilih karena masalah itu kini juga menjadi masalah besar di negara anggota ASEAN lainnya. Sedangkan Papua layak dikunjungi karena kawasan tersebut memiliki prevalensi tertinggi untuk penyebaran HIV/AIDS. Data Departemen Kesehatan menyebutkan, pada Juni lalu, tingkat prevalensi AIDS saja di Papua mencapai 67,55 per 100 ribu penduduk, naik dari 60,93 tiga bulan sebelumnya.

Dari segi jumlah penderita, Papua memang kalah dari DKI Jakarta, yang pada Juni lalu sudah 2.704 kasus. Tapi tingkat prevalensi Jakarta—yang berada di peringkat kedua—hanya separuh Papua, yakni 29,78 per 100 ribu penduduk. Bahkan, jika dibandingkan dengan tingkat prevalensi nasional yang hanya 4,27 per 100 ribu penduduk, angka Papua jelas berkali-kali lipat.

Dengan tingkat prevalensi yang tinggi itu, kata Karen, yang lebih mengkhawatirkan adalah sebagian besar pengidapnya ibu rumah tangga. Ini berbeda dengan daerah lain, di mana kelompok yang berisiko tinggi terkena HIV/AIDS adalah pekerja seks, wanita pria (waria), pengguna narkotika dengan jarum suntik bersama-sama. ”Posisi perempuan di Papua masih dianggap kelas dua, sehingga mereka tidak berdaya menolak atau memilih,” kata Yunas Yeblo, aktivis Kelompok Kerja Wanita (KKW) Papua.

Selain itu, dari sisi penyebab, Papua juga unik. Di sana, penyebab terbesar penularan HIV/AIDS adalah melalui hubungan seks yang tidak aman. Salah satunya adalah akibat banyaknya hubungan seks berganti-ganti pasangan, yang dilakukan setelah pesta adat, atau satu orang melayani beberapa orang, atau berhubungan seks di usia muda. Juga karena rendahnya pemakaian kondom. ”Pengetahuan tentang akibat hubungan seks yang rendah dan banyaknya pekerja seks yang berpindah-pindah juga memperbesar risiko penularan,” kata Karen.

Di lokalisasi Tanjung Elmo, Jayapura, misalnya, ada 20 orang pekerja seks yang terinfeksi HIV/AIDS dari sekitar 300 yang bekerja di sana. Satu pekerja seks, ketika sepi, melayani 2-3 laki-laki, dan pada saat ramai bisa 5-10 orang sehari.

Mereka juga sering keluar-masuk Papua atau berpindah-pindah dari daerah satu ke daerah lain di Papua. Untuk membantu mencegah penularan, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Papua memiliki klinik kesehatan di Tanjung Elmo yang memberikan pelayanan kesehatan, tempat tes HIV/AIDS, sekaligus memantau penyebaran virus ini di komunitas berisiko tinggi tersebut.

Hubungan seks yang tidak aman diakui menjadi faktor pemicu terbesar penyebaran epidemi tersebut di Papua. Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Papua per akhir Juni 2007, jumlah penderita HIV/AIDS yang tertular bukan dari hubungan seks ”hanya” 153 dari total 3.377 kasus. Data tersebut merupakan akumulasi sejak kasus pertama ditemukan di Merauke pada 1992.

Bahkan penyebab tertularnya HIV dari jarum suntik—baik narkotik maupun transfusi—yang biasanya tinggi di daerah lain, di Papua justru sangat rendah. Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Papua per akhir Juni lalu, hanya 1 orang dengan HIV positif dan 2 orang sudah pada tahap AIDS yang tertular melalui jarum suntik.

Bukti lain bahwa perilaku seks menjadi pemicu terbesar infeksi adalah survei bertajuk Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku (STHP) yang dilakukan selama 2006, dengan sasaran penduduk umum di 10 kabupaten/kota di Papua, melalui metode wawancara dan tes darah. Penelitian itu bertujuan mengetahui penyebaran HIV/AIDS di Papua. Perilaku seks menjadi satu bahasan tersendiri.

Survei STHP, yang dipublikasikan pada April lalu, merupakan kerja sama antara Dinas Kesehatan Papua, Komite Penanggulangan AIDS (KPA), Biro Pusat Statistik, Bank Dunia, dan FHI. Ini sekaligus menjadi survei pertama di Asia Tenggara yang menggunakan komunitas umum sebagai responden—termasuk diambil darah untuk dites. Biasanya survei hanya berfokus pada kelompok masyarakat berisiko tinggi. ”Hasilnya sangat bermanfaat sebagai landasan pembuatan kebijakan dan kerja penanggulangan HIV/AIDS di Papua,” kata Karen.

l l l

Yuppy, dengan kaca mata hitam bertengger di atas jidat, selalu tersenyum kemayu. Laki-laki 25 tahun itu mengaku sebagai waria, dan menjadi anggota perkumpulan waria di Jayapura. Dengan nada gemulai, Yuppy lancar bercerita, dia mengetahui terkena HIV positif sejak 2003.

Ketika itu Yuppy bekerja sebagai tenaga bersih-bersih di RSUD Jayapura. Pada suatu hari, Yuppy demam, namun setelah diperiksa dia tidak terkena malaria—penyakit yang umum di Papua. Menurut dia, seorang mantri di rumah sakit menyarankan dia ikut tes HIV. Karena merasa dari kelompok berisiko tinggi HIV/AIDS, diturutilah saran pak mantri itu. ”Saya merasa biasa saja. Lagipula mau salahkan siapa,” katanya.

Nasib yang sama menimpa Ima, 33 tahun. Suaminya meninggal dunia akibat AIDS. Lalu Ima mengetahui terinfeksi HIV positif pada 2002. Janda ini sempat berhenti mengkonsumsi obat yang mampu menghambat pertumbuhan HIV, anti-retroviral (ARV), sehingga kondisi kesehatannya menurun drastis. Dia selalu sesak napas. Tapi, sejak akhir tahun lalu, Ima kembali sehat. Berat badannya normal. Dia pun sering tersenyum.

Julia, janda berusia 40 tahunan, juga punya kisah mirip. Dia mengetahui penyakitnya pada 2004. Namun perempuan yang sudah pada tahap AIDS ini mengaku tidak tahu dari mana tertular. ”Badan saya pernah kurus kering. Saya pernah sampai sekarat,” cerita Julia.

Badan Yuppy cukup tegap. Ima juga sehat dengan postur tubuh sedang. Adapun Julia malah terlihat seperti atlet. Kedua lengannya sedikit berotot, menyembul dari kaus putih yang dia kenakan. Celana panjang jins biru menambah atletis sosoknya. Penderita HIV/AIDS memang bisa saja tetap dalam kondisi baik jika mereka benar-benar menjaga kesehatan dan secara reguler mengkonsumsi ARV.

Namun ketiganya lebih dari itu semua. Mereka bukan saja segelintir penderita HIV/AIDS di Papua yang berani membuka diri, namun juga menjadi aktivis penanggulangan HIV/AIDS. Mereka tergabung dalam Jayapura Support Group (JSG), lembaga yang memberikan pendampingan pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) sejak 2001. ”Tujuan hidup saya adalah memberikan pemahaman kepada kaum waria agar mereka berhati-hati dan bersedia dites HIV,” kata Yuppy.

Perjuangan itu tidak mudah. ”Sembari memberikan penyuluhan dan pendampingan, mereka juga harus berusaha keras mengatasi stigma dalam masyarakat,” kata koordinator JSG, Robert Sihombing. Saat ini, ada 20-an orang seperti Yuppy, Ima, dan Julia yang melakukan tugas pendampingan.

Jayapura Support Group hingga saat ini telah mendukung 276 kasus penderita HIV/AIDS. Para pekerja JSG mendampingi penderita mulai dari melakukan tes hingga pengobatan, menjadi kawan, berkunjung ke rumah, membantu perawatan, dan menyediakan tempat tinggal. ”Penanganan penderita HIV/AIDS, termasuk kampanye pencegahannya di Papua sekarang, jauh lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” kata Robert.

Harus diakui, fasilitas pencegahan, pengobatan, dan pendampingan penderita HIV/AIDS cukup tersedia di Papua, meski belum memadai. Dana dari pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat asing juga mengucur lumayan deras. Sejumlah lembaga internasional juga terlibat dalam penanganan penanganan HIV/AIDS.

Selain FHI, masih ada Indonesia HIV/AIDS Prevention and Care Project (IHPCP), World Vision, Badan Kesehatan Dunia (WHO), UNICEF, Global Fund. FHI bahkan bekerja sama dengan Departemen Kesehatan membuat program Aksi Stop AIDS (ASA), yang digelar di beberapa provinsi di Indonesia, termasuk Papua.

Organisasi kemasyarakatan yang punya perhatian atau mulai memberikan perhatian serius pada epidemi HIV/AIDS pun bermunculan. JSG dan PKBI adalah contoh institusi lokal yang mengabdikan diri pada penanggulangan HIV/AIDS. Menurut Karen, organisasi keagamaan, terutama Gereja Katolik, belakangan ini juga mulai bersedia mengambil peran aktif. ”Dulu pemuka agama langsung menolak bila diajak berbicara tentang pemakaian kondom,” kata Karen.

Selain itu, rumah sakit yang khusus menangani pasien HIV/AIDS atau yang memberikan fasilitas tes darah juga makin banyak. Ada RS Dian Harapan, RS Abepura, dan RS Dok 2. ”Dulu, dokter pun enggan menangani pasien HIV/AIDS,” kata Samuel M. Baso. Hingga kini RS Dok 2 telah menangani 317 pasien HIV/AIDS. Rumah sakit ini juga membuka pelayanan konsultasi dan tes sukarela. ”Setiap bulan ada 50-70 orang yang sukarela minta dites,” kata Samuel.

Menurut Robert, keadaan sekarang jauh berbeda dengan pada 2001, ketika JSG berdiri. Ketika itu belum ada satu lembaga pun yang bergerak di bidang pendampingan ODHA. Yang ada baru untuk pencegahan. Menurut Pastor John Djonga, yang melakukan pelayanan di Kabupaten Keerom, perbatasan dengan Papua Nugini, sebelum 2000 masih ada orang terkena AIDS yang dimasukkan karung lalu dibuang ke sungai, ada juga yang dibakar. ”Itu terjadi di pedalaman Papua,” katanya.

Memang ada kemajuan dalam penanganan HIV/AIDS di Papua. Ada wajah optimistis seperti Yuppy, Ima, dan Julia. Tapi masih sangat banyak wajah duka seperti Susan. Dengan tingkat prevalensi tinggi, model penularan terbesar dari hubungan seks dan banyaknya ibu rumah tangga yang terinfeksi, serta luas dan sulitnya medan Papua itu sendiri, ancaman HIV/AIDS di Papua masih sangat tinggi.

Bina Bektiati (Jayapura)


Peta Penyebaran HIV/AIDS di Papua

Kasus HIV pertama di Papua ditemukan di Merauke pada 1992. Pada 1992, hanya tercatat 6 penderita HIV positif, dan terhitung sejak akhir Juni 2007, di Papua total akumulasi jumlah penderita HIV positif, 1.870 orang, dan AIDS, 1.507 orang.

Kota Sorong HIV (+): 0 AIDS: 15 Mati: 0

Fakfak HIV (+): 30 AIDS: 1 Mati: 0

Kab. Sorong HIV (+): 58 AIDS: 103 Mati: 60

Manokwari HIV (+): 3 AIDS: 6 Mati: 0

Yawa HIV (+): 1 AIDS: 21 Mati: 4

Biak HIV (+): 45 AIDS: 256 Mati: 62

Paniai HIV (+): 5 AIDS: 8 Mati: 3

Kab. Jayapura HIV (+): 65 AIDS: 69 Mati: 19

Kota Jayapura HIV (+): 48 AIDS: 215 Mati: 40

Keerom HIV (+): 0 AIDS: 2 Mati: 0

Nabire HIV (+): 26 AIDS: 265 Mati: 20

Mimika HIV (+): 1061 AIDS: 166 Mati: 47

Puncak Jaya HIV (+): 1 AIDS: 6 Mati: 4

Jayawijaya HIV (+): 8 AIDS: 1 Mati: 0

Mappi HIV (+): 0 AIDS: 9 Mati: 2

Merauke HIV (+): 519 AIDS: 364 Mati: 104

Fakta Dasar HIV/AIDS

  • AIDS (acquired immune deficiency syndrome) adalah sekumpulan gejala penyakit akibat menurunnya kekebalan tubuh.

  • AIDS disebabkan oleh human immunodeficiency virus (HIV) yang merusak sistem kekebalan tubuh.

  • Virus HIV hidup dalam empat cairan tubuh manusia: cairan darah, cairan sperma, cairan vagina, air susu ibu.

  • Penderita HIV positif adalah seseorang yang telah terinfeksi virus HIV, dapat menularkan penyakitnya, walaupun yang bersangkutan tampak sehat dan tidak menunjukkan gejala penyakit apa pun.

  • Penderita AIDS adalah seseorang yang menunjukkan tanda-tanda dari sekumpulan gejala penyakit yang memerlukan pengobatan setelah sekian waktu terinfeksi HIV.

  • Perjalanan dari tertular HIV hingga menjadi AIDS 5-10 tahun.

  • HIV menular melalui: cairan darah, cairan sperma, cairan vagina, dan air susu ibu.

  • HIV tidak ditularkan melalui: berpelukan, berjabat tangan, pemakaian toilet bersama, di kolam renang bersama, gigitan nyamuk atau serangga lain, ingus, batuk, meludah, pemakaian alat makan bersama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus