Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nurjanah kerap menanggung malu. Ibu tiga anak ini tidak bisa mengontrol kantong kemih hingga sering mengompol, bahkan saat di dalam angkutan umum. Tak enak menegur Nurjanah secara langsung, penumpang lain yang merasa terganggu oleh bau pesing kerap melempar cibiran. ¡±Aduh, ini kok bau ompol, ya? Siapa sih yang pipis?¡± kata Nurjanah menirukan cibiran itu, saat ditemui Tempo, Senin pekan lalu.
Perempuan 38 tahun itu sebenarnya tidak punya masalah pada saluran kencingnya. Dua tahun lalu, dokter memvonisnya menderita parkinson. Parkinson adalah kelainan degeneratif dari sistem saraf pusat (di otak) yang menyebabkan gangguan pada sistem motorik. Penyakit ini muncul lantaran ada kerusakan sel otak atau neuron yang memproduksi dopamin-neurotransmiter—zat kimia penghantar pesan di otak.
Keberadaan dopamin membuat seseorang bisa menggosok gigi, memasang kancing baju, memakai sepatu, dan sebagainya. Dopamin diproduksi di bagian otak yang disebut substansia nigra. Bagian ini terletak pada sirkuit otak yang disebut ganglia basalis. Nah, pada pasien parkinson, substansia nigra di ganglia basalis sudah tidak lagi berfungsi atau mati sehingga tidak dapat memproduksi dopamin.
Gangguan pada zat ini sama dengan terhambatnya sinyal pada telepon. Akibatnya, banyak pesan yang diinginkannya tak sampai ke sistem motorik. Inilah kenapa, selain sering mengompol, air mata Nurjanah kerap menetes tanpa sebab selama dalam perjalanan menuju tempat kerjanya di kawasan Pulo Gadung, Jakarta Timur. Menurut dokter yang menangani Nurjanah, air mata tersebut menetes tanpa kontrol karena kerja saraf motorik Nurjanah sudah tidak normal.
Tersambar parkinson di usia produktif, seperti dialami Nurjanah, jelas sangat menyiksa. Repotnya, seperti terungkap dalam seminar "Seni Penatalaksanaan Parkinson yang Tepat" di Cafe Energy Building, Jakarta, Kamis tiga pekan lalu, ada kecenderungan usia pasien penyakit ini memang semakin muda. Teori lama yang menyebutkan parkinson biasa mampir pada mereka yang berusia 50 tahun ke atas tak berlaku lagi. Nurjanah, misalnya, terkena parkinson saat berusia 36 tahun.
Belum ada penelitian khusus kenapa parkinson kini menyerang orang yang lebih muda. Bahkan hingga saat ini penyebab pasti parkinson masih misterius. Namun para ahli memperkirakan tiga faktor yang bisa menjadi pemicu keringnya sumur dopamin: paparan zat kimia atau logam berat, faktor genetis, dan proses penuaan atau degeneratif. Belakangan, pemicu pertama tampaknya semakin kuat, sehingga tanpa harus menjadi tua orang sudah terkena penyakit ini.
Yang bisa kita lakukan kini adalah mengenali lebih dini penyakit ini agar tidak terlambat ditangani. Apalagi parkinson bersifat progresif, artinya gangguan dan gejala yang muncul akan bertambah buruk dalam jangka waktu yang lama.
Tentu saja ini tak mudah. Menurut dokter Diatri Nari Lastri, salah satu pembicara dalam seminar parkinson, penyakit ini memiliki gejala yang bervariasi pada setiap orang. Misalnya, ada orang yang memiliki gejala awal berupa nyeri di punggung kiri, tapi penderita yang lain belum tentu mempunyai keluhan tersebut. "Semua gejala bersifat individual," ujar Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia ini.
Dokter Banon Sukoandri, Ketua Yayasan Peduli Parkinson Indonesia, menegaskan bahwa deteksi dini penyakit ini tidak gampang. Itu sebabnya, penanganan dan pengobatan terhadap pasien sering telat. Maklum, gejalanya kerap kali baru muncul empat-lima tahun kemudian. Itu berarti sebetulnya Parkinson sudah menclok ke tubuh seseorang sejak empat-lima tahun sebelum gejalanya terlihat. "Selain itu, parkinson bisa tidak terdeteksi dengan tes darah atau memindai penampang otak," katanya.
Tapi bukan berarti itu tak mungkin dilakukan. Untuk menegakkan diagnosis, metode TRAP kerap digunakan. Ini adalah singkatan dari tremor (gemetar), rigidity (kekakuan), akinesia (hilangnya gerakan, kerap disebut juga dengan bradikinesia alias gerakan lamban), dan postural instability (ketidakseimbangan postur tubuh).
Tremor bisa dilihat dari tangan pasien yang selalu gemetar saat istirahat, sedangkan kekakuan bisa terjadi pada kaki, tangan, atau tubuh penderita. Untuk kekakuan di tangan, ini bisa dikenali, antara lain, dengan melihat tulisan. Saat menulis, penderita parkinson tidak teratur. Lama-kelamaan tulisannya semakin kecil.
Sejumlah gejala fisik itu ada pada Nurjanah. Sebelum gejala fisik muncul, ia mengaku sering merasa sakit luar biasa di bagian kepala belakang, punggung, dan menjalar hingga ke pinggang dan dada. Setelah itu, gangguan fisik mulai muncul, seperti tangan bergerak sendiri tanpa disadari. Yang tak kalah gawat, akibat keseimbangan tubuhnya terganggu, ia merasa hendak jatuh ke depan. Khawatir Nurjanah terjerembap ke mesin produksi, manajemen perusahaan tempat ia bekerja memindahkannya ke bagian lain yang kerjanya tidak berdekatan dengan mesin.
Belakangan jerat parkinson kian kuat. Semua koordinasi gerak tubuhnya berantakan. Pada 2011, kedua tangannya mulai menekuk ke atas dada tanpa disadari. Gerakan Nurjanah semakin lambat dan selalu gemetar. Semua makanan tidak dapat masuk dengan sempurna karena kedua tangannya tak bisa menyuap dengan benar. Bekerja juga susah. "Biasanya bisa memenuhi target dan dapat komisi, sekarang mah kerja tidak pakai penilaian lagi," ujarnya. "Cuma pakai absensi."
Bila gejala TRAP ini tidak muncul tapi ada gangguan fisik—misalnya tidak bisa mengontrol kencing atau nyeri di beberapa bagian tubuh—satu-satunya cara untuk mendiagnosis ada-tidaknya parkinson adalah pemberian obat asupan dopamin dari luar tubuh. Obat jenis ini dilakukan selama kurang-lebih dua bulan. "Bila setelah dikasih dopamin hasilnya bagus (gangguan berkurang), bisa dipastikan pasien tersebut menderita parkinson," katanya. Bila pemberian dopamin tidak memberikan hasil, gangguan fisik tadi mungkin berasal dari penyakit lain.
Karena gejala parkinson sangat individual, ujar dokter Diatri, pengobatannya pun bersifat personal. Jangka waktu pemberian obat dan jenis sediaan obat yang dipakai sangat bergantung pada usia pasien, jenis gejala yang menonjol, jenis pekerjaan, perkiraan pasien terhadap penyakit, dan hasil pengobatannya, plus keadaan finansial pasien. "Pasien parkinson berhak ikut menentukan strategi pengobatan yang dipakai. Ini merupakan hak asasi dia," kata Diatri.
Kepada para pasien parkinson, Banon menyarankan sering melatih tubuh dengan melakukan gerakan motorik aktif. Misalnya berolahraga, melukis langsung dengan jari, bahkan mendengarkan musik yang mengentak. Semua itu penting sebagai upaya di luar pemberian obat untuk menjaga otak sekaligus saraf motorik agar tetap aktif. "Sebab, pada dasarnya, dalam diri manusia itu, baik sakit maupun tidak, yang mengatur adalah otaknya," ujar Banon.
Cheta Nilawaty
Postural Instability
Substansia Nigra
Tremor (Gemetar)
Rigidity (kekakuan)
Akinesia/Bradikinesia (gerakan lamban)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo