Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maret 1973. Rose Pandanwangi, 82 tahun, masih teringat betapa bahagia suaminya, Sindudarsono Sudjojono, tahun itu mendapat pesanan membuat lukisan dari Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Lukisan itu menggambarkan suasana penyerangan Sultan Agung ke Batavia pada 1628 dan 1629.
Rencananya, lukisan dipajang di dinding Gedung Stadhuis, gedung bekas Balai Kota Belanda (kini Museum Sejarah Jakarta), yang terbakar saat Sultan Agung menyerang Kastil Batavia. Balai kota tempat Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen berkantor itu pada 1629 dibumihanguskan prajurit-prajurit Mataram. Pada 1970-an, bangunan itu akan dipermak dalam proyek pemugaran Kota Tua Jakarta.
"Waktu dia mendengar tawaran itu, seharian dia diam," ujar istri kedua Sudjojono ini.
Menurut Rose, diam Pak Jon—sapaan Sudjojono—itu adalah perwujudan rasa bahagia bercampur panik. Bahagia, karena diminta melukis figur yang ia kagumi: Sultan Agung, raja ketiga Mataram, yang memerintah selama 32 tahun (1613-1645). Panik, lantaran di saat bersamaan datang undangan dari Lembaga Persahabatan Indonesia-Belanda untuk menggelar pameran tunggal di Hotel Des Indes, Den Haag, Belanda, pada 3-10 Mei 1973.
Bagi Sudjojono yang terkenal dengan kecermatannya itu, melukis peristiwa sejarah tidak boleh asal mengarang. Ia memiliki kredo: "Kebenaran nomor satu, baru kebagusan." Begitu mendapat pesanan melukis pertempuran Sultan Agung tersebut, Sudjojono melakukan serangkaian riset. Ia ingin gambar serdadu, bedil, tameng, pedang, kostum, dan detail lain memiliki tingkat akurasi tinggi, harus berdasarkan referensi visual dari berbagai sumber sejarah.
Masalahnya, Sudjojono tak menemukan satu pun data visual tentang peristiwa penyerbuan yang terjadi lebih dari 350 tahun silam itu. Walhasil, yang ia lakukan kemudian adalah riset kepustakaan. Ia membaca semua literatur yang menceritakan pertempuran besar di awal abad ke-17 itu.
Tapi itu pun tidak cukup. Dari sekian banyak literatur Indonesia yang ia baca, tidak ada yang merinci detail obyek. Tidak ada penggambaran tentang sosok wajah dari tokoh-tokoh sentral, pakaian perang yang dikenakan, serta aneka pernik lain untuk dituangkan dalam lukisan.
Selama tiga bulan menetap di Belanda dalam mempersiapkan pamerannya, Sudjojono kemudian mengunjungi sejumlah museum di Amsterdam, Den Haag, dan Groningen. Dia bahkan khusus mengunjungi Hoorn, kota kelahiran Jan Pieterszoon Coen, di Provinsi Limburg, di sebelah utara Amsterdam, untuk memahami karakter Gubernur Jenderal Kongsi Perdagangan Hindia Timur—Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC)—yang menjabat dua periode (1618-1623 dan 1627-1629) itu.
"Rupanya, sosok Coen tak terlalu dikenal oleh generasi saat itu. Sampai ada sejarawan yang menginformasikan kepada kami bahwa ada sebuah patung Coen berukuran kecil di atas pilar di antara gedung perkantoran di Hoorn. Kami mencari gedung itu. Ketemu. Beruntung, pemilik kantor mengizinkan Pak Jon naik ke lantai atas. Pak Jon kemudian memotret dan membuat sketsanya," kata Rose saat ditemui di rumahnya di kawasan Cireundeu, Ciputat, Banten.
Seperti dikutip dari buku Konservasi Lukisan S. Sudjojono: Pertempuran antara Sultan Agung dan J.P. Coen, yang diterbitkan Balai Konservasi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta (2012), Sudjojono mendapatkan informasi mengenai seragam pasukan Belanda dan tentara Mataram kala itu dari Museum Leger di Leiden dan Perpustakaan Universitas Leiden. Dia juga mendapat data sejarah dari Profesor Theodoor Paul Galestin dari Universitas Leiden. Dari semua ini, Sudjojono mendapatkan data yang menarik.
Ternyata ada 300 orang Jepang yang tergabung dalam pasukan Coen. Dan ternyata perwira Mataram penunggang kuda mengenakan pakaian lengan pendek. Warna baju mereka belang-bonteng. Setiap warna itu sejatinya berupa kain pembungkus jimat yang dijahitkan di baju tersebut. Dengan jimat itu, mereka berharap bisa menjadi perisai. Data lain berkenaan dengan model ikat kepala, sorban, dan bentuk celana prajurit Jawa. Bahkan Sudjojono mendapat informasi tentang gigi-gigi para pejuang Jawa, yang rata-rata hitam.
Soal pernak-pernik yang bahkan jarang diinformasikan sejarawan kita ini diungkap Sudjojono dalam sebuah tulisan yang kini disimpan Sudjojono Center, "Bagaimana Saya Membuat Lukisan Sultan Agung":
"Serdadu Belanda terdiri tidak dari orang Belanda saja, tetapi juga orang Cina, Jepang. Soal-soal kecil yang kelihatan tidak penting ini menjadi problema saya. Saya sebagai pelukis boleh membuat imajinasi dan fantasi semau saya, tetapi 70% harus benar atas dasar historis. 30% yang salah juga tidak boleh karangan. Harus disebabkan oleh laporan-laporan dan fakta-fakta yang tidak lengkap dari kedua pihak (Belanda dan kita sendiri). Saya sebagai seorang nasionalis, sadar atau tidak sadar, akan memihak."
Selain berburu buku dan data, di Belanda, Sudjojono membeli perangkat lukisnya, seperti cat minyak dan kuas-kuas besar. Untuk kanvas berukuran 3 x 10 meter, ia harus memesan khusus ke Belgia. Tatkala mengirimkan kanvas sebesar itu, Sudjojono meminta bantuan United Nations Development Program. Saking banyaknya data, buku, dan cat minyak, bagasi Sudjojono dan Rose kelebihan berat. "Beruntung, ada kenalan asal Belanda membantu mengatasi," ujar Rose.
Selama Sudjojono dan Rose pergi ke Belanda, pekarangan rumah mereka di kawasan Pasar Minggu, yang semula ditumbuhi pohon-pohon dan menjadi tempat bermain anak-anak mereka, dipermak menjadi sanggar berukuran 13 x 10 meter. Itu karena Sudjojono berencana melukis Sultan Agung di rumah ketimbang di Museum Fatahillah. Ia tak mau terikat aturan museum, yang hanya membolehkan ia melukis sampai sore, tak sampai malam. Padahal Sudjojono bisa melukis sewaktu-waktu. Subuh pun dia bisa bangun untuk melukis. Sedangkan tempat melukis sebelumnya di rumah kurang luas untuk kanvas sebesar itu. "Akhirnya, ibu saya yang mengawasi tukang membuat sanggar itu selama kami pergi ke Belanda," kata Rose.
Sekembali ke Jakarta, Pak Jon tidak langsung melukis mahakarya itu. Ia lebih dulu membuat sketsa-sketsa di atas kertas. Sketsa itu diajukan lagi kepada Ali Sadikin, dan gubernur ini terkesan. Sketsa tinta di atas kertas yang kini disimpan di Sudjojono Center itu kita lihat begitu detail. Pak Jon sampai membuat sketsa sepatu garnisun Belanda, sandal-sandal legiun Jawa, cara-cara prajurit Jawa memegang senjata, dan wajah-wajah serdadu Belanda asal Jepang. Paras muda Sultan Agung juga digambar beberapa kali.
Menurut Rose, tantangan pertama muncul saat pemasangan spanraam kanvas yang terdiri atas enam balok jati dengan panjang masing-masing lima meter. "Itu yang paling berat. Berapa orang murid Pak Jon tuh yang bantu," ujar Rose. Setelah kanvas terpasang, Sudjojono mulai menuangkan ide cerita dari sketsanya. Kanvas dibagi dalam tiga panel. Biasanya Sudjojono mulai bekerja setelah duduk minum kopi bersama sang istri. Saat ngopi itulah Sudjojono bertukar pikiran dengan Rose. "Enaknya begini mungkin, ya," kata Rose menirukan ucapan suaminya.
Pelukis kelahiran Kisaran, Sumatera Timur, ini tak kenal waktu saat bekerja. Di usianya yang sudah tak lagi muda—saat itu memasuki 60 tahun—semangatnya sangat besar. Bahkan Rose harus memaksa suaminya bersantai, sekadar berlibur ke Puncak. "Dia ikut, tapi malas-malasan, sering diam memikirkan lukisan itu," ujar Rose. "Kadang-kadang, jika lelah, ia sering tidur awal dan bangun tengah malam atau dinihari untuk mengerjakan lukisan itu lagi."
Tapi, diakui Rose, Pak Jon paling senang melukis kalau ditunggui olehnya atau ada anak-anak mereka. "Kalau ada tamu, dia akan meladeninya di sanggar, tapi matanya tak lepas dari lukisan yang sedang dikerjakan."
Berita tentang pembuatan lukisan yang besar itu membuat banyak teman Sudjojono penasaran dan datang melihat. Hal itu dimanfaatkan Sudjojono untuk "mengerjai" mereka sebagai model lukisan. Rose bercerita beberapa teman Belanda Sudjojono bahkan bangga ikut terlibat. Mereka disuruh bergaya seperti prajurit Belanda yang jatuh dari kuda atau jatuh ditendang.
Soedarmadji "Adjie" Damais, budayawan yang dulu bersama Wardiman Djojonegoro menjadi koordinator bidang museum dan proyek pemugaran Kota Tua Jakarta, menyebutkan itu sebabnya lukisan Sudjojono hidup. "Karena dia benar gambar muka orang," kata Adjie.
Selama dia melukis itu, banyak tamu Sudjojono yang usil bertanya. Misalnya, mengapa Sudjojono melukis kuda-kuda tunggangan perwira Mataram dengan ukuran besar, padahal kuda Nusantara aslinya berukuran kecil. Sudjojono punya jawaban sendiri. Ia mengatakan mendapat data bahwa kuda-kuda itu didatangkan dari Turki. Hubungan antara Mataram dan Turki sangat baik. Bahkan Kiai Rangga—pejabat yang diutus Sultan Agung bernegosiasi dengan Coen—adalah keturunan Turki.
Menurut Adjie, pada gambar dalam tiga panel ini, Sudjojono ingin memberi gambaran peristiwa dalam sepuluh tahun. Gambar di panel kiri adalah sosok pribadi Sultan Agung dan kawulanya—sosok kesatria Jawa yang sesungguhnya banyak melakukan semadi di keraton. Lalu di panel kanan, gambar pertemuan Coen dengan Kiai Rangga (Bupati Tegal) pada 13 April 1628. Keduanya berdiri sama tinggi. Coen berkacak pinggang, sementara Kiai Rangga bersedekap dengan tenangnya. Sedangkan gambar di panel tengah melukiskan pertempuran dahsyat yang terjadi di sekitar Kastil (Benteng) Batavia. Pada bagian belakang tampak kepulan asap dari Gedung Stadhuis, yang dibakar pasukan Mataram.
Uniknya, meski lukisan ini menggambarkan pertempuran terbuka antara Mataram dan VOC, Sudjojono tidak menampilkan gambar darah setitik pun. Menurut Adjie, hal itu pilihan kreasi Sudjojono yang tidak realistis. Tapi, menurut Rose, tak ada darah ini karena Sudjojono pernah menulis tidak ingin menimbulkan dendam dan kebencian.
Adjie mengaku sering "bertengkar" saat berdiskusi tentang lukisan ini dengan Sudjojono. Adjie kerap memberi masukan tentang budaya Jawa. Sebab, meskipun Sudjojono keturunan Jawa, kata Adjie, ia tidak terlalu paham budaya Jawa. Misalnya, pakaian Sultan Agung, menurut Adjie, seharusnya tanpa bordir karena bordir ini dibawa Belanda setelah masa itu. Ia juga menyarankan sosok Sultan Agung dilengkapi dengan keris yang bertabur berlian. Meski ia banyak memberi informasi, Sudjojono punya kebebasan untuk melukis.
"Dia punya ide sendiri, dia pelukis, bukan ilustrator," ujar Adjie. Sudjojono menyelesaikan lukisan itu dalam kurun tujuh bulan. Belum rampung sepenuhnya dia lukis, karya itu sudah harus dipamerkan di hadapan Ratu Elizabeth II dari Inggris, yang berkunjung ke Jakarta. Lukisan itu resmi terpajang di Ruang Sultan Agung, Museum Fatahillah, sejak diresmikan pada 30 Maret 1974.
Gagasan pembuatan lukisan Pertempuran antara Sultan Agung dan J.P. Coen itu tak lepas dari nama Sergio Dello Strologo. Dia warga Meksiko yang menjabat tenaga ahli di International Labour Organization yang diperbantukan ke Departemen Koperasi untuk urusan mendesain dan membuat barang kerajinan. Pada 1972, ia bertemu dengan Gubernur Ali Sadikin. Dia mengusulkan pemerintah DKI Jakarta memugar Kota Tua hingga menjadi warisan budaya dan obyek pariwisata.
Gubernur Ali menyambut baik saran Strologo itu. Ia lantas memerintahkan Wasthu Pragatha Chong menggelar proyek pemugaran, yang dibantu Wardiman Djojonegoro dan Soedarmadji Damais. Pada tahap pertama, dipilihlah Gedung Stadhuis, yang masih menjadi Markas Komando Distrik Militer 0503, Jakarta Barat, untuk dijadikan museum sejarah kota.
Strologo sangat terkesan oleh karya-karya Sudjojono dan Harijadi Sumodidjojo, yang waktu itu sedang menggelar pameran. Ia mengusulkan kedua pelukis itu ditunjuk untuk menghias Museum Fatahillah. Strologo, Chong, dan Wardiman lalu mengusulkan tema lukisan, yakni peristiwa penaklukan Batavia oleh tentara Mataram dan Sultan Agung sebagai pemimpin paling hebat. "Karena kita perlu episode kepahlawanan," ujar Adjie Damais.
Sudjojono diminta melukis lukisan besar dengan tiga adegan. Dilukis pada kanvas, lalu dipasang di dinding museum. Sedangkan Harijadi diminta melukis situasi Batavia pada 1880-1920 di atas dinding alias mural. Untuk pemesanan lukisan itu, kata Wardiman, mereka memberikan jasa melukis masing-masing Rp 5 juta.
Angka itu mungkin sedikit berbeda dengan ingatan Rose Pandanwangi. Kepada Tempo, perempuan sepuh ini bertutur malah angkanya tidak sebesar itu. Dia menyebutkan sekitar Rp 3,5 juta, tapi sejenak kemudian dia mengatakan lupa angkanya. Sudjojono sendiri dalam tulisannya tertanggal 1 Maret 1980 yang bertajuk "Bagaimana Saya Membuat Lukisan Sultan Agung" mengakui terlalu pasang rendah harga saat itu dan tidak memperhitungkan kenaikan harga material:
"Saya membuka harga terlalu rendah. Harga karya ini Rp 3.500.000. Namun, ini risiko saya. Saya telah menyepelekan kenaikan harga. Sejak Maret 1973 sampai dengan Juni (4 bulan) harga bahan naik hampir 100%. Bagaimana 6 bulan lagi? Dapatkah seseorang menolong saya keluar dari masalah ini?"
Sebagai gambaran, di masa itu satu dolar Amerika Serikat setara dengan Rp 400. Jadi, jasa melukis senilai Rp 5 juta itu sekitar Rp 125 juta saat ini.
Untuk membuat lukisan itu, Sudjojono memilih material yang tepat dan benar, agar bisa bertahan lama. "Kanvas dan raam lukisan saya harus tahan uji sedikitnya 100 tahun lamanya," tulis Sudjojono. Tapi dia tidak menjamin kelembapan tembok museum. "Iklim tropis Jakarta, saya tidak berani tanggung. Tembok-tembok gedung tersebut mestinya tak sanggup menahan naiknya air berkadar garam," kata Sudjojono.
Dugaan Sudjojono benar. Tak sampai 100 tahun, persisnya hanya 26 tahun sejak dipajang, lukisan itu diketahui mengalami kerusakan. Penemuan kerusakan itu dilaporkan salah seorang anggota keluarga Sudjojono yang mengunjungi museum itu kepada Wakil Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. Baru delapan tahun kemudian dilakukan upaya konservasi terhadap lukisan itu.
Atas bantuan Museum Tropen Belanda, Museum Sejarah dan Balai Konservasi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan merestorasi lukisan Sultan Agung itu mulai 2 Juli 2008. Tim dari Balai Konservasi, yang terdiri atas 20 orang, dibantu dua ahli restorasi dari Heritage Conservation Centre, Singapura, yakni Lawrence Chin dan Anthony Lau. "Pada intinya pekerjaan ini dikerjakan oleh Balai Konservasi. Kami hanya membantu," ujar Chin dalam surat elektroniknya kepada Tempo.
Menurut Enny Prihantini, Kepala Museum Sejarah, proses konservasi itu dilakukan setahap demi setahap, dari pemeriksaan kerusakan, pelepasan bingkai, pembersihan, pemindahan lokasi, perbaikan, sampai restorasi. Restorasi berjalan lancar lebih dari 40 hari: mengembalikan, memperbaiki, dan memberi sentuhan dari lukisan itu.
Kini lukisan itu telah terpajang kembali di Museum Sejarah Jakarta. Konservasi masih belum sepenuhnya bisa mengembalikan warna cat menjadi terang. Lukisan itu masih terkesan suram. Kanvasnya masih terlihat "kumuh". Meski demikian, berdiri di hadapannya, imajinasi kita bisa melayang, bagaimana pertempuran dahsyat itu berlangsung. Pasukan Mataram mencebur ke kancah musuh, berani menghunjamkan keris, menghadapi pedang-pedang. Pasukan Belanda dan serdadu-serdadu Jepang sewaan itu kalang-kabut. Suasana begitu genting. Di kejauhan, gedung Balai Kota—tempat kemudian lukisan ini digantung—terbakar. Gumpalan api dan asapnya memenuhi langit.
Pasukan Mataram mundur setelah mengetahui J.P. Coen, 29 September 1629, meninggal di dalam benteng karena terserang kolera. Sultan Agung memang gagal menghancurkan benteng. Sultan Agung memang gagal merebut Batavia. Tapi dalam versi Mataram, yang beredar lisan, kematian Coen itu akibat lehernya dipenggal oleh perwira-perwira Sultan Agung, bukan karena kolera. Semuanya bisa hadir dalam fantasi kita bila menatap lukisan itu. Meski semuanya dilukiskan Sudjojono tanpa darah.
Dian Yuliastuti, Dody Hidayat, Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo