Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Polemik mengenai Bisphenol-A (BPA) terus mencuat, terutama terkait klaim zat ini dapat menyebabkan infertilitas pada perempuan dan mikropenis pada laki-laki. BPA merupakan bahan kimia yang digunakan dalam produksi kemasan plastik. Misinformasi tersebut telah menimbulkan kekhawatiran yang tidak berdasar di kalangan masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Spesialis kandungan dan kebidanan Ervan Surya dari Tzu Chi Hospital serta pengamat sosial Devie Rahmawati dari Universitas Indonesia memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai BPA dan dampaknya terhadap kesehatan reproduksi pada diskusi Forum Ngobras pada Senin, 14 Oktober 2024, di Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ervan mengatakan berdasarkan studi meta-analisis dari 2013 hingga 2022, tidak ditemukan korelasi antara BPA dan gangguan kesuburan. Penelitian tersebut juga menunjukkan BPA tidak terkait dengan endometriosis, kebutuhan bayi tabung, atau PCOS.
"Kita perlu cermat dalam membaca penelitian yang beredar di media sosial," katanya.
Terkait isu lain yang menyebutkan bahwa BPA dapat menyebabkan persalinan prematur, Ervan menjelaskan studi meta-analisis terhadap tujuh penelitian tidak menunjukkan hubungan antara paparan BPA dan kondisi tersebut. Penyebab persalinan prematur lebih sering terkait infeksi, bukan zat kimia ini.
Ia juga menjelaskan gangguan kesuburan dapat disebabkan berbagai faktor baik pada perempuan maupun laki-laki. Pada perempuan, penyebabnya bisa terkait gangguan pada tuba fallopi, disfungsi ovulasi, atau kondisi hormonal. Sementara pada laki-laki, faktor seperti varikokel dan gangguan sperma menjadi penyebab utama. Ia menekankan rokok dan alkohol telah terbukti memicu infertilitas. Sedangkan efek BPA masih perlu penelitian lebih lanjut.
Hoaks dan minim pengetahuan
Sementara itu, Devie, pengajar dan peneliti program studi Hubungan Masyarakat Vokasi Universitas Indonesia, menyebut kini masyarakat sangat rentan terpapar hoaks. Ia mengatakan penyebaran informasi negatif lebih cepat dibanding informasi positif, seringkali tanpa disadari. Salah satu penyebab berita hoaks gampang menyebar adalah naluri manusia yang cenderung gemar membagikan hal-hal yang menyentuh emosi, baik senang, sedih, marah, hingga jijik agar diketahui orang lain.
"Ketika ada berita yang menyentuh emosi, pengin banget itu jadi pahlawan yang ingin segera memberi tahu keluarga dan saudara. Jadi, niatnya enggak jahat, niatnya ingin jadi pahlawan," ujarnya.
Selain itu, lemahnya pengetahuan serta pengalaman akan suatu isu membuat orang jadi lebih mudah termakan hoaks. Berada dalam pergaulan terdekat yang kerap menyebarkan hoaks juga bisa menjadi faktor penyebab orang lebih mudah terpengaruh berita bohong.
"Tidak punya pengalaman atau pengetahuan, membuat seseorang jadi mudah terpeleset ke info yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Memang ada personality tertentu yang mudah atau berpotensi lebih mudah percaya hoaks," katanya.
"Manusia itu pada dasarnya takut berbeda, takut sendirian sehingga ketika apapun yang berbeda walau benar memilih untuk ikut saja dengan yang dipercayai banyak orang meski itu hoaks. Misinformasi dapat menyebabkan kebingungan dan konflik sosial," ungkapnya.
Ia menyarankan kolaborasi antara penulis, kreator konten, dan pembaca untuk mencegah penyebaran informasi yang tidak akurat. Diskusi ini menekankan pentingnya literasi informasi dan sikap kritis terhadap konten yang beredar, terutama di era digital ini.