WALAU sebuah babad tak pernah bisa menjadi sumber sejarah yang terpercaya, ia punya arti tersendiri. Ia bukan sebuah fakta, melainkan sebuah nilai, dan ke situ sebuah masyarakat menelusuri identitas dirinya. Data kesejarahan yang dikandung babad sudah dilumuri warna ideologi lokal - unsur yang lebih penting dari data itu sendiri. Berarti, babad merupakan refleksi sistem kepercayaan, untuk memberi nilai. Dan nilai itu digunakan untuk meneguhkan suatu kepercayaan terhadap realitas, bahkan untuk menklaim sesuatu. Jadilah ia sebuah legitimator, yang memberi pengesahan. Nilai ideologis, adanya unsur kepercayaan, serta fungsinya sebagal legitimator itu, meletakkan babad dalam posisi penting. Ia bahkan kemudian bisa menjadi dasar pembentukan nasionalisme Indonesia pada abad ke-19 dan menjelang abad ke-20. Dalam kerangka - dan dorongan - tiga unsur yang dikandung babad itulah berdirinya "Panitia NasionalismeJawa" di tahun 1917 - dipelopori oleh Soerjo Koesoemo, Abdoerrachman, dan Satiman. Anthony Reid melihat fungsi panitia ini sebagai pusat argumentasi intelektual dalam dilema nasionalisme: nasionalisme Jawa-kah, atau nasionalisme Hindia, yang kelak menjadi nasionalisme Indonesia? Yang terjadi kemudian, proses pelembagaan babad Majapahit Patih Gajah Mada dan babad-babad lain, yang telah berlangsung ratusan tahun di masyarakat Jawa, berfungsi sebagai pendorong pemberian batas nasionalisme Jawa di kalangan Soerjo Koesoemo dan kawan-kawan. Bali, Madura, dan Tanah Sunda - masyarakat yang menurut Soerjo dianggap setengah Jawa - merupakan bagian nasionalisme Jawa. Sebab babad tanah Jawa mereka sendiri menggambarkan asal-usul tradisi Majapahit di daerah-daerah itu. Dan luar Jawa lainnya? "Tinggallah kalian di Sumatera. Dan kalian di Ambon sana," jawab Soerjo Koesoemo pada tahun 1918. "Kami punya sejarah kami sendiri kami memiliki pula orang-orang besar. Kewajiban kami sekarang ditentukan oleh kelahiran kami, jalan kami oleh masa lampau." Soerjo memang nasionalis Jawa tulen, yang mempersembahkan secara berkepanjangan puji-pujian kepada Sultan Agung, sambil mengatakan bahwa karya mistiknya, Sastro Gending, telah menempatkan sang Sultan setaraf dengan pemikir besar lainnya sepanjang zaman. Soerjo tidak sendiri. Hampir semua tokoh gerakan yang berlatar belakang Jawa - kecuali beberapa orang, seperti Soetomo yang pada tahun 1908 dan seterusnya telah merindukan Indonesia Mulia hampir memiliki persepsi nasionalisme yang sama. Bahkan tokoh-tokoh yang kini dikena sebagai "tokoh nasional". Ki Hajar Dewantara, misalnya, tak kurang antusias menyatakan, "Masa lampau Jawa yang megah - dltandai oleh candi-candi besar, musik Jawa klasik, kesusastraan, dan sisa-sisa peradabannya - memberikan hak kepada kita untuk berbicara tentang nasionalisme Jawa." Sunda tidak begitu antusias dengan semangat ini. Bahwa nasionalisme merangkum batas kepulauan Jawa, Bali, dan Madura, tidak disangkal. Namun klaim babad Majapahit untuk daerah itu melahirkan kenangan Perang Bubat, yang ditandai oleh penghinaan dan kemudian pembantaian utusan kerajaan Sunda oleh Patih Gajah Mada, untuk urusan perkawinan. Bahwa titik nasionalisme kemudian bergeser pada persoalan-persoalan politik dan ekonomi di tahun-tahun 1920-an ke atas dengan mengesampingkan perdebatan batas-batas kultural - tidak lagi menjadi persoalan di sini. Tapi babad tentang Gajah Mada menjadi persoalan yang lebih panjang, sebab dialah sentral babad-babad kebesaran tanah Jawa. Posisi strategis Gajah Mada itu mungkin bukan saja karena ia orang besar, melainkan pertama-tama karena ia orang Jawa. Bahwa kemudian Gajah Mada terbukti orang Aceh, lain perkara. Tapi yang menarik adalah kontra-babad Gajah Mada yang timbul di luar Pulau Jawa, justru dalam memperebutkan asal-usul Gajah Mada. Babad itu mengisahkan kekalahan Majapahit oleh sebuah kerajaan Minangkabau - bukan dengan senjata, melainkan dengan akal. Ketika pasukan Majapahit pra-Gajah Mada siap menundukkan kerajaan tersebut, sang raja menawarkan sebuah perang laim: perang antarkerbau. Dan dengan hanya sedikit mentransfer akal dagang, kerbau Minangkabau menang. Pisau yang diikat di kedua tanduk kerbaunya merobek-robek usus kerbau Majapahit. Toh kemudian Minang culas. Tentara Majapahit yang mengundurkan diri diserang. Dalam keadaan kucar-kacir, bala tentara buron ini ditolong sebuah suku pedalaman dekat Minang (Riau?). Mereka disambut, dibantu, dan dijamu sebagaimana layaknya tamu agung. Terkesan, panglima Majapahit ingin membalas jasa. Ia lantas menawarkan latihan keprajuritan kepada para pemuda lokal. Dan di antara pemuda yang paling berbakat, muncullah si Mada. Ia ini bukan saja diberi sebuah pusaka Majapahit, melainkan diboyong ke Jawa untuk mendapat pendidikan selanjutnya - dan untuk menjadi Patih Gajah Mada yang perkasa itu. Tentang apakah pusaka Majapahit sampai kini masih ada di daerah itu, tidaklah menarik. Tapi validitas sebuah babad untuk dijadikan dasar nasionalisme menjadi makin diragukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini