Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Dari Seko sampai Diponegoro

S. Sudjojono membuat banyak lukisan serta sketsa bertema perjuangan dan nasionalisme. Beberapa tak bisa diselamatkan.

28 April 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pagi itu gemuruh kendaraan lapis baja sayup-sayup terdengar dari arah Prambanan menuju Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia. Agresi militer kedua Belanda dimulai pada pertengahan Desember 1948. Orang-orang berteriak: Belanda sudah datang!

Seisi rumah kontrakan pelukis S. Sudjojono di Desa Bogem, Yogyakarta, sekitar satu setengah kilometer dari Prambanan, bergegas untuk mengungsi. Sudjojono memikul koper sambil menggandeng Tedjabayu, anak sulungnya yang masih belasan tahun, yang menggenggam buku sketsanya. Watugunung, anak ketiga, digendong istri pertamanya, Mia Bustam.

Anak kedua Sudjojono, Sri Nasti Rukmawati, digendong Mbah Putri, ibunda sang pelukis. Kepala Nasti disungkup dengan baskom logam. "Helm antipeluru!" kata Mbah Putri. "Bapak tak langsung mengungsi karena menyelamatkan lukisan dulu," ujar Tedjabayu kepada Tempo.

Sudjojono menuangkan peristiwa pengungsian itu dalam lukisan Mengungsi sesampai di Desa Kragan, sehari perjalanan dengan jalan kaki dari Bogem. Lukisan ini nantinya menjadi koleksi Presiden Sukarno dan salah satu lukisan bertema perang terkenal karya Sudjojono.

Lukisan lain karya Sudjojono di masa perang yang sering dibicarakan orang adalah Seko. Nama itu dia pungut dari bahasa Jepang yang berarti "pengintai". Menurut Mia dalam otobiografinya, Sudjojono dan Aku, lukisan itu lahir dari kisah perjuangan gerilyawan Kragan, yang semuanya maling sehingga sering disebut Barisan Maling. Mereka memerangi Belanda dengan cara sendiri. Salah satunya dengan meledakkan jembatan kereta api di atas Sungai Opak, antara Bogem dan Prambanan, dengan bom tarik.

Tedjabayu ingat bagaimana ayahnya melukis Seko. Pada 1955, sang ayah meminta seorang pemuda bernama Sukisman menjadi modelnya. Pemuda itu membawa senapan dengan bendera Merah Putih kecil, berkalung sarung, berbaju terbuka di bagian dada, memakai celana putih tergulung hingga betis, dan bertelanjang kaki. Dia berada di antara puing reruntuhan rumah di desa yang diserbu Belanda. Lukisan itu dibuat berdasarkan sketsa bikinan Sudjojono di sela-sela pertempuran bersama Barisan Maling. Lukisan itu belakangan dikoleksi Sukarno, yang bersahabat baik dengan Sudjojono.

Seniman yang dijuluki Bapak Seni Rupa Modern Indonesia itu banyak membuat lukisan bertema perang, perjuangan, dan kepahlawanan. Lukisan-lukisan itu antara lain Pertempuran antara Sultan Agung dan J.P. Coen, Mengungsi, Kawan-kawan Revolusi, Seko, Tetangga, dan Persiapan Gerilya. Beberapa lukisan dibeli oleh Sukarno, seperti Gunung Merapi, Di Sudut Kebon, Di Kampung, dan Gunung Merapi.

Pada 1979, beberapa tahun setelah melukis penyerbuan Sultan Agung ke Batavia, Sudjojono menggambar Diponegoro. Dilukiskan Pangeran Diponegoro menunggang kuda hitam dan di bawahnya pasukannya tampak berhasil menguasai sebuah desa. Di belakang Diponegoro, seorang punggawanya membawa bendera warna merah-putih. Lukisan Diponegoro ini didahului sebuah studi. Sudjojono sebelumnya membuat sketsa Diponegoro, Kiai Madja, dan Sentot Alibasya dalam sebuah peperangan di Lembah Lengkong pada 30 Juli 1826. Pada sketsanya pun ia tampak memperhatikan hal-hal kecil. Di situ Sudjojono memberi perhatian khusus terhadap kuda yang digunakan Diponegoro.

Dalam sejarah, Diponegoro dikenal memiliki kuda kesayangan bernama Kiai Gentayu. Bila berkeliling di Pedukuhan Tegalrejo, dia selalu menunggang Kiai Gentayu. Dalam sketsa itu ada tulisan tangan Sudjojono, yang mengatakan bahwa, tatkala perang di Lembah Lengkong, belum tentu Diponegoro menggunakan kuda Kiai Gentayu. "...Mungkin sekali ia memakai Kiai Tapa. Kiai Gentayu hitam badannya hitam, putih kakinya. Kiai Wijaya Tapa tak disebut warnanya...".

Hidup Sudjojono seolah-olah dicurahkan untuk perjuangan. Pelukis Srihadi Sudarsono, 81 tahun, menuturkan, saat memimpin Seniman Indonesia Muda di Yogya pada 1940-an, Sudjojono banyak membimbing seniman seperti dirinya, Soedibio, Rusli, dan Suromo untuk membuat baliho perjuangan yang menolak kembali kedatangan Belanda. Semua anggota Seniman Muda Indonesia tidur di Taman Siswa.

"Di pendapa Taman Siswa, kami sering berdiskusi dengan Pak Jon mengenai ide-ide membuat baliho propaganda," kata Srihadi. Ia ingat, sebagai guru, Sudjojono tak menggurui. "Cara bicaranya sangat memikat. Saya juga merasa pengetahuan Sudjojono luas. Pada akhir 1940-an itu bahkan ia pernah mencontohkan poster perdamaian Merpati karya Picasso. Bagaimana burung merpati oleh Picasso digunakan sebagai simbol perdamaian dunia."

Pada periode di Yogyakarta, Sudjojono dikenal cukup banyak membuat lukisan bertema perjuangan dan nasionalisme. Tapi semuanya, seperti lukisan Sultan Agung yang dibuatnya pada 1973, sama sekali tak memunculkan darah. Dia menuangkan ide nasionalismenya dengan cara yang lebih menggugah.

Padahal, dalam pengalaman hidup Sudjojono, hal berdarah bukan tak pernah ditemuinya. Ada cerita, saat Belanda menyerang Yogya, sang pelukis berjuang mati-matian melindungi sketsanya agar tak dirampas. Bahkan, demi sketsa-sketsanya itu, ia meninggalkan bapaknya, Sindudarmo, yang tertembak tentara Belanda di perbatasan Klaten-Yogyakarta. "Sketsa-sketsa tak boleh jatuh ke tangan orang. Mereka tak boleh tahu alamat pemimpin militer kita," kata Sudjojono dalam memoarnya tentang masa revolusi seperti dikutip Aminudin T.H. Siregar, pengajar seni rupa Institut Teknologi Bandung, dalam buku Sang Ahli Gambar: Sketsa, Gambar dan Pemikiran S. Sudjojono.

Dalam otobiografinya, Mia juga mengisahkan peristiwa tragis ter-sebut. Ketika itu, Sindudarmo membawa dokumen dan Sudjojono membawa sketsa di dalam buntalan. Saat bapaknya tersungkur terkena peluru, sang putra mendekatinya. "Pak. Menyelamatkan dokumen juga perjuangan, Pak," ujar Sudjojono. Setelah peperangan reda, ia kembali ke tempat sang bapak tergeletak, tapi ternyata tubuhnya sudah tak ada. Seorang warga setempat lalu mengabarkan bahwa masyarakat sudah mengangkut mayatnya ke desa lain.

Pada masa itu, Sudjojono tak cuma kehilangan bapak, tapi juga lukisan-lukisannya yang berharga. Saat mengungsi dari Bogem, dia menggali tanah dan mengubur 45 lukisan yang rencananya dipajang dalam sebuah pameran. Menurut Mia, lukisan-lukisan itu dibikin Sudjojono saat menjadi anggota Persatuan Ahli Gambar Indonesia, sebagian dibuat pada zaman penjajahan Jepang, serta saat mendirikan Seniman Indonesia Muda dan Biro Perjuangan (biro propaganda bentukan pemerintah Indonesia).

Rupanya, selama ditinggalkan, rumah Sudjojono dijadikan markas tentara Belanda. Setelah perang usai pada April 1949, markas itu dikosongkan dan Sudjojono kembali ke sana. Namun yang dia temukan hanyalah puing-puing sisa rumah yang terbakar. Tak ada lagi lukisan. Tak ada lagi yang tersisa.

Nasib serupa terjadi pada sketsanya. Sebanyak 90 lembar gambar dan sketsa di zaman gerilya dijual Sudjojono kepada Adam Malik pada 1960-an seharga Rp 150 ribu. Sayang, setelah Adam Malik wafat dan Museum Adam Malik dijual anak-anaknya, karya itu kini hilang tak tentu bekasnya. Padahal sketsa Sudjojono pada periode perang itu justru dianggap sebagai karya terbaiknya.

Dian Yuliastuti, Kurniawan, Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus