CERITANYA dokter-dokter yang bertugas di daerah itu kesulitan
dalam pengadaan obat-obatan. Kalau hanya menuliskan resep,
penderita umumnya tak mampu untuk membeli ke apotek. Selain
jauh, harganya juga menjadi terlalu tinggi. Mereka meminta
kepada Rainita yang sehari-hari membantu ibunya menunggu toko
obat "Sinar Bahagia" di Mataram, untuk menyediakan obat-obatan.
Naluri dagang Rainita cepat menangkap. Dia lantas berkirim surat
kepada kenalannya di Surabaya untuk menyediakan macam-macam obat
yang banyak diperlukan dokter di ruangan praktek mereka. Para
dokter rupanya merasa banyak tertolong derigan bisnis yang
dilakukan anak perempuan itu. Harganya murah dan bisa kredit.
Tambah lama banyak saja dokter yang memesan. Dalam 4 tahun usaha
sambilan itu maju pesat.
Tetapi usaha yang kelihatannya saling menguntungkan itu rupanya
punya latar belakang yang memancing tindakan dari pemerintah.
Bulan Juli yang lalu datang instruksi dari Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan dari Jakarta ke berbagai daerah
untuk menyita kosmetika yang belum terdaftar pada Departemen
Kesehatan.
Di Mataram operasi penyitaan terhadap kosmetika gelap itu
diperluas pula ke bidang obat-obatan. Operasi gabungan antara
polisi khusus obat-obatan dari Dinas Kesehatan setempat dengan
pihak kepolisian memergoki obat-obatan daftar G di toko "Sinar
Bahagia". Padahal obat itu hanya boleh dijual apotek dengan
resep dokter.
Di meja pemerihsaan Nyonya Murni pemilik toko obat itu, tidak
mengaku memperdagangkan obat-obatan tersebut. Obat-obatan itu
menurut dia adalah milik anaknya. Sedangkan transaksi
obat-obatan itu dengan para dokter berlangsung di kamar belakang
dari toko. Jadi tak ada sangkut paut dengan toko obat miliknya.
Tetapi Walikota Mataram, L. Mudjitahid kontan mencabut izin
usaha toko tersebut. "Kami sulit membedakan antara toko obat dan
kegiatan Rainita. Karena transaksi dilakukan di toko obat itu,"
katanya.
Obat-obatan yang disita meliputi 12 jenis. Antara lain
chloramphenicol, tetracycline, antalgin dan trisulfa yang
kadarnya jauh di bawah ketentuan. Ada pula obat-obatan yang
hanya mengandung tepung terigu.
Tetapi benarkah Rainita tidak melibatkan toko milik orang tuanya
dan melakukan kegiatan perdagangan obat daftar G hanya karena
melayani pesanan dokter? Beberapa dokter yang dihubungi wartawan
TEMPO di daerah itu memang mengaku merekalah yang mengambil
inisiatif untuk mendatangkan obat-obatan tersebut.
Suharmadji dokter yang praktek di Puskesmas Penujak, Kabupatan
Lombok Tengah, mengaku berkenalan dengan Rainita atas bantuan
rekan dokter yang digantikannya. Sebagai orang baru buat daerah
itu ia percaya saja kepada rekan yang sudah berpen laman. "Saya
percaya saja sekalipun saya tahu membeli obat di luar apotek
dilarang," ujar dokter lulusan UI itu.
"Kami tidak menyelidiki kemungkinan ada yang palsu, karena
teman-teman pada ngambil ke sana," sambut dr. Eti Asn dari
Puskesmas Labuhan Lombok Lombok Timur. Diperkirakan sekitar 66
dari 115 dokter yang dinas di NTB menjadi langganan Rainita.
Dari dokter-dokter yang terlibat itu belum ada yang sampai
berurusan dengan pihak kepolisian. Sedangkan Rainita sendiri
tidak ditahan. "Pemeriksaan cukup lancar sehingga tidak
diperlukan penahanan," kata Letkol Polisi Martoyo, Danwil III
NTB. Katanya pabrik obat palsu itu sudah diketahui, pangkalannya
di Surabaya.
Bagaimana pengaruh obat palsu itu terhadap masyarakat belum bisa
diketahui. "Belum ada laporan dari pasien," kata dr. A. Wijaya
yang memimpin Dinas Kesehatan NTB. Tapi untuk mengatasi
penyediaan obat-obatan dia bermaksud untuk menambah jumlah
apotek yang ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini