MENJELANG larut malam, tamu yang harus dilayani justru makin
berjubel. Dan asap rokok pun terus menyesakkan napas. Di tengah
cahaya remang-remang, lelaki berjas merah dengan dasi kupu-kpu
itu, mencabut beberapa botol dari atas rak dan menuangkan isinya
ke dalam gelas. Dengan gerakan sigap dan sopan, ia menyuguhkan
minuman itu ke depan pengunjung yang Merubung meja melengkung,
"Captain Bar" di Hotel Mandarin Jakarta. "Tugas kami adalah
memasarkan minuman sebanyak mungkin. Karena itu, kami harus
melayani agar pemesan puas," kata Muhamad Rizal, bartender di
hotel berbintang lima itu.
Untuk meramu minuman dan melayani pesanan, ternyata tak semua
bar tender harus berpendidikan khusus. "Saya belajar sendiri
dari buku dan bertanya pada atasan," kata Rizal. Tapi untuk
meraih jabatan itu, ia mesti merayap dari bawah. Begitu masuk
Hotel Mandarin, 1978, lulusan STM Medan 1974 itu menjadi bar
boy. Tugasnya, membantu menyodorkan minuman yang dipesan tamu.
Setelah lewat dua bulan, jabatannya meningkat menjadi waiter
yang bertugas pula melayani para tamu. Sebelum menerima jabatan
bar tender, ia mesti merampungkan jabatan asisten selama empat
bulan.
Pada awal tugasnya, Rizal, 25 tahun, memang mencicipi minuman
yang diramunya dari berbagai unsur minuman keras. "Sekedar ingin
tahu rasanya," tuturnya. Walau hidupnya selalu berurusan dengan
minuman keras, ia tidak menjadi peminum. "Soalnya tidak cocok
saja. Dulu pernah coba, tapi kok langsung pusing," katanya.
Kini, setelah dua tahun menjadi bar tender, tanpa mencicipi pun
ia bahkan sudah tahu persis selera tamu seperti tertera pada
kertas yang disodorkan pemesan. "Jarang mendapat kesulitan
melayani tamu," katanya. Karena ia sudah hafal semua rumus dan
takaran untuk tiap nama minuman. Jika sekali waktu adonan itu
meleset juga dari kemauan pemesan, berarti Rizal harus menahan
diri menerima celaan tamu. "Apa boleh buat," katanya. Sebab,
tambahnya menjadi bar tender berarti siap menerima segala
tingkah laku tamu, termasuk mereka yang mabuk.
Tukar Informasi
Sebuah bar, ternyata bukan hanya tempat minum-minum atau sekedar
iseng. Menurut Rizal, tamu-tamu yang dilayaninya, lebih banyak
tukar pikiran dan informasi. Bahkan orang-orang asing juga
memakai para bar tender sebagai sumber informasi. "Untuk
informasi yang mereka butuhkan, kami sering mendapat tip," kata
Rizal.
Kecuali gaji bulanan Rp 99 ribu, pemuda bujangan itu bisa
mengantungi tambahan lumayan kalau kebetulan sering mendapat
tip.
Di bidang kemahiran menyajikan minuman, sebenarnya ada ketentuan
dari Dinas Pariwisata DKI Jakarta. Yaitu, bar tender harus
mempunyai lisensi seblum berpraktek. Caranya, mereka harus
mengikuti ujian khusus. "Pengetahuan soal minuman, saya peroleh
dengan membaca buku dan pendidikan latihan dari hotel," kata Sri
Hergiyanto, 38 tahun, bar tender di "Kudus Bar", Hotel Hilton
Jakarta. Dengan itu pula ia bisa mengenal macam-macam minuman
berikut berbagai peralatannya. "Semua tinggal menghafal, karena
sudah ada standarnya," katanya. Sri termasuk bartender yang
memiliki lisensi untuk berpraktek dari Dinas Pariwisata DKI.
Setelah sembilan tahun menjadi bartender, Sri mempunyai kesan
tentang tamu-tamunya. "Yang suka rewel biasanya orang India,"
kata laki-laki itu. Pernah ia menyodorkan bir sesuai pesanan
yang ditulis di kertas. Namun selalu ada saja kekurangannya:
seperti minta yang lebih dingin, minta es lagi dan lain-lain.
"Kadang-kadang tidak kuat menahan emosi, dan terpaksa harus
bersikap keras," tutur Sri.
Tapi selama menjadi bartender 6 tahun di antaranya di Hotel
Hilton--Hergiyanto belum pernah menghadapi kekacauan karena
tamunya mabuk. "Paling-paling cuma menggeletak," katanya.
Rupanya sudah ada kebijaksanaan perusahaan, agar tamu jangan
sampai mabuk benar-benar. "Kami harus melihat dengan awas, siapa
yang sudah mabuk. Kalau minta minuman lagi, tentu saja jangan
diberi minuman yang membuat lebih mabuk lagi," katanya.
Karena itu, pembayaran selalu beres. Tidak ada yang menolak
membayar gara-gara minuman yang dipesan tidak cocok. "Kalau toh
ada, kami yang harus membayar," kata bartender itu. Yang paling
sering justru tamunya lupa menulis pesanan tambahan, seperti
rokok atau makanan. "Kami harus menggantinya," katanya. Artinya
dipotong dari gaji bulanannya. Tak apalah. Sebab yang menjadi
harapan tiap bartender, adalah kalau tugasnya sudah beres, suatu
ketika pangkatnya naik menjadi bar captain, kepala bagian bar.
Ukik, Z4 tahun, berminat menjadi bartender karena ingin
menikmati minuman keras secara gratis. "Pikir-pikir kesukaan
minum bisa tersalurkan, tanpa harus mengeluarkan uang," katanya
di bar Hotel Hyatt Bumi Surabaya, tempatnya bekerja. Kecuali
itu, lulusan Akademi Pariwisata Surabaya itu, juga mau mencoba
kebolehannya berbahasa Inggris dengan para tamu . "Saya punya
rencana untuk ikut kapal dan kesempatan terbaik bisa berhubungan
dengan orang asing cuma di bar," katanya beremangat.
Setelai diterima menjadi karyawan hotel itu mengikuti kursus
bar tender selama tiga bulan. Segala jenis minuman yang biasa
dihidangkan di semua hotel internasional pernah diramunya.
Kecuali mencicipi, bar tender juga harus hafal warna dan baunya.
Di tempat kerjanya, "Tifa Club", ia yang mengurus segalanya.
Mulai dari mencampur minuman, menerima pesanan, membuat
administrasi dan kadang-kadang mencuci gelas sendiri. Tanpa
mendapat kesulitan, hanya dibantu dua orang waitress, Ukik bisa
melayani tamu yang kadang-kadang mencapai 150 orang itu.
Pelaut
Di bawah lampu temaram yang dibuai alunan musik dan dimeriahkan
tamu yang berdansa, Ukik kini tidak perlu lagi mencicipi atau
melototkan mata mengecek warna minuman yang dibuatnya. "Sudah
hafal di luar kepala," katanya. Bahkan setelah sekian lama
bergelut dengan minuman keras, kesukaannya minum hilang.
"Jangankan minum, mencicipi saja sudah malas," katanya. Bahkan
ia kini sudah hafal sifat minuman dan kegemaran pemesan.
"Sebelum mereka menyodorkan kertas pesanan, kami sudah siap
dengan minuman yang digemari," katanya. Tentunya khusus bagi
tamu yang sering nongol di tempat itu.
Ada saja tamu yang suka rewel dan nakal. Bahkan ada pula tamu
yang mabuk dan menolak membayar. Ada lagi pemesan yang hanya
meneken rekening untuk ditagih di kamarnya. Celakanya, kalau
tamu itu ternyata tidak tinggal di kamar tersebut. "Kalau sudah
terlanjur masuk rekening, terpaksa saya sendiri yang harus
bayar," katanya.
Beruntung bagi Ukik. Selama bertugas, belum pernah menjumpai
tamu yang mabuk berat, kecuali yang mabuk kecil-kecilan.
Biasanya mereka ini masih setengah sadar. Buru-buru ngacir ke
kamar kecil atau halaman parkir . . . dan muntah di sana.
Tapi pernah tempat kerjanya menjadi geger. Malam itu--kebetulan
ia lagi prei--kedatangan tamu 20 orang asing. Semuanya pelaut.
Mereka mabuk dan sempat memukuli petugas dan memecahkan botol
dan gelas. "Kalau sudah demikian, menjadi urusan petugas
keamanan hotel," katanya.
Dengan gaji Rp 70 ribu sebulan, Ukik yang masih bujangan itu
merasa berkecukupan. "Saya yakin, sampai tua di sini cukup
senang," katanya. Yang tidak membuatnya betah justru ruangan bar
ber-AC yang terus-terusan pengap oleh asap rokok. "Napas rasanya
sesak sekali," katanya.
Lain halnya dengan Raka Wijaya, 33 tahun, bar tender Pertamina
Cottage di Pantai Kuta, Bali. Sejak 8 tahun lalu, ia mencampur
minuman dan menyajikannya kepada tamu. Tapi baginya, tugas bar
tender bukan sekedar mencampur minuman, juga perlu jiwa seni,
sikap ramah dan penyajian yang menarik. "Kalau cuma mencampur,
itu gampang," katanya.
Insinyur & Warung
Keahlian mencampur minuman diperoleh Raka dari kursus dan
praktek langsung. Rumus-rumus yang sifatnya internasional dengan
gampang dihafalya. Karena sudah ada takaran tertentu ia tidak
perlu mencicipi lagi. "Saya hanya bermodalkan keyakinan ,"
katanya.
Namun ternyata Raka dituntut lebih di Pertamina Cottage, hotel
yang sering dipakai untuk pertemuan-pertemuan tingkat
internasional itu. Hotel itu mempunyai special drink. Kecuali
minuman yang dicampur berdasar rumusan tertentu, ia mesti
menambahnya lagi dengan buah-buahan lokal, seperti jeruk nipis,
nenas dan lain-lain. "Biasanya disuguhkan kalau ada tamu yang
ingin mencobanya, " katanya, "tapi tamu yang benar-benar
peminum, lebih suka minuman alkohol yang sudah ada."
Semula Raka tidak pernah mimpi menjadi bar tender. "Cita-cita
saya menjadi insinyur," katanya. Tapi setelah 8 tahun sibuk
dengan botol-botol minuman, ia lupa akan cita-cita itu. "Saya
tidak ingin dipindah ke tempat lain," katanya. Sebab,"tugas ini
bisa membekali diri untuk masa depan," tambahnya.
Kini cita-citanya sederhana saja. Kalau sudah tidak kepakai di
hotel, ayah seorang anak itu akan membuka warung kecil-kecilan
khusus untuk minuman. Yaitu bar kecil untuk para turis yang
tidak mampu minum-minum di hotel. Kini cukup puas dengan gaji
bulanan Rp 2 ribu, ditambah uang pelayanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini