Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Pelayan-Pelayan Orang Mabuk

Beberapa bartender dari Jakarta, Surabaya, Bali, menceritakan pengalamannya. Ada ujian khusus dari Dinas Pariwisata DKI. Mereka juga harus siap menghadapi tamu yang mabuk.

26 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJELANG larut malam, tamu yang harus dilayani justru makin berjubel. Dan asap rokok pun terus menyesakkan napas. Di tengah cahaya remang-remang, lelaki berjas merah dengan dasi kupu-kpu itu, mencabut beberapa botol dari atas rak dan menuangkan isinya ke dalam gelas. Dengan gerakan sigap dan sopan, ia menyuguhkan minuman itu ke depan pengunjung yang Merubung meja melengkung, "Captain Bar" di Hotel Mandarin Jakarta. "Tugas kami adalah memasarkan minuman sebanyak mungkin. Karena itu, kami harus melayani agar pemesan puas," kata Muhamad Rizal, bartender di hotel berbintang lima itu. Untuk meramu minuman dan melayani pesanan, ternyata tak semua bar tender harus berpendidikan khusus. "Saya belajar sendiri dari buku dan bertanya pada atasan," kata Rizal. Tapi untuk meraih jabatan itu, ia mesti merayap dari bawah. Begitu masuk Hotel Mandarin, 1978, lulusan STM Medan 1974 itu menjadi bar boy. Tugasnya, membantu menyodorkan minuman yang dipesan tamu. Setelah lewat dua bulan, jabatannya meningkat menjadi waiter yang bertugas pula melayani para tamu. Sebelum menerima jabatan bar tender, ia mesti merampungkan jabatan asisten selama empat bulan. Pada awal tugasnya, Rizal, 25 tahun, memang mencicipi minuman yang diramunya dari berbagai unsur minuman keras. "Sekedar ingin tahu rasanya," tuturnya. Walau hidupnya selalu berurusan dengan minuman keras, ia tidak menjadi peminum. "Soalnya tidak cocok saja. Dulu pernah coba, tapi kok langsung pusing," katanya. Kini, setelah dua tahun menjadi bar tender, tanpa mencicipi pun ia bahkan sudah tahu persis selera tamu seperti tertera pada kertas yang disodorkan pemesan. "Jarang mendapat kesulitan melayani tamu," katanya. Karena ia sudah hafal semua rumus dan takaran untuk tiap nama minuman. Jika sekali waktu adonan itu meleset juga dari kemauan pemesan, berarti Rizal harus menahan diri menerima celaan tamu. "Apa boleh buat," katanya. Sebab, tambahnya menjadi bar tender berarti siap menerima segala tingkah laku tamu, termasuk mereka yang mabuk. Tukar Informasi Sebuah bar, ternyata bukan hanya tempat minum-minum atau sekedar iseng. Menurut Rizal, tamu-tamu yang dilayaninya, lebih banyak tukar pikiran dan informasi. Bahkan orang-orang asing juga memakai para bar tender sebagai sumber informasi. "Untuk informasi yang mereka butuhkan, kami sering mendapat tip," kata Rizal. Kecuali gaji bulanan Rp 99 ribu, pemuda bujangan itu bisa mengantungi tambahan lumayan kalau kebetulan sering mendapat tip. Di bidang kemahiran menyajikan minuman, sebenarnya ada ketentuan dari Dinas Pariwisata DKI Jakarta. Yaitu, bar tender harus mempunyai lisensi seblum berpraktek. Caranya, mereka harus mengikuti ujian khusus. "Pengetahuan soal minuman, saya peroleh dengan membaca buku dan pendidikan latihan dari hotel," kata Sri Hergiyanto, 38 tahun, bar tender di "Kudus Bar", Hotel Hilton Jakarta. Dengan itu pula ia bisa mengenal macam-macam minuman berikut berbagai peralatannya. "Semua tinggal menghafal, karena sudah ada standarnya," katanya. Sri termasuk bartender yang memiliki lisensi untuk berpraktek dari Dinas Pariwisata DKI. Setelah sembilan tahun menjadi bartender, Sri mempunyai kesan tentang tamu-tamunya. "Yang suka rewel biasanya orang India," kata laki-laki itu. Pernah ia menyodorkan bir sesuai pesanan yang ditulis di kertas. Namun selalu ada saja kekurangannya: seperti minta yang lebih dingin, minta es lagi dan lain-lain. "Kadang-kadang tidak kuat menahan emosi, dan terpaksa harus bersikap keras," tutur Sri. Tapi selama menjadi bartender 6 tahun di antaranya di Hotel Hilton--Hergiyanto belum pernah menghadapi kekacauan karena tamunya mabuk. "Paling-paling cuma menggeletak," katanya. Rupanya sudah ada kebijaksanaan perusahaan, agar tamu jangan sampai mabuk benar-benar. "Kami harus melihat dengan awas, siapa yang sudah mabuk. Kalau minta minuman lagi, tentu saja jangan diberi minuman yang membuat lebih mabuk lagi," katanya. Karena itu, pembayaran selalu beres. Tidak ada yang menolak membayar gara-gara minuman yang dipesan tidak cocok. "Kalau toh ada, kami yang harus membayar," kata bartender itu. Yang paling sering justru tamunya lupa menulis pesanan tambahan, seperti rokok atau makanan. "Kami harus menggantinya," katanya. Artinya dipotong dari gaji bulanannya. Tak apalah. Sebab yang menjadi harapan tiap bartender, adalah kalau tugasnya sudah beres, suatu ketika pangkatnya naik menjadi bar captain, kepala bagian bar. Ukik, Z4 tahun, berminat menjadi bartender karena ingin menikmati minuman keras secara gratis. "Pikir-pikir kesukaan minum bisa tersalurkan, tanpa harus mengeluarkan uang," katanya di bar Hotel Hyatt Bumi Surabaya, tempatnya bekerja. Kecuali itu, lulusan Akademi Pariwisata Surabaya itu, juga mau mencoba kebolehannya berbahasa Inggris dengan para tamu . "Saya punya rencana untuk ikut kapal dan kesempatan terbaik bisa berhubungan dengan orang asing cuma di bar," katanya beremangat. Setelai diterima menjadi karyawan hotel itu mengikuti kursus bar tender selama tiga bulan. Segala jenis minuman yang biasa dihidangkan di semua hotel internasional pernah diramunya. Kecuali mencicipi, bar tender juga harus hafal warna dan baunya. Di tempat kerjanya, "Tifa Club", ia yang mengurus segalanya. Mulai dari mencampur minuman, menerima pesanan, membuat administrasi dan kadang-kadang mencuci gelas sendiri. Tanpa mendapat kesulitan, hanya dibantu dua orang waitress, Ukik bisa melayani tamu yang kadang-kadang mencapai 150 orang itu. Pelaut Di bawah lampu temaram yang dibuai alunan musik dan dimeriahkan tamu yang berdansa, Ukik kini tidak perlu lagi mencicipi atau melototkan mata mengecek warna minuman yang dibuatnya. "Sudah hafal di luar kepala," katanya. Bahkan setelah sekian lama bergelut dengan minuman keras, kesukaannya minum hilang. "Jangankan minum, mencicipi saja sudah malas," katanya. Bahkan ia kini sudah hafal sifat minuman dan kegemaran pemesan. "Sebelum mereka menyodorkan kertas pesanan, kami sudah siap dengan minuman yang digemari," katanya. Tentunya khusus bagi tamu yang sering nongol di tempat itu. Ada saja tamu yang suka rewel dan nakal. Bahkan ada pula tamu yang mabuk dan menolak membayar. Ada lagi pemesan yang hanya meneken rekening untuk ditagih di kamarnya. Celakanya, kalau tamu itu ternyata tidak tinggal di kamar tersebut. "Kalau sudah terlanjur masuk rekening, terpaksa saya sendiri yang harus bayar," katanya. Beruntung bagi Ukik. Selama bertugas, belum pernah menjumpai tamu yang mabuk berat, kecuali yang mabuk kecil-kecilan. Biasanya mereka ini masih setengah sadar. Buru-buru ngacir ke kamar kecil atau halaman parkir . . . dan muntah di sana. Tapi pernah tempat kerjanya menjadi geger. Malam itu--kebetulan ia lagi prei--kedatangan tamu 20 orang asing. Semuanya pelaut. Mereka mabuk dan sempat memukuli petugas dan memecahkan botol dan gelas. "Kalau sudah demikian, menjadi urusan petugas keamanan hotel," katanya. Dengan gaji Rp 70 ribu sebulan, Ukik yang masih bujangan itu merasa berkecukupan. "Saya yakin, sampai tua di sini cukup senang," katanya. Yang tidak membuatnya betah justru ruangan bar ber-AC yang terus-terusan pengap oleh asap rokok. "Napas rasanya sesak sekali," katanya. Lain halnya dengan Raka Wijaya, 33 tahun, bar tender Pertamina Cottage di Pantai Kuta, Bali. Sejak 8 tahun lalu, ia mencampur minuman dan menyajikannya kepada tamu. Tapi baginya, tugas bar tender bukan sekedar mencampur minuman, juga perlu jiwa seni, sikap ramah dan penyajian yang menarik. "Kalau cuma mencampur, itu gampang," katanya. Insinyur & Warung Keahlian mencampur minuman diperoleh Raka dari kursus dan praktek langsung. Rumus-rumus yang sifatnya internasional dengan gampang dihafalya. Karena sudah ada takaran tertentu ia tidak perlu mencicipi lagi. "Saya hanya bermodalkan keyakinan ," katanya. Namun ternyata Raka dituntut lebih di Pertamina Cottage, hotel yang sering dipakai untuk pertemuan-pertemuan tingkat internasional itu. Hotel itu mempunyai special drink. Kecuali minuman yang dicampur berdasar rumusan tertentu, ia mesti menambahnya lagi dengan buah-buahan lokal, seperti jeruk nipis, nenas dan lain-lain. "Biasanya disuguhkan kalau ada tamu yang ingin mencobanya, " katanya, "tapi tamu yang benar-benar peminum, lebih suka minuman alkohol yang sudah ada." Semula Raka tidak pernah mimpi menjadi bar tender. "Cita-cita saya menjadi insinyur," katanya. Tapi setelah 8 tahun sibuk dengan botol-botol minuman, ia lupa akan cita-cita itu. "Saya tidak ingin dipindah ke tempat lain," katanya. Sebab,"tugas ini bisa membekali diri untuk masa depan," tambahnya. Kini cita-citanya sederhana saja. Kalau sudah tidak kepakai di hotel, ayah seorang anak itu akan membuka warung kecil-kecilan khusus untuk minuman. Yaitu bar kecil untuk para turis yang tidak mampu minum-minum di hotel. Kini cukup puas dengan gaji bulanan Rp 2 ribu, ditambah uang pelayanan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus