Fadly bin Syafar, 34 tahun, tinggal di hutan. Pekerjaannya memecah batu untuk dijual kepada kontraktor jalan raya. Menjelang malam ia baru pulang ke rumah. Siapa menyangka ia sebenarnya karyawan Bank Rakyat Indonesia (BRI) Desa Payung, Kota Madya Pangkalpinang. Saya dituduh korupsi dan dipecat dari pekerjaan," ujar penduduk Kecamatan Koba, Pulau Bangka, itu memelas. Benarkah? Pekan lalu PTUN Palembang memerintahkan BRI mencabut SK pemecatan Fadly dan mengembalikan kedudukan karyawan itu. Perintah PTUN ini mengacu pada putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak kasasi jaksa. Fadly otomatis bebas dari segala dakwaan. Pimpinan BRI Pangkalpinang masih menolak semua keputusan itu. "Kami yakin, Fadly korupsi," ujar sebuah sumber BRI yang tak bersedia disebut namanya. Peristiwanya terjadi pada 1984. Fadly, yang lulusan SMEAN Pangkalpinang, diangkat menjadi Kepala Unit Desa (Kaudes) BRI Payung, Kota Madya Pangkalpinang. Di sini Fadly menemukan kredit sejumlah petani macet. Ketika dicek, nama-nama petani penunggak kredit Bimas Intensifikasi Lada ini ternyata fiktif. Padahal jumlahnya sekitar 150 orang dengan luas lahan 148 Ha. Jumlah kredit macet itu Rp 21 juta. Ia melaporkan temuannya itu ke atasannya. Anehnya, Januari 1985, ia malah menerima surat skorsing selama setahun. Gajinya dipangkas 50%. Alasannya, Fadly tak cakap melaksanakan tugas. Lebih kaget lagi, setelah selesai masa skorsing Pimpinan Wilayah (Pinwil) BRI Sumatera Bagian Selatan memecat Fadly dengan tidak hormat. Ia diajukan ke pengadilan dengan tuduhan korupsi. Sejak diskors, karyawan bergaji kotor sekitar Rp 100 ribu ini menderita lahir batin. Selain kehilangan peng hasilan, ia dicemoohkan tetangga dan kawan-kawannya. "Ke mana pun saya pergi, orang-orang selalu mencibir," ujar Fadly. Keadaan itu mempengaruhi upayanya mencari uang. Ke mana pun ia mencoba melamar pekerjaan, tak pernah ada jawaban. Akhirnya ia masuk hutan, menjadi tukang batu. Penghasilannya sebagai pemecah batu Rp 3.000 per hari. "Itu pun habis untuk ongkos menghadiri sidang," kata Fadly. Untunglah Masnun, istrinya, karyawati di kantor kecamatan Koba. Ternyata, dalam persidangan tahun 1987, tuduhan korupsi itu tidak terbukti dan hakim memutuskan bahwa Fadly dibebaskan dari segala dakwaan. Pendahulunya, Ramdhan Siregar, yang dilaporkan korupsi oleh Fadly, divonis dua tahun penjara. Tapi pihak BRI menolak putusan bebas Fadly. Jaksa yang menuntut Fadly 2 tahun penjara mengajukan kasasi ke MA. Namun Januari 1992 MA memutuskan menolak kasasi itu dan memerintahkan agar Fadly dibebaskan dari semua tuduhan. Toh Pinwil BRI tetap tak mau menerima keputusan itu. Akhirnya Fadly menggugat BRI ke PTUN Palembang. Lagi lagi Fadly menang. PTUN memerintahkan agar Fadly dipekerjakan kembali di BRI Cabang Pangkalpinang. Selain menimbang putusan MA yang sudah mempunyai kekuatan hukum, PTUN menilai pemecatan Fadly tidak wajar. Dilakukan sebelum ada keputusan pengadilan. Ini dinilai PTUN melanggar asas praduga tak bersalah. Karena itu, "Skorsing dan pemecatan Fadly adalah perbuatan melawan hukum," ujar Hakim. Tapi pihak BRI tetap saja menolak. "Kami akan mengajukan Peninjauan Kembali dengan bukti-bukti yang ada," ujar M. Djumeri SE, Pinwil BRI Sumatera Bagian Selatan, kepada TEMPO. Dengan alasan tak punya wewenang memberi keterangan kepada pers, Djumeri menolak menjelaskan bukti apa yang dimaksud. Tapi ia menyatakan, "Apa pun keputusan PTUN nanti akan kami hormati." Menurut Suhandi Cahaya, penasihat hukum Fadly, Fadly sebenarnya tidak perlu melakukan gugatan ke PTUN. "Putusan MA sudah punya kekuatan hukum yang tetap. Tinggal melaksanakan," ujar Suhandy kepada TEMPO. Fachry Achmad, Wakil Ketua PN Pangkalpinang, membenarkan pendapat Suhandy. Tapi, "Keputusan PTUN di tingkat banding bisa saja berbeda dengan putusan kasasi," katanya. Moga-moga tidak. Hasan Syukur & Aina Rumyati Aziz
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini