SEORANG tukang judi sintir, perampok dan pembunuh, telah menjadi
"muballigh" di Karawang. Pada tahun 1950 ia masih berada di
Nusakambangan -- selama 2 tahun -- untuk menjalani hukumannya.
Akan tetapi sejak 20 tahun yang terakhir ini ia menyulap diri
menjadi saleh dan tersohor di kalangan masyarakat kelas kecoak.
"Mengenang masa lalu mesti mengeluarkan air mata," kata Haji
Unasih, yang kini sudah berusia 53 tahun itu.
Orang tua Unasih memang seorang pemeluk Islam. Barangkali ia
besar pengaruhnya selama ia berada dalam penjara. Setelah bebas
dari sekapan ia mencari guru mengaji. Dari Haji Ahmad Bariji ia
mendapat ilmu fiqih, sedangkan dari Haji Ahmad Tengku
diperolehnya tauhid. Dengan tak terasa popularitasnya sebagai
bajingan di tahun 40-an berubah. Ia kemudian tersohor dengan
julukan "Ustadz Langlangbuana."
Membimbing WTS
Nama "Langlangbuana" diperolehnya lantaran pernah ia 3 jam
setiap hari keluar-masuk rumah tahanan polisi Karawang di
lingkungan Komdak VIII/Langlangbuana. Di situ ia memberi
tuntunan agama buat 62 tahanan -- dalam soal ahlaq, tauhid dan
fiqih. Pekerjaan itu dijalankannya dengan imbalan Rp 3.500 plus
Rp 2.500 dari Departemen Agama Karawang, sebulan. Terlalu kecil
memang, tapi bagi Unasih yang penting bukan duitnya. Apa?
"Dengan mengajak orang berbuat baik, menuntunnya, saya harap
Ridho-Nya. Dengan jalan ini saya berjuang di jalan Tuhan,"
jawabnya mantap.
Tanpa pakai tarip, Unasih bergerak melayani panggilan untuk
ceramah agama ke segala pelosok. Uang tidak pernah dipersoalkan.
Berapa saja diberi ia terima. Kadangkala tidak dikasih apa-apa,
juga oke. "Diberi sekedar ongkos sudah cukup. Tuhan itu tempat
meminta. Dan tak ada yang bekerja, hidupnya sia-sia," ucap
Unasih. Ia sendiri mengecam muballigh yang mondar-mandir dengan
tarip. "Kalau memang betul begitu, bagaimana bisa menyebutnya
kerja fi-sabilillah," katanya menilai. Namun ia akui soal tarip
tak sepenuhnya disebabkan keserakahan para muballigh. Awal
mulanya adalah masyarakat sendiri yang jorjoran menaikkan tarip
untuk merebut muballigh yang "top".
Unasih tidak benci uang. Ia juga manusia biasa yang perlu
menyumbat secara wajar perut keluarganya. Untuk itu sering --
menurut pengakuannya -- ia minta langsung kepada Tuhan. Seusai
shalat, ia memohon supaya rezekinya jangan putus. Hasilnya
nyata. Kadangkala sawahnya panen mendahului sawah orang lain.
Atau ikan-ikan tawes yang ada di kolam selebar setengah hektar,
rame-rame bunting dan memberikan anak yang gemuk-gemuk.
He-He-He.
Tanpa pernah menggigit bangku sekolah, Unasih kini menjadi salah
seorang muballigh top. Selain menjadi rebutan beberapa kampung
dalam perayaan/peringatan agama, setiap hari Rabu Unasih bertemu
dengan seluruh "wts" Cikampek dan Karawang. Tak kurang dari 364
orang yang dipompanya dengan ceramah-ceramah moral. "Menunjuki
orang ke jalan yang baik adalah wajib," kata Unasih. Hasilnya
boleh. Tahun lalu belasan wanita daerah hitam itu menikah.
Banyak di antaranya datang menemui Unasih untuk mengucapkan
terima kasih. "Tuntunan kita berhasil dan itu kekayaan yang tak
bisa dinilai dengan uang," kata Unasih dengan terharu.
Di bulan puasa ini kegiatan Unasih meningkat. Tiap malam usai
shalat tharawih ia mengadakan pengajian. Sekaligus secara tak
disadarinya, inilah saat rezekinya bertambah. Belum lagi sampai
pada ujung bulan puasa, ia akan menerima banyak hadiah. Orang
boleh curiga kalau kebasahan itulah yang menyebabkan orang ini
setia pada pekerjaannya. Unasih punya alasan sendiri. Ia
mengutip motto Bung Karno: "Lebih baik hidup seperti burung
rajawali mencari makan ke sana ke mari, daripada hidup seperti
burung kenari dalam kurungan emas, tetapi terbelenggu, kalau
makan diloloh. Saya ingin kerja bebas. Dan di sinilah itu bisa
didapatkan," kata orang tua itu membanggakan pekerjaannya.
"Kalau bukan karena pahalanya besar, saya tentu tak akan jadi
muballigh," kata ustadz Mudjib Ridlwan (53 tahun) di Surabaya.
Eks anggota DPRD tingkat II ini sekarang muballigh yang laris di
kalangan NU Jawa Timur. Bulan: Agusrus, September, Nopember, 95%
harihari pada penanggalannya diberi silang -- tanda ia sudah
dibooking. Para penggemarnya memuji suaranya seperti Rhoma
Irama. Isi ceramahnya selalu hangat dan "berani". "Meskipun
berjam-jam mendengar ceramahnya tak pernah ngantuk atau bosan,"
kata penggemarnya.
"Bagi saya enak jadi muballigh profesional. Di sini saya bisa
bertemu dengan rakyat langsung," kata Mudjib. Ia menolak cerita
orang yang mengatakan karena da'wah muballigh bisa kaya. Di kota
barangkali. "Di desa, makanya mereka berani mengundang saya
karena mereka bisa menghemat hanya dengan membayar ongkos
transpor," kata ustadz itu berkilah. Ia malah mengaku sering
tekor. Mungkin juga, karena orang tua ini tidak sepenuhnya bisa
bergantung dari nafkah muballigh. Pagi hari ia selalu menolak
undangan, karena keliling kota jualan cincin.
Dalam menjelajahi desa-desa, Mudjib banyak mengecap garam
pengalaman. Sekali waktu ia terpental dari sepedanya menabrak
onggokan tanah dekat tambak. Seragam putihnya jadi hitam,
sehingga para penyambutnya ketakutan. Di Lamongan, begitu turun
dari opelet tasnya dijambret, terpaksa tugas dilaksanakan pakai
baju pinjaman. Di Pasuruan, untuk bertabligh terpaksa naik kuda
sampai pinggang kelu. Sedangkan 6 bulan lalu di Kabupaten
Trenggalek, sedang enak-enaknya ceramah, diserang banjir. "Tapi
yang membikin saya gembira jadi mballigh, massa yang datang itu
biar kena hujan dan banjir, mereka tetap di tempat," kata Mudjib
dengan bangga.
Hampir Berhenti
Seperti Mudjib ustadz Segaf Binsyech Abubakar (33 tahun) juga
memilih desa. "Saya lebih suka berdak'wah di kalangan rakyat
kecil ketimbang orang gede. Saya lebih berpengaruh pada mereka,"
ujarnya. Anak muda asal Dompu Sumbawa --yang kini memimpin
Yayasan Pendidikan PINU di Surabaya ini, berdak'wah sejak usia
15 tahun. Untuk menjamin nafkah hidupnya, ia juga bekerja
menyediakan jasa mengurus pembuatan paspor dan mengajar.
"Berdak'wah melulu tanpa bekerja ya kering," katanya terus
terang.
Karena penampilan Segaf yang lembut, apik, dengan pakaian
putihnya serta tak pernah bicara politik -- ia berhasil
memasukkan seorang direktur plywood -- WNI Cina -- beserta
keluarganya dalam rangkulan Islam. Ini yang membuat Segaf mantap
mempertahankan pekerjaan muballigh. Di kawasan Surabaya dan
Madura ia termasuk muballigh paling muda yang laris. "Bagi saya
tak ada kebahagiaan yang paling indah dirasakan selain bertatap
dengan umat yang mendengarkan ceramah saya, " katanya serius.
Di Jember muballigh Habib Agil Alatas (42 tahun) hampir saja
meletakkan jubahnya. Tiga orang penduduk desa dari Banyuwangi
mengundangnya. "Saya sangat kasihan melihat mereka mengundang
saya. Meski dalam keadaan badan kurang enak, saya mau saja,"
tuturnya. Tetapi kemudian ia tidak diantarkan pulang. Di lepas
begitu saja, sehingga terpaksa jalan 7 km sebelum ketemu jalan
aspal. Waktu merogoh sakunya, ia jadi bengong. "Saya kira uang
yang dimasukkan oleh pengundang ke saku cukup untuk pulang ke
Jember, nyatanya hanya cukup untuk beli es saja," kata Agil
mengenang.
Mungkin karena sudah dipelonco seperti itu, Agil ini malah jadi
gigih. Kini ia sanggup naik-turun gunung menembus desa-desa yang
paling terpencil untuk berceramah tanpa diundang. Sekali lagi:
tanpa diundang. "Yang saya utamakan, desa yang banyak caroknya
orang berkelahi -- biasanya daerah maksiat, itu sebabnya carok
terkenal di sini," kata Agil. Modal satu-satunya yang dimiliki
oleh Agil adalah ketabahan. Ketabahan tersebut merupakan
"ijazah" yang pernah diberikan oleh seorang waliullah kepadanya.
"Dalam hal kesabaran saya kaya, tapi dalam materi lihat sendiri
sajalah," kata ustadzMa'mun Adnan (52 tahun) di daerah Kebon
Kosong, Jakarta Timur. Orang tua asal Tegal ini masuk Jakarta
tahun 1973. Kini mendiami sebuah gubuk buruk berukuran 3 x 5
meter di belakang Pasar Burung, Jalan Pramuka. Rata-rata 3 kali
sebulan ia memberikan ceramah atas undangan. Untuk mencukupi
hidupnya, ia juga mengajar. Sementara isterinya membagi rumah
menjadi warung kecil-kecilan.
"Kalau ditanya soal uang, mengkeret hati saya," mata Ma'mun
Adnan. Ia tak pernah pasang tarip, tak pernah pula memeriksa
berapa isi amplop yang diulurkan panitia. Isterinya kadangkala
menjumpai di bajunya Rp 500, kadangkala sampai Rp 5.000. "Saya
agak prihatin dalam soal ini, karena saya pernah mendengar
sendiri ada seorang muballigh menentukan target pendapatannya,"
tuturnya. Tahun lalu ia bertemu dengan seorang muballigh yang
sedang top mentargetkan Rp 400 ribu sebulan.
Ustadz Ma'mun mengkhususkan dirinya menyelami jiwa orang-orang
tua. Di samping karena memang senang, juga karena ia tidak punya
bahan untuk anak-anak muda. Setiap kali hendak berceramah, ia
selalu menyiapkan bahan-bahan secara garis besar. Buku-buku
bertumpuk di dalam kamarnya yang kecil itu. Harian Pos Kota
yang banyak memberitakan soal perzinahan dan pembunuhan,
seringkali menjadi bahan inspirasinya. Setiap kali selesai
menjalankan tugas, ia lantas bersembahyang dan berdoa agar apa
yang sudah disampaikannya termakan oleh pendengarnya.
Hidup sebagai muballigh, ustadz ini merasa tak ada bedanya
dengan orang lain. Pakaiannya biasa saja. Kadangkala kain,
kadang celana. "Asal jangan suruh lepas peci saja, karena saya
sudah sejak dulu pakai peci," katanya. Masyarakat sendiri memang
sering berusaha memperlakukannya lain. Misalnya kalau salaman
orang lantas cium tangan. "Kalau masih lebih muda itu saya
biarkan, tapi kalau salaman dengan orang sebaya sering saya
tarik," kata ustadz ini.
Muballigh yang sarjana muda dan berpengalaman dalam bidang
teater juga ada. Namanya H. Abdurachman Arroisyi yang dulu
dikenal sebagai Arman Haro. Lahir di Pemalang, 13 Desember 1944,
kuliah di ATNI 1967-1969 dan pernah mengarang naskah drama
berjudul "Datuk Saykiyan". Selain itu ia juga sudah menggondol
sarjana muda dari Universitas Ibnu Chaldun Jakarta, jurusan
Ushuluddin ia bahkan terkenal sampai ke Malaysia.
"Padahal cita-cita saya dulu menjadi sutradara film, sama sekali
bukan muballigh," katanya. Ia jadi muballigh lantaran
mempersunting Romlah Adnan -- seorang muballighah pula -- adik
guru agamanya. Mula-mula sebagai suami ia tetap nganggur dan
nyeniman. Satu kali ia menemani isterinya berceramah di Tegal.
Nggak tahunya, setelah isterinya turun mimbar, ia diminta
tampil. Agaknya orang masih menyangka kalau isteri hebat, pasti
suaminya lebih "edan" lagi. Saya terkejut sekali dan
tergagap-gagap, ngomong seadanya. Turun mimbar, muka saya
setembok tebalnya," kata Abdurahman. Rasa malu hari itulah yang
kemudian mendorongnya memperdalam soal-soal agama.
Meniru Dari Kaset
Permulaan 1970 Abdurahman merintis jalan. Pada awal kariernya ia
pernah membuat lelucon tatkala berkhotbah Jum'at dan sekaligus
menjadi imam di Masjid Biro Pusat Statistik Pasar Baru. Selesai
meng-imami sembahyang, ia bukannya langsung memimpin doa dan
dzikir, tapi bersalaman dan tegur sapa dengan temannya yang
kebetulan duduk di belakangnya mengikuti sembahyang. "Semua
orang pada ketawa, karena kejadian begitu janggal. Sejak itu
sampai sekarang, saya nggak pernah dipanggil lagi ke sana,"
katanya terus terang.
Mula-mula Abdurahman meniru muballigh lain dari kaset. Kemudian
ia menyusun sendiri. Sekarang kalau suami isteri diundang, di
rumah diatur dulu bagian mana yang akan digarap oleh
masing-masing, jadi tidak mengulang. "Saya selalu tanya pada
yang mengundang, tentang kondisi masyarakatnya dan saya memang
tidak pernah bicara soal perbedaan agama," ujarnya. Ia
mengatakan di Jakarta bahan ceramah bisa awet satu bulan, karena
disampaikan di tempat yang berbeda-beda.
Di Jakarta imbalan ceramah Abdurahman berkisar antara Rp 5 ribu
sampai Rp 10 ribu. Di Malaysia konon paling kecil 100 ringgit
(Rp 29 ribu) sekali ceramah. Sejak 1976 sudah 4 kali ia
menjelajah Malaysia. "Masyarakat Jakarta intelek maupun rendah,
menghendaki pembicaraan soal agama melulu agama, jangan
diilmiahkan, sedang di Malaysia isi ceramah harus mencakup
humor, pepatah Inggeris/Barat, ilmiah, lagu-lagu dan diselingi
secara serius kutipan-kutipan Ayat Al Quran dan Hadis Nabi," ia
menjelaskan.
Di Malaysia Abdurahman dipanggil doktor. Tahun 1978 ia pernah
ceramah pakai bahasa Inggeris, tapi kemudian masyarakat lebih
suka mendengar bahasa Indonesia. Tahun itu juga ia berhasil
membuat pendengarnya menangis, tatkala ia mengupas kedurhakaan
seorang anak. "Saya beruntung sekali punya latar belakang
pendidikan akting di-ATNI. Ini membantu sekali dalam menunjang
kesuksesan saya berdakwah," ujar muballigh yang sampai sekarang
doyan nonton film perang itu.
Hidup Abdurahman bagus. Kini ia memiliki mobil dan 3 anak
lelaki. Salah satu anaknya ia cita-citakan untuk jadi tentara
yang punya pengetahuan agama luas. Di samping itu ia
menganjurkan agar muballigh punya pekerjaan lain yang tidak
langsung ditangani -- jadi tidak diganggu soal kebutuhan hidup.
"Misalnya saja pertanian. Seperti para kyai tradisional pada
umumnya, mereka biasanya identik dengan petani," katanya
menjelaskan.
Romlah Adnan, isteri Abdurahman (33 tahun) terkenal sebagai
muballighah yang keras suaranya -- keras juga isi ceramahnya.
Tahun 1965 di Sukorejo, Ja-Tim, ia pernah berdakwah: "Kita lebih
cinta pada bangsa daripada Nasakom." Serta merta seorang petugas
menodongkan senjata, menyuruhnya turun dari mimbar. Kakaknya
ganti naik ke mimbar sekaligus menantang petugas agar
menembaknya kalau berani. Rakyat pun marah, hampir saja terjadi
keributan. "Karena itu, kalau sekarang di Jakarta mengalami
kesulitan, masih ringan dibanding dulu, jadi nggak saya
anggaplah," kata wanita itu. Bersama Tuti Alawiyah dan Sriyani
Taher, ia kini tergolong muballighah paling top di Jakarta.
Agitasi Dan Politik
Adnan Harahap (40 tahun) muballigh kampus IAIN Sunan Kalijaga
(Yogya) mengatakan khusus di kota gudeg itu, berda'wah adalah
perjuangan. Tidak ada honor seperti di Jakarta. Kalau diberipun
harus difikir-fikir. Ia sendiri rata-rata 3 kali seminggu
mengisi ceramah. Timbul kesulitan kalau ia harus ceramah di
pelosok karena harus pakai bahasa campur aduk supaya bisa
dimengerti Baginya keliru mengukur sukses seorang muballigh dari
banyaknya pendengar, kemampuan berpidato, kemampuan membakar
emosi, memukau atau dagelan yang membuat orang bertepuk tangan
dan bersorak. Yang penting, katanya, ada tidaknya perubahan
sikap dari orang-orang bersangkutan kemudian. "Tematis emosionil
harus dirubah jadi tematis rasionil," kata anak Tapanuli Selatan
yang juga jadi penulis mimbar Jum'at di harian Kedaulatan Rakyat
(Yogya) itu. "Saya kecam da'wah untuk kepentingan politik
praktis," katanya kemudian kepada TEMPO dengan tandas.
Masih di Yogya, ibu Hajjah Alfiyah Munadi (60 tahun), juga
melihat perlu merubah cara berda'wah sekarang. Di aman
toleransi agama ini, di mana orang menganggap semua agama sama,
orang jangan dibawa ke akherat saja tapi juga pada kesenangan
dunia. Karena itu setiap berda'wah tidak hanya persoalan agama
yang dibahas, masyarakat juga dibawa ke dunia kesehatan,
pendidikan anak dan lain sebagainya. Perbedaan antara penceramah
dulu dan sekarang katanya adalah dalam hal mengurangi "agitasi".
Muballighah ini naik turun mimbar sejak tahun 1939. Ia melihat
dulu banyak digunakan ayat-ayat Quran dalam ceramah, kini
masyarakat membutuhkan kenyataan. Tegasnya ceramah sekarang
harus ada keseimbangan antara kepentingan dunia dan akherat. Ia
selalu ingat pesan orang tuanya yang meninggal di tahun 1954.
"Saya senang dan bersyukur engkau berda'wah ke mana-mana. Tapi
ingat, kau sendiri harus menjalankan apa yang kau pidatokan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini