Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
. . . Dort, wo man Bücher Verbrennt, verbrennt man auch am Ende Menschen. Heinrich Heine (1797-1856)
Bahasa tidak hanya menyangkut ejaan dan tata kalimat. Selain rambu-rambu kebahasaan, pengguna bahasa juga mesti peduli pada logika. Pernah dalam sebuah majalah saya menemukan kalimat: ”. . . , ujar Thierry Powis saat melenggang bersama kapalnya (kapal pesiar—EE) . . . .” Rupanya si Powis ini mirip Nabi Isa yang, berkat mukjizat, dapat berjalan di atas air memarani perahu murid-murid-Nya yang dipermainkan angin sakal. Belum habis heran saya, di halaman lain mata saya menumbuk kalimat: ”Dengan cuek ia terus bicara dengan telepon selulernya.” Sedang terganggukah ingatannya?
Tidak ada gramatika yang salah pada kedua kalimat di atas. Tapi kalimat yang gramatikanya benar tidak otomatis berarti logis, sebab ”benar” dan ”logis” adalah dua hal yang berbeda. Orang—tak peduli apa agama, pandangan politik, jenis kelamin, atau asal kebangsaannya—akan mengatakan bahwa kalimat-kalimat itu tidak logis alias ngawur. Mengujinya tidak sulit. Bila sesuai dengan kenyataan maka kalimat-kalimat itu logis. Powis bukan melenggang bersama tapi di atas kapalnya. Ia bukan bicara dengan tapi melalui telepon selulernya.
”Benar” itu sendiri bukan tidak menyimpan persoalan. Berbeda dari ”logis” yang bebas nilai dan berwajah tunggal, ”benar” dapat bersifat subyektif dan berwajah ganda, berimpitan dengan pandangan dunia sesiapa yang mengutarakannya. Satu kenyataan yang sama, di mata orang atau kaum yang berbeda, bisa diartikan secara berbeda pula, dan masing-masing akan menyatakan diri benar.
Pemerintah kolonial Belanda menyebut ”aksi polisionil” untuk operasi militer tahun 1947 dan 1948, sedang bangsa Indonesia lebih suka memakai istilah ”agresi militer”. Pelajaran sejarah dunia di sekolah dasar kita masih menyebutkan bahwa si petualang Italia Christopher Columbus menemukan Benua Amerika pada akhir abad ke-15, padahal suku-suku Indian sudah hidup di benua itu ribuan tahun sebelum Columbus menjejakkan kakinya di sana. Penyebutan atau pemaknaan yang berlainan memang bisa terjadi karena perbedaan sudut pandang. Tapi ilmu bahasa berhenti pada momen tatkala salah satu atau kedua belah pihak bersikukuh pada pandangan sendiri, enggan menelisik dan menerima pandangan lain.
Hitler, pada awal 1933, menistakan semua karya seni modern yang tidak sejalan dengan pandangan rezim sosialisme-nasional—ia sendiri di awal tahun 1920-an selalu ditolak masuk akademi seni sebagai pelukis. Tak lama kemudian, Mei 1933, ia membakari buku-buku yang berseberangan dengan pandangan rezimnya di kota-kota besar Jerman. Aparat negara Republik Indonesia, Juli lalu di Depok, secara demonstratif juga membakar entah berapa ribu buku pelajaran sejarah untuk sekolah menengah karena dipandang salah tidak mencantumkan akronim PKI pada G-30-S.
Lihatlah, pembakaran buku oleh aparat negara sebulan sebelum perayaan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia itu menyertakan klaim keras bahwa hanya pendapat mereka yang benar. Dan menebas pendapat lain. Dan kita ingat ucapan penyair Jerman Heinrich Heine yang kerap dikutip bahwa manakala sudah membakar buku, akhirnya orang akan membakar manusia.
Seperti pada peristiwa di era fasis Jerman, di balik ritual bakar buku pelajaran di Depok tampak bagaimana kuasa politik merasuki bahasa dalam bentuk istilah-istilah sarat makna, malah cenderung berupa stigmatisasi: PKI, ketertiban umum, kurikulum eksperimen. Sarat makna, artinya istilah-istilah yang bertebaran di sana mestinya multitafsir dan terbuka bagi siapa saja. Bagi saya, bahasa selalu menarik justru karena segi pragmatisnya itu.
Tahulah kita, di tangan pemakainya bahasa dapat digunakan untuk banyak keperluan. Mewartakan, menghibur, membujuk dan memengaruhi, mengelola lalu menyimpan dan mewariskan pengetahuan, bahkan dipakai juga ia untuk memerikan, meluruskan, dan mempermainkan kenyataan.
*)Penyusun Tesaurus Bahasa Indonesia, giat di Komunitas Utan Kayu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo