Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dalam dua dekade terakhir, prevalensi miopia di Singapura telah meningkat pesat. Masalah mata ini kini menjadi kondisi umum yang dihadapi masyarakat Singapura, dengan sekitar 40 persen dari populasi menderita rabun jauh.
Angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain, seperti Amerika Serikat dan Swedia. Hal ini menyebabkan Singapura sering dijuluki sebagai ibu kota miopia dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dikutip dari Myopia Control, peningkatan miopia ini tidak boleh diabaikan karena memiliki dampak serius baik di tingkat nasional maupun pribadi. Secara ekonomi, miopia dapat mempengaruhi produktivitas dan pertahanan negara. Pada tingkat individu, miopia berdampak negatif pada aktivitas akademis dan sosial anak-anak. Anak-anak dengan miopia memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami penyakit mata serius di kemudian hari, seperti glaukoma, degenerasi makula rabun, ablasi retina, dan katarak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Miopia biasanya muncul saat anak mulai bersekolah dan cenderung meningkat sekitar 1,00 dioptri setiap tahun. Kondisi ini stabil ketika mereka mencapai masa remaja dan dewasa. Semakin dini miopia muncul, semakin besar kemungkinan anak tersebut akan mengalami miopia parah di masa dewasa. Sayangnya, banyak orang tua yang belum menyadari bahaya ini dan cenderung menganggap miopia pada masa kanak-kanak sebagai sesuatu yang tak terhindarkan dan tidak berbahaya.
Pada pandangan pertama, miopia tampak sebagai kondisi yang mudah diobati dengan kacamata. Namun, pemberian kacamata sering kali memberikan rasa aman palsu bagi orang tua, sehingga mereka merasa masalah sudah teratasi dan tidak perlu melakukan tindakan lebih lanjut. Padahal, edukasi lebih lanjut bagi orang tua tentang miopia masa kanak-kanak sangat penting agar mereka memahami dan mengambil tindakan yang lebih proaktif dalam mengatasi miopia.
Miopia atau rabun jauh adalah masalah mata yang paling sering menyerang anak-anak di Singapura. Saat ini, satu dari empat anak TK berusia enam tahun menderita rabun jauh. Pada usia sembilan tahun, dua dari lima siswa SD kelas 3 menderita rabun jauh, dan lebih dari separuh siswa SD kelas 6 mengalami kondisi ini. Saat masuk perguruan tinggi, lebih dari 80 persen siswa harus memakai kacamata.
Dilansir dari Healthy Children, miopia, atau rabun jauh, adalah masalah penglihatan umum yang sering dimulai antara usia 6 dan 14 tahun. Kondisi ini mempengaruhi sekitar 5 persen anak prasekolah, 9 persen anak usia sekolah, dan 30 persen remaja. Anak-anak lebih mungkin terkena miopia jika orang tuanya juga menderita rabun jauh. Namun, miopia secara keseluruhan terus meningkat, terutama pada anak-anak.
Miopia terjadi ketika bola mata anak terlalu panjang dari depan ke belakang atau ketika kornea melengkung terlalu curam. Ini menyebabkan cahaya yang masuk ke mata jatuh di depan retina, membuat objek yang jauh tampak buram sementara objek yang dekat terlihat jelas. Sebaliknya, pada hipermetropia atau rabun dekat, objek yang jauh terlihat lebih jelas dibandingkan objek yang dekat. Rabun dekat adalah kondisi normal pada masa kanak-kanak karena mata anak-anak belum sepenuhnya berkembang.
Miopia umumnya memburuk selama masa remaja dan mulai stabil pada awal usia 20-an. Ini adalah saat penting untuk memantau dan mengelola kondisi mata anak-anak agar mereka dapat melihat dengan jelas dan menjalani kehidupan yang sehat.
Pilihan editor: 5 Cara Mengurangi Laju Rabun Jauh pada Anak-anak TK dan SD