Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Mereka yang berjuang di jalan tuhan

Ada muballigh bekas bajingan. ia mengecam muballigh yang pasang tarip atau mentargetkan pendapatannya. cara da'wah masa kini harus dirubah supaya ada keseimbangan antara akherat dan kenyataan. (sd)

25 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG tukang judi sintir, perampok dan pembunuh, telah menjadi "muballigh" di Karawang. Pada tahun 1950 ia masih berada di Nusakambangan -- selama 2 tahun -- untuk menjalani hukumannya. Akan tetapi sejak 20 tahun yang terakhir ini ia menyulap diri menjadi saleh dan tersohor di kalangan masyarakat kelas kecoak. "Mengenang masa lalu mesti mengeluarkan air mata," kata Haji Unasih, yang kini sudah berusia 53 tahun itu. Orang tua Unasih memang seorang pemeluk Islam. Barangkali ia besar pengaruhnya selama ia berada dalam penjara. Setelah bebas dari sekapan ia mencari guru mengaji. Dari Haji Ahmad Bariji ia mendapat ilmu fiqih, sedangkan dari Haji Ahmad Tengku diperolehnya tauhid. Dengan tak terasa popularitasnya sebagai bajingan di tahun 40-an berubah. Ia kemudian tersohor dengan julukan "Ustadz Langlangbuana." Membimbing WTS Nama "Langlangbuana" diperolehnya lantaran pernah ia 3 jam setiap hari keluar-masuk rumah tahanan polisi Karawang di lingkungan Komdak VIII/Langlangbuana. Di situ ia memberi tuntunan agama buat 62 tahanan -- dalam soal ahlaq, tauhid dan fiqih. Pekerjaan itu dijalankannya dengan imbalan Rp 3.500 plus Rp 2.500 dari Departemen Agama Karawang, sebulan. Terlalu kecil memang, tapi bagi Unasih yang penting bukan duitnya. Apa? "Dengan mengajak orang berbuat baik, menuntunnya, saya harap Ridho-Nya. Dengan jalan ini saya berjuang di jalan Tuhan," jawabnya mantap. Tanpa pakai tarip, Unasih bergerak melayani panggilan untuk ceramah agama ke segala pelosok. Uang tidak pernah dipersoalkan. Berapa saja diberi ia terima. Kadangkala tidak dikasih apa-apa, juga oke. "Diberi sekedar ongkos sudah cukup. Tuhan itu tempat meminta. Dan tak ada yang bekerja, hidupnya sia-sia," ucap Unasih. Ia sendiri mengecam muballigh yang mondar-mandir dengan tarip. "Kalau memang betul begitu, bagaimana bisa menyebutnya kerja fi-sabilillah," katanya menilai. Namun ia akui soal tarip tak sepenuhnya disebabkan keserakahan para muballigh. Awal mulanya adalah masyarakat sendiri yang jorjoran menaikkan tarip untuk merebut muballigh yang "top". Unasih tidak benci uang. Ia juga manusia biasa yang perlu menyumbat secara wajar perut keluarganya. Untuk itu sering -- menurut pengakuannya -- ia minta langsung kepada Tuhan. Seusai shalat, ia memohon supaya rezekinya jangan putus. Hasilnya nyata. Kadangkala sawahnya panen mendahului sawah orang lain. Atau ikan-ikan tawes yang ada di kolam selebar setengah hektar, rame-rame bunting dan memberikan anak yang gemuk-gemuk. He-He-He. Tanpa pernah menggigit bangku sekolah, Unasih kini menjadi salah seorang muballigh top. Selain menjadi rebutan beberapa kampung dalam perayaan/peringatan agama, setiap hari Rabu Unasih bertemu dengan seluruh "wts" Cikampek dan Karawang. Tak kurang dari 364 orang yang dipompanya dengan ceramah-ceramah moral. "Menunjuki orang ke jalan yang baik adalah wajib," kata Unasih. Hasilnya boleh. Tahun lalu belasan wanita daerah hitam itu menikah. Banyak di antaranya datang menemui Unasih untuk mengucapkan terima kasih. "Tuntunan kita berhasil dan itu kekayaan yang tak bisa dinilai dengan uang," kata Unasih dengan terharu. Di bulan puasa ini kegiatan Unasih meningkat. Tiap malam usai shalat tharawih ia mengadakan pengajian. Sekaligus secara tak disadarinya, inilah saat rezekinya bertambah. Belum lagi sampai pada ujung bulan puasa, ia akan menerima banyak hadiah. Orang boleh curiga kalau kebasahan itulah yang menyebabkan orang ini setia pada pekerjaannya. Unasih punya alasan sendiri. Ia mengutip motto Bung Karno: "Lebih baik hidup seperti burung rajawali mencari makan ke sana ke mari, daripada hidup seperti burung kenari dalam kurungan emas, tetapi terbelenggu, kalau makan diloloh. Saya ingin kerja bebas. Dan di sinilah itu bisa didapatkan," kata orang tua itu membanggakan pekerjaannya. "Kalau bukan karena pahalanya besar, saya tentu tak akan jadi muballigh," kata ustadz Mudjib Ridlwan (53 tahun) di Surabaya. Eks anggota DPRD tingkat II ini sekarang muballigh yang laris di kalangan NU Jawa Timur. Bulan: Agusrus, September, Nopember, 95% harihari pada penanggalannya diberi silang -- tanda ia sudah dibooking. Para penggemarnya memuji suaranya seperti Rhoma Irama. Isi ceramahnya selalu hangat dan "berani". "Meskipun berjam-jam mendengar ceramahnya tak pernah ngantuk atau bosan," kata penggemarnya. "Bagi saya enak jadi muballigh profesional. Di sini saya bisa bertemu dengan rakyat langsung," kata Mudjib. Ia menolak cerita orang yang mengatakan karena da'wah muballigh bisa kaya. Di kota barangkali. "Di desa, makanya mereka berani mengundang saya karena mereka bisa menghemat hanya dengan membayar ongkos transpor," kata ustadz itu berkilah. Ia malah mengaku sering tekor. Mungkin juga, karena orang tua ini tidak sepenuhnya bisa bergantung dari nafkah muballigh. Pagi hari ia selalu menolak undangan, karena keliling kota jualan cincin. Dalam menjelajahi desa-desa, Mudjib banyak mengecap garam pengalaman. Sekali waktu ia terpental dari sepedanya menabrak onggokan tanah dekat tambak. Seragam putihnya jadi hitam, sehingga para penyambutnya ketakutan. Di Lamongan, begitu turun dari opelet tasnya dijambret, terpaksa tugas dilaksanakan pakai baju pinjaman. Di Pasuruan, untuk bertabligh terpaksa naik kuda sampai pinggang kelu. Sedangkan 6 bulan lalu di Kabupaten Trenggalek, sedang enak-enaknya ceramah, diserang banjir. "Tapi yang membikin saya gembira jadi mballigh, massa yang datang itu biar kena hujan dan banjir, mereka tetap di tempat," kata Mudjib dengan bangga. Hampir Berhenti Seperti Mudjib ustadz Segaf Binsyech Abubakar (33 tahun) juga memilih desa. "Saya lebih suka berdak'wah di kalangan rakyat kecil ketimbang orang gede. Saya lebih berpengaruh pada mereka," ujarnya. Anak muda asal Dompu Sumbawa --yang kini memimpin Yayasan Pendidikan PINU di Surabaya ini, berdak'wah sejak usia 15 tahun. Untuk menjamin nafkah hidupnya, ia juga bekerja menyediakan jasa mengurus pembuatan paspor dan mengajar. "Berdak'wah melulu tanpa bekerja ya kering," katanya terus terang. Karena penampilan Segaf yang lembut, apik, dengan pakaian putihnya serta tak pernah bicara politik -- ia berhasil memasukkan seorang direktur plywood -- WNI Cina -- beserta keluarganya dalam rangkulan Islam. Ini yang membuat Segaf mantap mempertahankan pekerjaan muballigh. Di kawasan Surabaya dan Madura ia termasuk muballigh paling muda yang laris. "Bagi saya tak ada kebahagiaan yang paling indah dirasakan selain bertatap dengan umat yang mendengarkan ceramah saya, " katanya serius. Di Jember muballigh Habib Agil Alatas (42 tahun) hampir saja meletakkan jubahnya. Tiga orang penduduk desa dari Banyuwangi mengundangnya. "Saya sangat kasihan melihat mereka mengundang saya. Meski dalam keadaan badan kurang enak, saya mau saja," tuturnya. Tetapi kemudian ia tidak diantarkan pulang. Di lepas begitu saja, sehingga terpaksa jalan 7 km sebelum ketemu jalan aspal. Waktu merogoh sakunya, ia jadi bengong. "Saya kira uang yang dimasukkan oleh pengundang ke saku cukup untuk pulang ke Jember, nyatanya hanya cukup untuk beli es saja," kata Agil mengenang. Mungkin karena sudah dipelonco seperti itu, Agil ini malah jadi gigih. Kini ia sanggup naik-turun gunung menembus desa-desa yang paling terpencil untuk berceramah tanpa diundang. Sekali lagi: tanpa diundang. "Yang saya utamakan, desa yang banyak caroknya orang berkelahi -- biasanya daerah maksiat, itu sebabnya carok terkenal di sini," kata Agil. Modal satu-satunya yang dimiliki oleh Agil adalah ketabahan. Ketabahan tersebut merupakan "ijazah" yang pernah diberikan oleh seorang waliullah kepadanya. "Dalam hal kesabaran saya kaya, tapi dalam materi lihat sendiri sajalah," kata ustadzMa'mun Adnan (52 tahun) di daerah Kebon Kosong, Jakarta Timur. Orang tua asal Tegal ini masuk Jakarta tahun 1973. Kini mendiami sebuah gubuk buruk berukuran 3 x 5 meter di belakang Pasar Burung, Jalan Pramuka. Rata-rata 3 kali sebulan ia memberikan ceramah atas undangan. Untuk mencukupi hidupnya, ia juga mengajar. Sementara isterinya membagi rumah menjadi warung kecil-kecilan. "Kalau ditanya soal uang, mengkeret hati saya," mata Ma'mun Adnan. Ia tak pernah pasang tarip, tak pernah pula memeriksa berapa isi amplop yang diulurkan panitia. Isterinya kadangkala menjumpai di bajunya Rp 500, kadangkala sampai Rp 5.000. "Saya agak prihatin dalam soal ini, karena saya pernah mendengar sendiri ada seorang muballigh menentukan target pendapatannya," tuturnya. Tahun lalu ia bertemu dengan seorang muballigh yang sedang top mentargetkan Rp 400 ribu sebulan. Ustadz Ma'mun mengkhususkan dirinya menyelami jiwa orang-orang tua. Di samping karena memang senang, juga karena ia tidak punya bahan untuk anak-anak muda. Setiap kali hendak berceramah, ia selalu menyiapkan bahan-bahan secara garis besar. Buku-buku bertumpuk di dalam kamarnya yang kecil itu. Harian Pos Kota yang banyak memberitakan soal perzinahan dan pembunuhan, seringkali menjadi bahan inspirasinya. Setiap kali selesai menjalankan tugas, ia lantas bersembahyang dan berdoa agar apa yang sudah disampaikannya termakan oleh pendengarnya. Hidup sebagai muballigh, ustadz ini merasa tak ada bedanya dengan orang lain. Pakaiannya biasa saja. Kadangkala kain, kadang celana. "Asal jangan suruh lepas peci saja, karena saya sudah sejak dulu pakai peci," katanya. Masyarakat sendiri memang sering berusaha memperlakukannya lain. Misalnya kalau salaman orang lantas cium tangan. "Kalau masih lebih muda itu saya biarkan, tapi kalau salaman dengan orang sebaya sering saya tarik," kata ustadz ini. Muballigh yang sarjana muda dan berpengalaman dalam bidang teater juga ada. Namanya H. Abdurachman Arroisyi yang dulu dikenal sebagai Arman Haro. Lahir di Pemalang, 13 Desember 1944, kuliah di ATNI 1967-1969 dan pernah mengarang naskah drama berjudul "Datuk Saykiyan". Selain itu ia juga sudah menggondol sarjana muda dari Universitas Ibnu Chaldun Jakarta, jurusan Ushuluddin ia bahkan terkenal sampai ke Malaysia. "Padahal cita-cita saya dulu menjadi sutradara film, sama sekali bukan muballigh," katanya. Ia jadi muballigh lantaran mempersunting Romlah Adnan -- seorang muballighah pula -- adik guru agamanya. Mula-mula sebagai suami ia tetap nganggur dan nyeniman. Satu kali ia menemani isterinya berceramah di Tegal. Nggak tahunya, setelah isterinya turun mimbar, ia diminta tampil. Agaknya orang masih menyangka kalau isteri hebat, pasti suaminya lebih "edan" lagi. Saya terkejut sekali dan tergagap-gagap, ngomong seadanya. Turun mimbar, muka saya setembok tebalnya," kata Abdurahman. Rasa malu hari itulah yang kemudian mendorongnya memperdalam soal-soal agama. Meniru Dari Kaset Permulaan 1970 Abdurahman merintis jalan. Pada awal kariernya ia pernah membuat lelucon tatkala berkhotbah Jum'at dan sekaligus menjadi imam di Masjid Biro Pusat Statistik Pasar Baru. Selesai meng-imami sembahyang, ia bukannya langsung memimpin doa dan dzikir, tapi bersalaman dan tegur sapa dengan temannya yang kebetulan duduk di belakangnya mengikuti sembahyang. "Semua orang pada ketawa, karena kejadian begitu janggal. Sejak itu sampai sekarang, saya nggak pernah dipanggil lagi ke sana," katanya terus terang. Mula-mula Abdurahman meniru muballigh lain dari kaset. Kemudian ia menyusun sendiri. Sekarang kalau suami isteri diundang, di rumah diatur dulu bagian mana yang akan digarap oleh masing-masing, jadi tidak mengulang. "Saya selalu tanya pada yang mengundang, tentang kondisi masyarakatnya dan saya memang tidak pernah bicara soal perbedaan agama," ujarnya. Ia mengatakan di Jakarta bahan ceramah bisa awet satu bulan, karena disampaikan di tempat yang berbeda-beda. Di Jakarta imbalan ceramah Abdurahman berkisar antara Rp 5 ribu sampai Rp 10 ribu. Di Malaysia konon paling kecil 100 ringgit (Rp 29 ribu) sekali ceramah. Sejak 1976 sudah 4 kali ia menjelajah Malaysia. "Masyarakat Jakarta intelek maupun rendah, menghendaki pembicaraan soal agama melulu agama, jangan diilmiahkan, sedang di Malaysia isi ceramah harus mencakup humor, pepatah Inggeris/Barat, ilmiah, lagu-lagu dan diselingi secara serius kutipan-kutipan Ayat Al Quran dan Hadis Nabi," ia menjelaskan. Di Malaysia Abdurahman dipanggil doktor. Tahun 1978 ia pernah ceramah pakai bahasa Inggeris, tapi kemudian masyarakat lebih suka mendengar bahasa Indonesia. Tahun itu juga ia berhasil membuat pendengarnya menangis, tatkala ia mengupas kedurhakaan seorang anak. "Saya beruntung sekali punya latar belakang pendidikan akting di-ATNI. Ini membantu sekali dalam menunjang kesuksesan saya berdakwah," ujar muballigh yang sampai sekarang doyan nonton film perang itu. Hidup Abdurahman bagus. Kini ia memiliki mobil dan 3 anak lelaki. Salah satu anaknya ia cita-citakan untuk jadi tentara yang punya pengetahuan agama luas. Di samping itu ia menganjurkan agar muballigh punya pekerjaan lain yang tidak langsung ditangani -- jadi tidak diganggu soal kebutuhan hidup. "Misalnya saja pertanian. Seperti para kyai tradisional pada umumnya, mereka biasanya identik dengan petani," katanya menjelaskan. Romlah Adnan, isteri Abdurahman (33 tahun) terkenal sebagai muballighah yang keras suaranya -- keras juga isi ceramahnya. Tahun 1965 di Sukorejo, Ja-Tim, ia pernah berdakwah: "Kita lebih cinta pada bangsa daripada Nasakom." Serta merta seorang petugas menodongkan senjata, menyuruhnya turun dari mimbar. Kakaknya ganti naik ke mimbar sekaligus menantang petugas agar menembaknya kalau berani. Rakyat pun marah, hampir saja terjadi keributan. "Karena itu, kalau sekarang di Jakarta mengalami kesulitan, masih ringan dibanding dulu, jadi nggak saya anggaplah," kata wanita itu. Bersama Tuti Alawiyah dan Sriyani Taher, ia kini tergolong muballighah paling top di Jakarta. Agitasi Dan Politik Adnan Harahap (40 tahun) muballigh kampus IAIN Sunan Kalijaga (Yogya) mengatakan khusus di kota gudeg itu, berda'wah adalah perjuangan. Tidak ada honor seperti di Jakarta. Kalau diberipun harus difikir-fikir. Ia sendiri rata-rata 3 kali seminggu mengisi ceramah. Timbul kesulitan kalau ia harus ceramah di pelosok karena harus pakai bahasa campur aduk supaya bisa dimengerti Baginya keliru mengukur sukses seorang muballigh dari banyaknya pendengar, kemampuan berpidato, kemampuan membakar emosi, memukau atau dagelan yang membuat orang bertepuk tangan dan bersorak. Yang penting, katanya, ada tidaknya perubahan sikap dari orang-orang bersangkutan kemudian. "Tematis emosionil harus dirubah jadi tematis rasionil," kata anak Tapanuli Selatan yang juga jadi penulis mimbar Jum'at di harian Kedaulatan Rakyat (Yogya) itu. "Saya kecam da'wah untuk kepentingan politik praktis," katanya kemudian kepada TEMPO dengan tandas. Masih di Yogya, ibu Hajjah Alfiyah Munadi (60 tahun), juga melihat perlu merubah cara berda'wah sekarang. Di aman toleransi agama ini, di mana orang menganggap semua agama sama, orang jangan dibawa ke akherat saja tapi juga pada kesenangan dunia. Karena itu setiap berda'wah tidak hanya persoalan agama yang dibahas, masyarakat juga dibawa ke dunia kesehatan, pendidikan anak dan lain sebagainya. Perbedaan antara penceramah dulu dan sekarang katanya adalah dalam hal mengurangi "agitasi". Muballighah ini naik turun mimbar sejak tahun 1939. Ia melihat dulu banyak digunakan ayat-ayat Quran dalam ceramah, kini masyarakat membutuhkan kenyataan. Tegasnya ceramah sekarang harus ada keseimbangan antara kepentingan dunia dan akherat. Ia selalu ingat pesan orang tuanya yang meninggal di tahun 1954. "Saya senang dan bersyukur engkau berda'wah ke mana-mana. Tapi ingat, kau sendiri harus menjalankan apa yang kau pidatokan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus