Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Tips Kesehatan

29 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cokelat, Obat Batuk Lezat

Tolong sembunyikan majalah ini dari anak-anak Anda. Mereka akan mencari alasan untuk minta cokelat sebagai "obat batuk"! Syahdan, menurut hasil riset tim peneliti Imperial College London, Inggris, sebatang cokelat bukan cuma lezat, tapi ampuh mengusir batuk. Bahkan keampuhannya mengungguli kodein, zat yang selama ini lazim digunakan sebagai obat batuk. Setidaknya begitulah hasil riset yang digelar tim peneliti Imperial College London, Inggris.

Adalah Profesor Peter Barnes, dari Imperial College London, yang memimpin penelitian. Sepuluh relawan sehat direkrut serta diberi satu dari tiga pilihan: kodein, theobromin (senyawa aktif dalam buah kakao), atau pil yang cuma berisi tepung gula (plasebo). Kemudian, mereka diminta menghirup bubuk cabai (capsaicin) dalam berbagai dosis untuk pemicu batuk.

Hasil riset yang dipublikasikan dalam jurnal FASEB ini cukup menarik. Relawan yang menggunakan theobromin membutuhkan capsaicin tiga kali lebih banyak dibanding kelompok plasebo untuk bisa batuk. Sedangkan pengguna kodein perlu dua kali lebih banyak capsaicin dibanding pengguna plasebo.

Cara kerja theobromin, menurut Barnes, adalah menekan aktivitas saraf vagus atau saraf yang memicu batuk. Kabar baiknya, theobromin tidak menimbulkan efek samping pada sistem saraf, misalnya membikin rasa lemas dan mengantuk. Jadi, "Tak perlu khawatir makan cokelat jika batuk," kata Barnes seperti dikutip Web MD.

Kurang Gizi Membikin Agresif

Perilaku agresif bisa dilacak dari status nutrisi. Anak-anak yang kekurangan gizi cenderung tumbuh dengan sikap agresif dan antisosial. Kesimpulan ini muncul dari penelitian yang digelar tim University of Southern California, Amerika.

Riset ini tergolong serius. Tim peneliti mengamati status gizi pada lebih dari 1.000 anak usia tiga tahun dari beragam etnis yang tinggal di Pulau Mauritius. Selanjutnya, tim peneliti mengikuti perkembangan para responden ini selama 14 tahun. Pengamatan terutama dilakukan ketika anak-anak berusia 8, 11, dan 17 tahun.

Hasil penelitian yang dipimpin Profesor Adrian Raine ini dilaporkan dalam American Journal of Psychiatry edisi terbaru. Kekurangan zat penting, terutama seng (Zn), besi, vitamin B, dan protein, akan mengakibatkan rendahnya kadar IQ serta berujung pada perilaku antisosial.

Pada penelitian ini, bila dibandingkan dengan anak-anak cukup nutrisi, anak usia 8 tahun yang kurang gizi menunjukkan perilaku agresif 41 persen lebih tinggi. Pada usia 11 tahun, anak-anak bergizi jelek 10 persen lebih agresif dan terbiasa mengumbar kata-kata kasar. Lalu, pada usia 17 tahun, anak-anak malang ini 51 persen lebih sering bertindak antisosial seperti mencuri dan mengkonsumsi narkoba.

Hasil riset ini, menurut Raines, makin menguatkan teori adanya kaitan antara status nutrisi dan perilaku antisosial. Katanya, "Jika nutrisi demikian penting menentukan kualitas perilaku seseorang, orang tua bertanggung jawab pada masyarakat untuk mengawasi kualitas makanan anak mereka."

Otak Mengerut karena Sakit Punggung

Jangan remehkan sakit punggung. Bila tidak segera ditangani, sakit punggung kronis berisiko membuat otak mengerut 11 persen setiap tahun. Sebuah kadar pengerutan yang normalnya?tanpa sakit punggung?baru terjadi dalam 10-20 tahun.

Peringatan itu muncul dari hasil penelitian tim ilmuwan di Northwestern University, Amerika Serikat. Hasil penelitian yang dipublikasikan di jurnal Neuroscience bulan November ini menyebutkan, setiap tahunnya sakit punggung kronis menyebabkan hilangnya 1,3 sentimeter kubik dari area kelabu otak yang berfungsi memproses memori dan informasi.

Tim peneliti menganalisis jaringan otak 52 responden, 26 penderita sakit punggung kronis, dan 26 orang sehat, dengan menggunakan MRI (magnetic resonance imaging). Dari sinilah didapat perbedaan laju pengerutan otak antara orang sehat dan pasien sakit punggung.

Rasa sakit yang kronis, Apkarian menjelaskan, mengakibatkan munculnya perasaan negatif dan stres berlarut-larut. Perasaan ini membuat tubuh memacu mekanisme untuk melawan peradangan (inflamasi) yang terjadi pada punggung secara berlebihan. "Aktivitas berlebihan inilah yang mengorbankan area kelabu sel-sel otak," katanya. Dengan adanya temuan ini, menurut Apkarian, para ahli sebaiknya juga memikirkan kelangsungan sel-sel kelabu dalam pengobatan sakit punggung.

(Reuters, Healthday, Web MD)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus