Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muktamar NU ke-31 di Donuhudan, Solo, menjadi momen penting bagi peran dan kiprah NU pada masa mendatang. Di luar agenda rutin?membahas berbagai hal, dari masalah sosial keagamaan sampai keorganisasian?penting diamati siapa yang pantas memimpin NU? Figur yang dipilih mestinya disesuaikan dengan tantangan sekarang.
Harus diakui, sejak back to khitah pada 1984 hingga saat ini, NU mengalami tantangan serius. Khitah belum bisa diterjemahkan dalam program yang benar-benar menyentuh kebutuhan warga nahdliyin. Lebih-lebih tatkala memasuki musim demokrasi langsung, badai politik berembus kencang ke dalam komunitas NU. Puncaknya, tatkala Ketua Umum PB NU, KH Hasyim Muzadi, dilamar PDIP untuk menjadi calon wapres. Tak terelakkan, sebagian besar kantong struktural NU, khususnya di tingkat wilayah dan cabang, tak mampu menahan diri dari tarikan politik. Institusi NU di bawah kepemimpinan Hasyim tak ubahnya partai politik dan tim sukses pemenangan kandidat tertentu.
Dalam muktamar nanti, elite NU dari tingkat pusat, wilayah, dan cabang harus mampu bersikap kritis. Sayangnya, NU tidak punya mekanisme kontrol yang kuat untuk memberi semacam teguran ataupun koreksi bagi keseimbangan dan terciptanya pemberdayaan rakyat jelata, sehingga elite NU yang berpolitik tidak bisa nyaman untuk melakukan manuvernya.
Sebaiknya NU disterilkan dari petualang-petualang politik serta mengukuhkan program-program yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat. Dari dulu hingga sekarang hal ini masih jalan di tempat. Belum ada prestasi yang spektakuler dalam mengangkat kesejahteraan dan kecerdasan masyarakat.
NU sebagai organisasi kerakyatan dan kemasyarakatan terkesan jauh dari kepentingan warganya. NU masih terkesan elitis dan eksklusif.
Yang merebak selama ini justru konflik kepentingan di tingkat elite yang menyebabkan munculnya gesekan di masyarakat bawah. Polarisasi dan fragmentasi di tingkat bawah makin menguat dan kerap kali menyebabkan hilangnya solidaritas di antara warga. Kisah konflik antarkiai, antarpesantren, dan antarmasyarakat justru dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Dalam beberapa kasus, NU juga tidak memainkan fungsi moral yang semestinya dijunjung tinggi, melainkan justru melanggengkan konflik kepentingan.
Selama ini yang melakukan program-program pemberdayaan bukanlah PB NU, melainkan lembaga-lembaga kultural NU seperti PP Lakpesdam, LKiS, P3M, Desantara, Ahimsa, Fahmina, dan INCReaS. Bahkan kegiatan-kegiatan yang menyentuh masyarakat secara langsung itu tidak digubris, karena bagi elite NU tidak menguntungkan secara finansial dan politik.
Sebagai organisasi (jam'iyyah), NU juga masih kerap menerapkan sentralisasi. Tak jarang ditemukan, ketua merangkap sebagai bendahara. Hal ini berlaku baik di tingkat pusat, wilayah, maupun cabang. Transparansi dan akuntabilitas dalam struktur NU masih jauh dari harapan.
Nah, tema muktamar NU ke-31, "Mewujudkan Indonesia yang Bersih dan Bermartabat" sesungguhnya secara eksplisit hendak mengingatkan organisasi berbasis rakyat jelata ini agar menerapkan tata organisasi yang bersih, terbuka, dan transparan. Bila mampu melakukan hal tersebut, NU akan memberi pelajaran dan pengalaman yang amat berharga bagi bangsa ini.
Sebagai organisasi, NU juga belum mandiri. Ketergantungan NU pada lembaga lain, baik lembaga pribumi maupun nonpribumi, sangat tinggi. Untuk melaksanakan kegiatan akbar seperti muktamar ini pun NU belum bisa mendanai dari kantong sendiri, melainkan masih mengandalkan dari pihak lain. Bahkan, katanya, untuk sekadar membayar uang listrik dan biaya gedung PB NU masih mencari dana dari sana-sini.
Dalam konteks itulah, kepemimpinan NU di masa mendatang harus diletakkan. Kepemimpinan harus mampu menjadikan NU sebagai organisasi yang mandiri, mapan, teratur, terbuka, dan transparan.
Di situs resmi PB NU, www.nu.or.id, setidaknya sudah ada tujuh kandidat yang mencuat ke permukaan, yaitu Hasyim Muzadi, Masdar F. Mas'udi, Salahuddin Wahid, Cecep Syarifudin, Ahmad Bagdja, Said Aqiel Siradj, dan KH. Mustofa Bisri. Belakangan, Gus Dur melontarkan satu kandidat lagi, yakni Tolchah Hasan, mantan Menteri Agama saat Gus Dur menjadi Presiden. Hanya, memprediksi siapa yang pantas dan tepat untuk menakhodai NU merupakan persoalan yang sulit. Kendati wilayah dan cabang akan memilih pimpinan mereka, restu dan dukungan kiai sepuh tidak bisa diabaikan begitu saja.
Yang jelas, orang yang memimpin NU seharusnya tokoh-tokoh yang selama ini punya kepedulian pada masyarakat sipil, pengembangan pendidikan, dan tata organisasi yang bersih. Mereka yang telah memanfaatkan NU untuk tujuan-tujuan politik sebaiknya berpikir kembali untuk dicalonkan sebagai ketua umum. NU harus benar-benar dibersihkan dari mereka yang hendak menggunakan NU sebagai kendaraan politik.
Perlu diingat, NU bisa menjadi organisasi yang besar dan bertahan dalam masa yang panjang karena basis tradisi dan pemberdayaan masyarakat. Kesukarelaan dan keikhlasan para ulama pendiri NU telah dibayar mahal oleh warganya untuk turut membesarkan organisasi ini. Sebaliknya, NU mengalami kemunduran karena menguatnya kecenderungan politik di dalam NU dengan mengabaikan visi kerakyatan dan kebangsaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo