Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tepat pukul dua dini hari, dua pekan lalu, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Condoleezza Rice menghubunginya. Entah apa yang sedang ia kerjakan di pagi buta itu, yang terang Rice menyampaikan sesuatu di luar dugaan. Rice mendesak supaya ia mau berbagi kekuasaan dengan lawan politiknya: Benazir Bhutto.
Tentu desakan itu bukan perkara mudah. Panglima angkatan bersenjata saat Bhutto menjabat perdana menteri ini berkali-kali menyatakan tidak akan mengizinkan perempuan 57 tahun itu menginjakkan kaki kembali di Pakistan. Keduanya memang sudah berunding beberapa kali sejak 2002, tapi gagal lantaran Bhutto mensyaratkan Pervez Musharraf berhenti dari militer. ”Kami tidak menerima Presiden Musharraf dalam seragam militer,” ujarnya kepada televisi Pakistan akhir Juli lalu.
Namun para pejabat Amerika yang menolak disebutkan identitasnya menilai Bhutto akan mengubah posisinya setelah Musharraf mengumumkan akan menggelar pemilihan umum parlemen secara terbuka September mendatang. Partai Bhutto, Partai Rakyat Pakistan (PPP), memiliki kesempatan menang dalam pemilu itu dan bakal menjadi perdana menteri.
Hanya, perempuan campuran Turki dan Persia ini tak bisa bekerja sendiri. Ia membutuhkan bantuan Musharraf untuk mengubah konstitusi yang melarang seseorang menjadi perdana menteri lebih dari dua periode dan membersihkan namanya dari tuduhan korupsi. Dua kali memerintah, 1988-1989 dan 1993-1996, Bhutto diberhentikan dari jabatannya karena dituding terlibat korupsi. Bila ini dilakukan, Bhutto pun harus membalas jasa Musharraf. Dengan kata lain, ia harus memenangkan Musharraf dalam pemilu presiden akhir tahun ini.
Sejatinya, kedua pemimpin itu juga mendapat tentangan dari partai masing-masing. Liga Muslim Pakistan (PML), yang mendukung Musharraf, sangat gusar akan kemungkinan itu lantaran bukan hanya tuduhan korupsi terhadap Bhutto dihapuskan, tapi ia juga akan mendapat jabatan lamanya kembali. ”Akan ada gerakan yang lebih luas untuk menentang Presiden,” kata Wakil Presiden PML Sayyid Ali Kabir Wasti memperkirakan.
Bhutto pun mengakui kesulitan itu dalam wawancara khusus dengan surat kabar The New York Times, Senin pekan lalu. ”Kami ingin menghindari sebuah situasi yang membuat kami seolah-olah menjamin sebuah kediktatoran militer yang tak populer,” kata perempuan yang mengasingkan diri di London dan Dubai ini. Tapi ia menegaskan akan tetap kembali ke tanah airnya walau belum ada kesepakatan dengan Musharraf.
Bagi Amerika, kembalinya Bhutto ke kekuasaan juga sebuah dilema. Meski itu akan membuat Pakistan lebih demokratis, Gedung Putih khawatir terhadap kelancaran program nuklir Pakistan dan kerja sama kedua negara dalam memerangi terorisme. Sejumlah pejabat Washington juga takut, di bawah kepemimpinan Bhutto, hubungan kedua negara akan merenggang.
Walau ragu, negara adidaya itu tetap maju jalan. Sejumlah laporan menyebutkan, selama beberapa pekan terakhir, beberapa pejabat senior bertemu dengan Bhutto, termasuk Duta Besar Amerika untuk PBB Zalmay Khalilzad, yang bertemu secara pribadi pekan lalu.
Tiga aktor politik tengah bergulat: Amerika, Bhutto, dan Musharraf. Semua tahu Musharraf tak hendak mengakhiri masa kepemimpinannya terlalu cepat. Ia mencoba bertahan sekalipun popularitasnya kian hari kian turun. Terutama setelah ia memecat Ketua Mahkamah Agung Iftikhar Muhammad Chaudry dan memerintahkan penyerbuan ke Masjid Merah. Kini kaum moderat dan radikal sama-sama membencinya.
Dalam keadaan terjepit ini, Musharraf bisa melakukan apa saja: menyatakan keadaan darurat (sempat dipertimbangkannya dua pekan lalu) atau bekerja sama dengan bekas lawannya, Benazir Bhutto.
Faisal Assegaf (New York Times, Telegraph)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo