Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Psikiater di depan "yang mulia"

Kesaksian ahli penyakit jiwa sering tampil di pengadilan, tapi undang-undang hakim tidak mewajibkan menuruti pendapat ahli jika bertentangan dengan keyakinannya. kita harus puas dengan pasal 44 kuhp.(hk)

25 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Majalengka pernah terjadi peristiwa menggemparkan: Seorang ayah, jagal kambing, dituduh menyembelih tiga orang anaknya yang berumur 5 tahun, 3 tahun dan 9 bulan. Setelah itu dia berusaha membunuh diri dengan menggorokkan golok ke lehernya sendiri. Pengadilan berlangsung. Terdakwa menolak tuduhan dan bercerita. Sebelum hari yang naas itu dia memang dalam keadaan bingung. Hutangnya banyak. Di antaranya kepada seorang bernama AM yang selalu menyuruh menantunya, seorang anggota Polri, menagihnya. Sore itu ia membenahi alat-alat jagalnya. Lalu sore-sore, baru jam 18.30, dia sudah masuk tidur. Tapi tiba-tiba dia merasa berada di tempat pemotongan kambing. Di situ, katanya, dia menyembelih 4 ekor kambing. Ketika sedang menyiangi kulit kambing muncullah AM menagih hutangnya. AM seperti biasanya marah-marah. Lalu, katanya, merebut pisau dari tangannya dan langsung menebas lehernya. Tukang jagal merasa dirinya mati. Tahu-tahu, dia terbangun di rumahsakit, dengan leher terasa sakit. Hakim Jua Peristiwa jagal kambing tersebut terjadi 1975. Seorang psikiater, dr. H. Hasan Basri Saanin Dt. Tan Pariaman tampil di pengadilan sebagai saksi ahii. Setelah melalui pemeriksaan yang lama dr Hasan maju dengan kesaksiannya: terdakwa adalah penderita penyakit epilepsi tipe psikomotor. Yaitu, kompleks gejala-gejala perubahan kesadaran berkala, yang diikuti gerakan kejang-kejang atau gangguan perasaan dan tingkah-laku atau kedua-duanya. Penyakit demikian banyak diderita orang. Bahkan orang seterkenal Newton, Beethoven, Napoleon sampai Alfred Nobel. Kemungkinan pembunuhan terhadap ketiga anaknya dilakukan terdakwa dalam keadaan penyakitnya kumat: dalam ilusinya dia tengah menyembelih kambing dan melihat AM menagih hutang dalam halusinasinya. Kesaksian ahli penyakit jiwa itu ternyata ditolak hakim. Seorang yang mengerjakan sesuatu perbuatan, karena kurang sempurna akalnya atau berubah akal, memang tidak boleh dihukum (KUHP pasal 44). Tapi, begitu pendapat hakim, terdakwa yang jagal kambing itu tak menunjukkan gejala demikian. Nyatanya, katanya, terdakwa sebelumnya berjualan daging dengan baik. Dia bukan orang berfikiran terbelakang sungguhpun barangkali tidak cerdas, dengan ukuran IQ 80. Pokoknya, menurut hakim, terdakwa tidak menunjukkan sakit gila atau sebangsanya. Begitulah. "Memang bagi psikiater pasal 44 KUHP itu sudah tidak memuaskan lagi," kata dr Hasan yang mendapat brevet keahlian ilmu kedokteran jiwa sejak 1964 itu. Pasal tersebut, kalau di Negeri Belanda adalah pasal 37, disahkan dan berlaku sejak 1881 berdasarkan keadaan psikiatri abad XIX. Namun sejak 1928 di Belanda sendiri pasal tersebut sudah mendapat berbagai perubahan sesuai dengan kemajuan pandangan psikiatri. Lahirlah Undang-Undang Psikopat. Undang-undang macam itulah yang belum ada di Indonesia hingga sekarang. "Sekiranya Undang-undang Psikopat sudah ada," menurut dokter yang pernah mengecap pendidikan ilmu hukum ini, "masalah kejahatan yang dilakukan penderita epilepsi dapat dipecahkan .... " Beruntung terdakwa kemudian dibebaskan dari tuduhan membunuh anaknya sendiri. Itu bukan berkat kesaksian dr. Hasan. Tapi berdasarkan pembuktian dan kesaksian lain -- tak dijelaskan bagaimana. Tidak hanya dalam kasus tukang jagal kambing dari Majalengka saja. Saksi ahli memang sering ditampilkan ke ruang pengadilan. Tapi keterangannya, menurut dr Hasan (62 tahun) ketika dikukuhkan menjadi Guru Besar Univ. Pajajaran di Bandung Juli lalu (judul pidato ilmiahnya "Psikiatri Hari Ini dan Besok"), tak banyak artinya. Vonis hakim berjatuhan tanpa mengindahkan keterangan ahli psikiatri kehakiman. "Padahal kami telah melakukan pemeriksaan 400 sampai 450 jam," ujar dr Hasan. "Akhirnya hakim sendiri yang menentukan si terdakwa itu sakit atau sehat." Sudah Usang Masalah yang menjadi duri dalam daging bagi psikiater khususnya, ahli kedokteran kehakiman umumnya, menurut dr Hasan Basri Saanin adalah kedudukan saksi di depan pengadilan seperti tersebut di atas. Hukum mengatur (sejak tahun 1848) keterangan dan pendapat ahli hanya berguna sebagai keterangan bagi hakim. 'Yang mulia' (hakim) sama sekali tidak wajib menuruti jika keterangan ahli bertentangan dengan keyakinannya sendiri. "Oleh sebab itu," kata Guru Besar baru Unpad itu, "untuk sementara waktu yang mungkin sangat lama, kita harus puas dengan pasal 44 KUHP yang ada, yang sudah usang itu, sungguhpun perjuangan akan nasib psikopat kriminil ini sudah dimulai oleh Prof. Slamet Iman Santoso sejak 1954." Dalam keadaan sekarang, katanya lagi, sulit memperjuangkan kesaksian ahli dalam bentuk visum et repertum mendapat kekuatan sebagai bukti. Tambahan lagi, seperti di Bandung saat ini, menurut dr Hasan tidak ada satu fakultas hukum pun yang memberikan kuliah psikiatri kehakiman. Yurist atau ahli hukum muda sedikit atau sama sekali tidak memiliki pengetahuan tersebut. "Suatu hal yang sebenarnya tidak boleh terjadi di dunia modern." Akibatnya, tugas para ahli kedokteran kehakiman hanya membuat visum atau dipanggil ke pengadilan, hanya untuk memberikan kuliah saja..."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus