JERITAN histeris memecah sunyi malam. "Tolong, tolong." Di pagi menjelang subuh, penduduk Sidomulyo, Kecamatan Sumberlawang, Sragen (Jawa Tengah), berhamburan keluar menyongsong arah jeritan itu. "Si Mbok bunuh diri," kata Senen, 37 tahun, yang tadi menjerit-jerit. Tubuh beku Mbok Sainem, 60 tahun, tergantung di atas tempat tidurnya. Leher terjerat selendang cokelat, yang terikat pada usuk rumahnya. Ujung kakinya sekitar setengah meter dari lantai tempat tidur. Pagi hari itu juga, setelah meneliti mayat itu lalu disidik, akhirnya polisi geleng-geleng kepala: wanita itu meninggal secara tak wajar. "Tak mungkin orang yang kakinya lumpuh bisa menggantung dirinya sendiri," kata sumber di Polres Sragen. Mungkin Sainem dibunuh? Kesimpulan polisi memang begitu. Dan orang yang paling dicurigai adalah anak kandungnya sendiri ini: Senen. Ia bertubuh sedang dan berkulit hitam. Senen, yang tinggal di belakang rumah korban, demikian menurut polisi, adalah satu-satunya anak yang merawat perempuan itu. Sudah empat bulan Mbok Sainem menderita sakit perut. Penderitaan itu begitu berkepanjangan, hingga kaki kanannya tak bisa digerakkan sama sekali. Lumpuh. Dari hari ke hari ia hanya terbaring di tempat tidur. Selama empat bulan itu, Senen -- yang juga memikul beban menghidupi keluarganya -- merasa sangat repot. Pagi hari, Senen pula yang memandikan ibunya. Bila Mbok Sainem mau buang air kecil, beol, atau berobat ke Puskesmas, Senen juga yang membopongnya. Tetapi pada saat dia bermalam di rumah mboknya bersama Wagiman, adiknya, malam itu, kata polisi, entah setan apa yang menyiasati pikiran Senen. Ketika Wagiman lelap tidur -- pukul satu tengah malam dengan mengendap-endap ia menyelinap ke kamar ibunya. Ternyata, si mbok belum tidur. Dengan alasan mau mengobati ibunya, Senen mengambil selendang di samping ibunya. Ia memanjat lalu mengikatkan ujung selendang itu pada sebuah usuk atap rumah, persis di atas tempat tidur ibunya. Lalu, pelan-pelan ia mendekati ibunya. Dan ngek-ngek-ngek. Leher Mbok Sainem dicekik. Perempuan malang itu tak berdaya. Tubuhnya lunglai. Pelan-pelan Senen mengangkatnya. Leher ibunya kemudian ia ikat dengan ujung selendang tadi. Setelah selesai Si Malin Kundang itu kembali ke tempat tidurnya semula, di samping adiknya. Baru pukul tiga dinihari, ia bermain sandiwara. Ia membangunkan Wagiman. Lalu ia berlari ke halaman, berpura-pura panik, dan menjerit minta tolong. Kepada polisi yang menyidiknya, Senen mengaku terus terang: "Ya, Pak, sayalah yang membunuh si Mbok. Karena saya bosan merawatnya. Saya sudah tak punya uang untuk membeli obat dan tidak sanggup lagi mengurus si Mbok," tutur Senen, anak nomor dua dari enam bersaudara itu. Sebagai buruh tani dan penjual daun pisang, selama ini waktunya habis untuk merawat Mbok Sainem, tetapi tak kunjung sembuh. Meskipun Senen sudah mengaku sebagai pembunuh ibunya sendiri, orang kampung dan saudara-saudaranya tidak percaya. Seperti Partiyem, 45 tahun, mbakyu kandung Senen. "Dia itu sangat sayang pada si Mbok, juga si Mbok sangat menyayangi Senen," kata Partiyem, anak sulung Sainem. "Saya yakin, si Mbok bunuh diri," tuturnya. Pendapat Partiyem didasarkan pada dua alasan. "Senen itu orangnya pendiam, tidak pernah marah kepada siapa pun. Lagi pula, dia itu bodoh. Dia tidak sekolah. Karena itu, dia tak bisa ngomong Indonesia," katanya. "Jadi, tidak mungkin dia punya pikiran sejahat itu," katanya. Ronowijoyo, 45 tahun, juga tak percaya. "Waktu itu Senen betul-betul menangis. Dia sangat terpukul kehilangan mbok yang disayanginya," kata tetangga dekat itu. Jadi, siapa pembunuh si mbok pada malam 24 September itu? Pengakuan Senen sendiri, siapa tahu, karena terpaksa setelah diinterogasi berhari-hari. Senen, seperti kata mbakyunya, orangnya memang lugu. Syahril Chili, Slamet Subagyo (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini