Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sebuah bazaar, sebuah suasana & jazz

Penyelundupan bintang jazz festival '82 di balai sidang senayan, jakarta. yang disponsori bir bintang. ada rosa king dan grup the upside down dari eropa. (ms)

23 Januari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORKES simfoni bisa sekedar liperW tunjukkan, tapi jazz harus dihadirkan. Jazz adalah suasana jazz, dan jika anda tak percaya, di Balai Sidang Jakarta dua malam di akhir pekan lalu semua rumus itu terjadi. Inilah Bintang Jazz Festival '82. Bintang tentu saja berarti merk bir, karena perusahaan minuman itu yang jadi sponsor utamanya. Dan festival? Jika anda masuk lewat lobby selatan gedung yang berbentuk lingkaran luas itu, di satu bagian anda akan ketemu grup Victor Rompaz. Orang-orang bisa duduk atau berdiri atau lewat, Victor bermain asyik, sampai pukul 20.00. Pada saat itu di arena utama ada Abadi Susman (malam pertama) atau Ireng Maulana (malam kedua). Jika anda bosan, anda bisa masuk ke ruang Jati Barang dan menonton jazz in video. Demikianlah, sejak pukul 18.00 sampai pukul 24.00, pelbagai grup jazz--yang sudah ataupun yang belum terkenal--silih berganti, di pelbagai tempat, mengajak kita mampir. Anda boleh jalan terus meskipun tentu tak mungkin jalan terus jika di pentas ada Bubby Chen di depan piano. Ya, Bubby dan tentu saja Maryono dan Kiboud dan Benny Mustapa, di malam pertama. Tapi atraksi pokok dalam bazaar jazz yang pertama di Indonesia ini bukan mereka. Pada pukul 22.00, muncul rombongan tamu dari Eropa: Rosa King & grup The Upside Down, sampai pukul 23.00. Anda bayar Rp 7.500 dan duduk di sembarang tempat: memang sangat mahal, tapi--harus diakui--tidak rugi. Rosa King mungkin tak tercatat namanya dalam sejarah jazz mutakhir dari Amerika. Wanita ini semula seorang penari. Begitulah menurut buku acara yang bisa dibeli dengan Rp 500. Kini, dengan tubuh yang gempal membantal, dia menyanyi. Dan tak cuma menyanyi: dia meniup saxofon. Louis Amstrong dan Jack Teagarden menggunakan suara mereka sebagai instrumen kedua. Rosa King menggunakan instrumen sebagai suaranya yang kedua. "Kami Tak menyangka . . . " Dalam banyak hal dia memang seorang tradisionalis. Dia menyanyi--seperti juga dikatakan oleh pembawa acara, Tim Kantoso Danumihardja--dengan menjalin jazz modern pada akarnya. Dia mengenal akar itu seperti ia mengenai biografinya sendiri. Tapi, seperti kita dengar dari Summertiwle-nya, dasar diatonik yang masih dipeliharanya dalam kekayaan improvisasi jadi sesuatu yang hidup, unik, karena Rosa (dan The Upside Down, terutama George Kauffman p.la piano) lahir dan tumbuh setelah "Di " Gilespie dan sang "Burung" Charlie Parker. "Kami tidak menyangka jazz di negeri ini mutunya baik," kata RIsa tentang kualitas para musisi Indonesia yang malam itu didengarnya. Anggaplah ini bukan basa-basi. Para pengenal jazz toh harus mengakui bahwa rekaman Margie Siegger dengan iringan Bubby Chen dan kawan-kawan dalam Terpikat beberapa tahun yang lalu memang lebih bagus ketimbang rekaman jazz Jepang (kecuali Watanabe) yang masuk kemari. Atau dengarlah Bubby dan kawankawan membawakan In Sentimentl Mood karya Duke Ellington malam itu. Terasa agak kuno barangkali --seperti gema dari Chicago sekian puluh tahun yang lalu --tapi keunggulan teknis mereka tak memucatkan emosi, justru mengungkapkannya, dan kerapian yang hampir akademis itu tak menyebabkan kita tak tersintuh. Suatu keindahan. Kesulitan musisi jazz Indonesa jika kita bisa ambil kesimpulan malam itu, ialah justru dalam menghadapi lagu-lagu. Indonesia sendiri. Noor Sisters, diiringi Abadi Susman, membawakan satu karya Tony Koeswoyo, Senja. Mona Sitompul diiringi Bubby dan kawan-kawan, membawakan karya Usman, Maafkan Daku. Keduanya adalah contoh, bahwa lagu-lagu Indonesia umumnya masih tak cukup mengandung khasanah harmonik, relung-relung yang tak terduga yang bisa diterobos untuk improvisasi. Terasa anemik . Suatu usaha dilakukan oleh Benny Likumahuwa, dengan sebuah sonata yang dibawakan oleh Abadi Susman di malam pertama. Benny memang berbakat. Tapi sonatanya, walaupun liris, masih agak cair--apalagi dibandingkan dengan pelbagai lagu yang dibawakan malam itu. Apa boleh buat: Rosa King, meskipun kini menetap di Negeri Belanda, tetap "yang punya blues" seperti musisi jazz kulit hitam yang lain. Kita di sini tak punya pembawaan, tak punya kaitan yang hampir biologis, dengan ritme, timbul suara, tingkah laku dan latar hidup musik itu. Bahkan kita tak (atau belum) punya sbowmanship seperti yang dikasih lihat oleh King & The Upside Down. Toh kita punya bakat yang besar dan ketrampilan yang cukup tinggi, serta kecintaan yang ikhlas pada jazz. Dan itu sudah cukup buat berbahagia. Mungkin itu juga kepuasan Peter Basuki, promotor festival ini. Dia pernah jadi penyelenggara macam-macam show, termasuk grup Deep Purple dan Ratu Kebaya, tapi selama ini ia belum puas sebelum mengadakan festival jazz. "Nah, sekarang baru bisa terlaksana," kata Peter, 35 tahun, yang untuk mendatangkan Rosa dan kawan-kawan telah memasang uang sekitar Rp 60 juta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus