Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Muntaber Strikes Back!

Perilaku tidak sehat menghasilkan buah pahit berupa wabah diare. Rendahnya kualitas petugas di daerah memperparah situasi.

29 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muntaber strikes back! Wabah yang menjadi salah satu ciri Indonesia masuk dalam wilayah negara berkembang kini kembali menyerang dan menguasai Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, dan Nusa Tenggara Timur dalam tempo yang sangat singkat.

Solok, kota kecil nyaman di Sumatera Barat, termasuk wilayah yang terkejut lantaran wabah diare. Tak sampai dua minggu sejak kasus pertama ditemukan di kota ini, awal November silam, sekitar 283 pasien diare terpaksa menjalani rawat inap karena mual-muntah-buang air besar. Empat orang di antaranya, yakni Kamal (52 tahun), Upik (49 tahun), Pegi Indriani (18 bulan), Atika (9 tahun), dan Syahrul (3 tahun), meninggal akibat dehidrasi parah sebelum sempat dibawa ke rumah sakit.

Belum gamblang benar penyebab diare massal di daerah lumbung beras ini. Azwar Hijar, Kepala Dinas Kesehatan Kota Solok, menduga bahwa salah satu biang keroknya adalah es rumput laut yang ramai dijajakan di Pasar Bareh, Solok. Maklum, sebagian besar korban jatuh sakit tak lama setelah menenggak minuman segar ini. Bukan mustahil ada bakteri yang mencemari air dan bahan baku es rumput laut yang digemari masyarakat ini. "Belum jelas betul apa jenis bakterinya," kata Azwar. Penelitian lebih mendalam kini sedang dilakukan pada sampel makanan, minuman, juga kotoran para korban di Balai Laboratorium Kesehatan (BLK) Sumatera Barat.

Hasil tuntas penelitian belum lagi terbit, muncul dugaan lain yang cukup serius. Balai Laboratorium Kesehatan Sumatera Barat menemukan adanya kandungan Vibrio colerae, bakteri penyebab kolera, pada air Batang Lembang. Padahal, air sungai inilah yang menjadi bahan baku air Perusahaan Daerah Air Minum Kota Solok. Saat ini BLK tengah meneliti kualitas air hasil penyulingan PDAM yang didistribusikan ke rumah-rumah penduduk.

Di wilayah Sumatera Barat, diare tak cuma mampir di Solok. Tiga nyawa warga Jorong Batuhampar, Kecamatan Akabiluru, Kabupaten Lima Puluh Koto, melayang gara-gara diare. Sementara itu, dalam sebulan terakhir, 97 warga lainnya dirawat inap di rumah sakit sejak juga karena diare.

Mengingat penyakit ini amat mudah menular, tindakan pemutusan rantai penularan pun segera digelar. Penduduk Jorong Batuhampar yang masih sehat dilokalisir dan dijauhkan dari sanak kerabat yang telanjur gering.

Tindakan ini dilakukan setelah belajar pada kasus Solok. Di kota ini, banyak warga terjangkit diare setelah pulang menjenguk kawan dan sanak-famili yang sakit diare.

"Kami juga mengamankan segala sumber yang diduga turut menyebarkan penyakit," kata Kepala Dinas Kesehatan Lima Puluh Koto, Sumirman Noerman. Berdasarkan informasi dari para korban, diare muncul setelah mereka mengkonsumsi cendol yang dijual pedagang untuk makanan berbuka puasa. Sampel makanan, minuman, juga air sumur penduduk kini tengah diteliti demi memastikan penyebab diare di Kabupaten Lima Puluh Koto.

Solok, Lima Puluh Koto, hanyalah sepenggal contoh. Gambaran yang kurang lebih serupa bisa kita dapatkan dari penyebaran diare di Malang, Surabaya, Klaten, Semarang, Sikka, Alor, Lampung, Kendari, Makassar. Laju diare yang begitu cepat di berbagai wilayah ini adalah peringatan bahwa perilaku masyarakat yang tidak sehat sedang berlangsung kuat. "Ada indikasi kesadaran masyarakat mewaspadai diare semakin menurun," kata Profesor Hasbullah Thabrany, guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Perilaku tidak sehat itu amat beragam. Air minum yang tidak direbus, memasak makanan dengan sembrono, juga aneka kebiasaan yang abai terhadap higienitas, bisa dituding. Di Bengkulu, misalnya, sering ditemukan bocah yang terkena diare setelah makan mangga yang jatuh ke tanah tanpa terlebih dulu dicuci dan dikupas. Perilaku semacam ini tentu mengundang risiko. Kawanan bakteri penyebab diare seperti Escherichia coli dan Vibrio colerae, yang berkembang biak merdeka di tengah cuaca lembap dalam pergantian musim, bakal dengan gampang memasuki mulut, menyerang dan menjajah sel-sel tubuh.

"Kita memang malu, kok bisa di negara kita ini masih ada diare," kata Hasbullah. Tapi malu saja tidak cukup. "Kita mesti mencermati merebaknya diare ini," katanya. Sebagai catatan, Indonesia pada tahun 1970-an pernah mengalami wabah diare. Kemudian, perbaikan tingkat ekonomi dan pendidikan membuat kasus diare perlahan-lahan turun. Tak dinyana, kini hantu diare kembali lagi muncul. Fenomena "diare strikes back" ini perlu disikapi serius. "Bukan hanya pemerintah tetapi juga kalangan akademisi dan masyarakat pada umumnya," kata Hasbullah.

Solok, menurut Hasbullah, adalah contoh kasus yang perlu ditangani dengan ekstraserius. Jika benar terjadi penyebaran Vibrio colerae di kota ini, tindakan yang wajib segera digelar bukan hanya mengobati pasien, tetapi juga menyembuhkan lingkungan yang sakit. Bila tidak, kolera terus menyebar dengan kecepatan yang merisaukan. Apalagi, tidak seperti diare yang disebabkan E. coli, pasien kolera lebih cepat terkena dehidrasi yang fatal dan mematikan karena adanya pengeluaran cairan usus yang berlebihan.

Profesor Umar Fahmi Ahmadi, Dirjen Penanggulangan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, juga menekankan adanya persoalan serius pada perilaku masyarakat. "Kasus seperti ini tak akan terjadi bila kita memahami perlunya sumber air bersih, pengolahan makanan yang bersih, dan perilaku sehat lainnya," katanya.

Diare memang penyakit yang mudah terjadi sehari-hari dan bisa menimpa siapa saja. Penyakit ini, Umar menekankan, bisa berkembang serius apabila menimpa banyak orang. Rantai penularan bakal tercipta dalam tempo singkat, misalnya 2 sampai 3 hari, sehingga berisiko memunculkan wabah seperti yang terjadi di Kota Solok. Meskipun harus dicatat bahwa kasus diare di Surabaya, Lampung, dan daerah-daerah lainnya saat ini belum bisa dikategorikan sebagai wabah karena terjadi sporadis dan tidak serentak dalam tempo singkat.

Pemerintah pusat, menurut Umar, sebenarnya telah cukup tanggap dalam mencegah dan menangani penyebaran penyakit menular. Namun, adanya desentralisasi di bidang kesehatan sedikit banyak mengurangi kecepatan penanggulangan penyakit menular seperti demam berdarah, campak, dan sekarang diare. "Sekarang kan tanggung jawab penanganan kesehatan ada di kabupaten," kata Umar, "Pusat hanya melihat apakah masalah ini akan menyebar ke daerah lain atau tidak. Tim khusus untuk menyelidiki penyebaran diare pun sudah kita turunkan." Penanganan selanjutnya lebih banyak bersandar pa-da kecekatan pemerintah daerah.

Transisi sistem, dari yang dulunya serba pusat menuju desentralisasi, inilah yang perlu dipikirkan bersama. Berbagai masalah timbul akibat kurang mulusnya proses transisi. "Sistem lama sudah tercerabut, sedangkan sistem baru belum lagi mapan," katanya.

Memang, tidak se-mua daerah mengalami kekacauan manajemen kesehatan. "Sumatera Barat termasuk cepat tanggap," kata Umar memuji. Dalam tempo satu minggu, wabah diare di daerah ini relatif bisa dikendalikan melalui kerja sama yang baik dengan pemerintah pusat.

Penanganan wabah, Umar melanjutkan, memang tak bisa dikapling-kapling dengan kaku. "Jika satu kabupaten terkena, sebaiknya kabupaten tetangganya turut membantu menyelesaikan," kata Umar. Tanpa kerja bareng, wabah bukan mustahil meluas dan kian susah dijinakkan.

Hasbullah sepakat dengan pendapat Umar. Ia memberikan contoh kejadian tahun 1970-an ketika diare mewabah di beberapa daerah di Indonesia. Pada waktu itu, semua orang bekerja sama mencari jalan keluar terbaik demi mengusir wabah. Kerja sama semua lapisan dilaporkan sanggup menekan secara signifikan angka kematian karena diare.

Tindakan terpadu semua pihak seperti tahun 70-an itulah yang kini dibutuhkan. Kata Hasbullah, "Jangan lagi terjebak pada debat kusir ini sudah wabah atau belum."

Utami Widowati, Fadilasari (Lampung), Febrianti (Solok), Agus Raharjo (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus