JADI sebelum dan sesudab bernegara Republik Indonsia, bangsa
Indonesia adalah ber-Pancasila ....
-- Prof. Soekamto Notonagoro.
Telah berpulang seorang "ahli Pancasila". Menyandang berbagai
tanda penghargaan Prof. Dr. Mr. Drs. K.R.T. Soekamto Notonagoro
yang meninggal karena penyakit sepuh, tak sempat dimakamkan
dengan upacara kenegaraan. Meskipun bagi almarhum, ahli filsafat
hukum yang turut serta mendirikan UGM (Universitas Gajah Mada)
Yogya tersebut, Menteri P&K telah memohonkan upacara pemakaman
yang layak baginya. Rupanya SK Presiden untuk keperluan tersebut
tidak turun pada waktunya.
Namun upacara pemakaman keluarga kraton, 25 September lalu,
tetap menunjukkan siapa guru besar pada Fak. HESP (Hukum,
Ekonomi, Sosial dan Politik) UGM itu. Ia meninggal 23 September
sekitar pukul 6 sore, di rumahnya di komplek Kraton Surakarta,
dalam usia 76 tahun. Sebelum diistirahatkan di Astana Imogiri,
di sebelah selatan Yogya, jenasah disemayamkan di Balairung UGM,
Bulak sumur, untuk menerima penghormatan terakhir dari warga
UGM.
Jasa almarhum diukur oleh rektor UGM, Prof. Dr. Sukadji
Ranuwihardjo, dengan sebuah kalimat "Kalau akhir-akhir ini
Pancasila ramai dibicarakan, maka orang tidak bisa melupakan
jasa almarhum." Lebih dijelaskan oleh salah seorang anak
muridnya, Drs. Kunto Wibisono, "beliau adalah ahli filsafat
hukum pertama yang menyelidiki Pancaslla . . .
Dikritik, Diolah, Dibongkar
Ketika Konstituante sibuk membuat undang-undang dasar, 1950-an,
Notonagoro muncul dengan hasil penyelidikan ilmiahnya yang
berjudul "Berita Pikiran Ilmiah Tentang Kemungkinan Jalan Keluar
Dari Kesulitan Mengenai Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik
Indonesia"' Telaah filsafat tersebut dikemukakannya dalam suatu
seminar, 17 Februari 1959.
Disebutkan antara lain bahwa Pancasila, sebagai bagian pokok
kaidah fundamental negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD
'45, merupakan bagian tersendiri dari UUD tersebut yang dengan
demikian tidak dapat diubah dengan jalan hukum. Seperti halnya
kaidah fundamental berupa azas politik negara ("yang
berkedaulatan negara") dan tujuan negara ("memajukan
kesejahteraan umum . . . "). Dari pemikiran almarhum itulah,
menurut Kunto Wibisono, kemudian muncul memorandum ilmiah UGM
yang isinya antara lain "kembali ke UUD '45".
Seminar tersebut ditutup oleh Buns Karno tanpa komentar. Namun,
setahun kemudian, setelah membubarkan Konstituante, Bung Karno
mendekritkan "kembali ke UUD '45". "Tapi," menurut Kunto,
"Notonagoro tak berpretensi hal itu karena jasanya." Almarhum,
seperti kata seorang koleganya, Dekan Fak. Hukum UGM Prof. Dr.
Sudikno Martokusumo, memang rendah hati. "Ia seorang ilmuwan
sejati, yang melaksanakan tugas ilmiahnya secara
gilang-gemilang," puji Sukadji.
Di samping di UGM, Meester in de Rechten lulusan 1929 dan
sarjana Indologi lulusan Leiden Belanda) 1932 tersebut, juga
pernah mengajar di berbagai universitas negeri lain dan swasta
dan juga di sekolah militer. Hingga kini pikiran-pikiran
almarhum kelahiran Sragen (Jawa Tengah) tersebut, yang
dituangkan dalam sembilan karya ilmiah (1951-1970), menurut
Kunto Wibisono selalu ditampilkan dalam diskusi ilmiah di Fak.
Filsafat UGM. Selalu dikritik diolah, dibongkar. "Garis besar
ajaran guru besar itu sudah ditemukan," kata Kunto, "tinggal
dikembangkan."
Berbagai posisi penting di lingkungan pendidikan pernah
dijabatnya, antara lain sebagai penasihat Menteri PP&K 1949.
Bapak dari dua anak dan kakek dari lima cucu itu juga pernah
menjadi penasihat militer. Hingga akhir hayatnya ia tetap kukuh:
"Pancasila dijadikan unsur pokok kaidah fundamental negara
Republik Indonesia, yang selama negara Repiblik Indonesia ada,
merupakan norma dasar hukum obyektif, yang dengan jalan hukum
tidak dapat diubah."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini