PARA penderita encok tampaknya semakin sengsara di bawah gigitan musim dingin yang sekarang melanda bumi bagian utara. Dltambah dengan berlta kurang sedap yang muncul di Amerika Serikat. Soalnya, sebuah lembaga pembela konsumen di sana, akhir Desember lalu, telah mendesak kementerian kesehatan melarang dua obat encok, karena efek sampingnya diperkirakan telah menyebabkan 10.000 kematian di seluruh dunia. Phenylbutazone, demikian nama kimia salah satu obat itu, sebenarnya sudah dipasarkan sejak 31 tahun yang lalu. Yang lain, Oxyphenbutazone, digunakan sejak 23 tahun lalu. Karena penderita encok dlperkirakan 10% dari penduduk, maka konsumsi obat tadi cukup tinggi. Lembaga pembela konsumen, yang didirikan Ralph Nader, tokoh pembela konsumen, memperkirakan 135 juta orang telah menelannya. Dan obat-obatan itu disebutkan bertanggungjawab terhadap sekitar 3.100 kematian di AS dan 7.300 di negara lain. Efek samping obat encok ini disebutkan bisa menyebabkan anemia aplastik, penyakit yang memaksa tulang sumsum hanya menghasilkan sedikit sel darah merah. Juga Agranulocytosis, yang mengakibatkan ciutnya produksi sel darah putih dan membuka peluang serangan kanker tulang sumsum. Obat yang ditujukan untuk mengurangi rasa nyeri encok itu disebutkan pula bisa menyebabkan pendarahan dan bocornya saluran pencernaan. Desakan untuk melarang kedua macam obat encok itu bermula dari memo CibaGeigy, perusahaan raksasa farmasi yang berpusat di Swiss, salah satu produsen obat encok itu. Dalam memo itu disebutkan bahwa perusahaan itu memaklumi adanya 1.182 kematian, sejak obat itu mereka pasarkan lebih dari dua puluh tahun yang silam. Memo yang dibuat Februari 1983 itu ternyata memakan tuannya. Dia jatuh ke tangan Olle Hanson. seorang dokter saraf dari Swedia yang kemudian melayangkannya kepada Dr. Sidney M. Wolfe, kepala bagian riset di lembaga pembela konsumen di Amerika Serikat. Wolfelah yang kemudian membuat perhitungan berapa banyak korban yang mungkin telah jatuh gara-gara obat nyeri persendian itu. Perhitungannya itu tidak hanya berdasarkan memo Ciba, tetapi juga memo yang ia peroleh dari USV Pharmaceuticals yang membuat dan menjual obat merk Azolid dan Oxalid. Wolfe kelihatannya agak terkesima ketika membaca salah satu memo itu. Disebutkan bahwa rasio untung-rugi penggunaan obat itu "hendaknya diperhitungkan kembali dengan hati-hati." Ciba menganggap, perkiraan 10.400 orang mati karena efek samping obat encok merupakan pembengkakan 10 kali lipat dari yang ada di tangan perusahaan itu. "Sukar dipercaya," ucap Joe Boyd, kepala hubungan masyarakat Ciba-Geigy di New Jersey. Ia menambahkan, larangan terhadap obat encok tidak berdasar. Tapi Norwegia sudah segera mengeluarkan larangan yang berlaku 1 April mendatang. Ciba jadi menonjol dalam peristiwa ini sekalipun sebenarnya dia tak sendiri. Di Indonesia, misalnya, paling tidak ada 20 merk obat encok produksi berbagai pabrik yang menggunakan Phenylbutazone dan Oxyphenbutazone. Obat-obatan itu diperkirakan sudah beredar di pasaran Indonesia sejak awal 1960-an. Pabrik Ciba-Geigy, yang berdiri tahun 1973, saban tahun menghasilkan 4 sampai 5 juta tablet. Tetapi barangkali karena sadar akan efek samping Oxyphenbutazone (merk Tanderil), dan untuk meningkatkan potensi obat encok, sejak pertengahan 1970-an Ciba mulai mengurangi produksinya dan memperkenalkan Voltarcn yang mengandung Natnum Diclofenac. Produksinya dua kali lipat Tanderil. "Tapi tidak berarti Ciba akan menyetop produksi Tanderil yang nyata banyak keuntungannva bagi masyarakat, serta khasiatnya yang dinilai cukup baik," ujar Frans Tshai, kepala bagian medis Ciba-Geigy Pharma Indonesia, kepada wartawan TEMPO Adyan Soeseno. Kalangan dokter mengatakan, Voltaren diberikan untuk penderita yang lebih berat. Daya ampuhnya mencapai 30 kali Tanderil. Tetapi karena keampuhannya yang berlipat ganda itu pula, para dokter sangat berhati-hati memberikannya. Sebab, seperti dikatakan Remi Nasution, dokter ahli rematologi dari RS Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, "semakin kuat obat rematiknya, semakin besar risiko efek sampingnya." Obat ini tidak diberikan untuk mereka yang menderita tukak lambung, alergi aspirin, ataupun wanita hamil. Tentang efek samping dua obat encok yang diramaikan di AS, Jusuf, ahli farmakologi dari Bagian Farmakologi Universitas Indonesia, mengingatkan "perlunya perhatian yang serius." Lembaga monitoring efek samping obat, yang didirikan Bagian Farmakologi Ul beberapa tahun lalu, memang belum mencatat adanya korban yang jatuh. Tetapi lembaga ini, seperti dikeluhkan dr. Suhartini, juga dari Bagian Farmakologi UI, belum berjalan dengan semestinya. Sehingga, laporan efek samping yang ditimbulkan satu obat belum mewakili. Tetapi, menurut dia, "efek samping obat rematik yang terbanyak dan dilaporkan dokter adalah iritasi saluran pencernaan, dengan kemungkinan pendarahan berat ataupun perforasi (lubang) pada lambung".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini