ORKES simfoni bisa sekedar liperW tunjukkan, tapi jazz harus
dihadirkan. Jazz adalah suasana jazz, dan jika anda tak percaya,
di Balai Sidang Jakarta dua malam di akhir pekan lalu semua
rumus itu terjadi.
Inilah Bintang Jazz Festival '82. Bintang tentu saja berarti
merk bir, karena perusahaan minuman itu yang jadi sponsor
utamanya. Dan festival? Jika anda masuk lewat lobby selatan
gedung yang berbentuk lingkaran luas itu, di satu bagian anda
akan ketemu grup Victor Rompaz. Orang-orang bisa duduk atau
berdiri atau lewat, Victor bermain asyik, sampai pukul 20.00.
Pada saat itu di arena utama ada Abadi Susman (malam pertama)
atau Ireng Maulana (malam kedua). Jika anda bosan, anda bisa
masuk ke ruang Jati Barang dan menonton jazz in video.
Demikianlah, sejak pukul 18.00 sampai pukul 24.00, pelbagai grup
jazz--yang sudah ataupun yang belum terkenal--silih berganti, di
pelbagai tempat, mengajak kita mampir. Anda boleh jalan terus
meskipun tentu tak mungkin jalan terus jika di pentas ada Bubby
Chen di depan piano.
Ya, Bubby dan tentu saja Maryono dan Kiboud dan Benny Mustapa,
di malam pertama. Tapi atraksi pokok dalam bazaar jazz yang
pertama di Indonesia ini bukan mereka. Pada pukul 22.00, muncul
rombongan tamu dari Eropa: Rosa King & grup The Upside Down,
sampai pukul 23.00. Anda bayar Rp 7.500 dan duduk di sembarang
tempat: memang sangat mahal, tapi--harus diakui--tidak rugi.
Rosa King mungkin tak tercatat namanya dalam sejarah jazz
mutakhir dari Amerika. Wanita ini semula seorang penari.
Begitulah menurut buku acara yang bisa dibeli dengan Rp 500.
Kini, dengan tubuh yang gempal membantal, dia menyanyi. Dan tak
cuma menyanyi: dia meniup saxofon. Louis Amstrong dan Jack
Teagarden menggunakan suara mereka sebagai instrumen kedua. Rosa
King menggunakan instrumen sebagai suaranya yang kedua.
"Kami Tak menyangka . . . "
Dalam banyak hal dia memang seorang tradisionalis. Dia
menyanyi--seperti juga dikatakan oleh pembawa acara, Tim Kantoso
Danumihardja--dengan menjalin jazz modern pada akarnya. Dia
mengenal akar itu seperti ia mengenai biografinya sendiri.
Tapi, seperti kita dengar dari Summertiwle-nya, dasar diatonik
yang masih dipeliharanya dalam kekayaan improvisasi jadi sesuatu
yang hidup, unik, karena Rosa (dan The Upside Down, terutama
George Kauffman p.la piano) lahir dan tumbuh setelah "Di "
Gilespie dan sang "Burung" Charlie Parker.
"Kami tidak menyangka jazz di negeri ini mutunya baik," kata
RIsa tentang kualitas para musisi Indonesia yang malam itu
didengarnya. Anggaplah ini bukan basa-basi. Para pengenal jazz
toh harus mengakui bahwa rekaman Margie Siegger dengan iringan
Bubby Chen dan kawan-kawan dalam Terpikat beberapa tahun yang
lalu memang lebih bagus ketimbang rekaman jazz Jepang (kecuali
Watanabe) yang masuk kemari.
Atau dengarlah Bubby dan kawankawan membawakan In Sentimentl
Mood karya Duke Ellington malam itu. Terasa agak kuno barangkali
--seperti gema dari Chicago sekian puluh tahun yang lalu --tapi
keunggulan teknis mereka tak memucatkan emosi, justru
mengungkapkannya, dan kerapian yang hampir akademis itu tak
menyebabkan kita tak tersintuh. Suatu keindahan.
Kesulitan musisi jazz Indonesa jika kita bisa ambil kesimpulan
malam itu, ialah justru dalam menghadapi lagu-lagu. Indonesia
sendiri. Noor Sisters, diiringi Abadi Susman, membawakan satu
karya Tony Koeswoyo, Senja. Mona Sitompul diiringi Bubby dan
kawan-kawan, membawakan karya Usman, Maafkan Daku. Keduanya
adalah contoh, bahwa lagu-lagu Indonesia umumnya masih tak cukup
mengandung khasanah harmonik, relung-relung yang tak terduga
yang bisa diterobos untuk improvisasi. Terasa anemik .
Suatu usaha dilakukan oleh Benny Likumahuwa, dengan sebuah
sonata yang dibawakan oleh Abadi Susman di malam pertama. Benny
memang berbakat. Tapi sonatanya, walaupun liris, masih agak
cair--apalagi dibandingkan dengan pelbagai lagu yang dibawakan
malam itu. Apa boleh buat: Rosa King, meskipun kini menetap di
Negeri Belanda, tetap "yang punya blues" seperti musisi jazz
kulit hitam yang lain. Kita di sini tak punya pembawaan, tak
punya kaitan yang hampir biologis, dengan ritme, timbul suara,
tingkah laku dan latar hidup musik itu.
Bahkan kita tak (atau belum) punya sbowmanship seperti yang
dikasih lihat oleh King & The Upside Down. Toh kita punya bakat
yang besar dan ketrampilan yang cukup tinggi, serta kecintaan
yang ikhlas pada jazz. Dan itu sudah cukup buat berbahagia.
Mungkin itu juga kepuasan Peter Basuki, promotor festival ini.
Dia pernah jadi penyelenggara macam-macam show, termasuk grup
Deep Purple dan Ratu Kebaya, tapi selama ini ia belum puas
sebelum mengadakan festival jazz. "Nah, sekarang baru bisa
terlaksana," kata Peter, 35 tahun, yang untuk mendatangkan Rosa
dan kawan-kawan telah memasang uang sekitar Rp 60 juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini