JANI pemerintah dan DPR akan mempersembahkan Hukum Acara Pidana
baru untuk bangsa Indonesia sudah beberapa kali tertunda.
Pertama, rancangan (RUU) yang diajukan September 1979 itu,
dijanjikan akan menjadi hadiah tahun baru 1980.
Gagal. Lalu diJanjikan lagi akan menjadi hadiah HUT Proklamasl
yang lalu. Namun di althir pembahasan terjadi perdebatan senit
antara wakil pemerintah, Menreri Kehakiman Ali Said denan
fraksi-fraksi partai politik. Pembahasan gagal lagi
dirampungkan.
Dua tahun masa pembahasan RUU HAP memang cukup panjang dan
meletihkan. Meski Mudjono, waktu itu Menteri Kehakiman, sudah
mempersiapkan segala sesuatunya agar berjalan lancar. Mudjono
menemui dulu Jaksa Agung (ketika itu) Ali Said, Kapolri
Awaluddin Djamin dan Sekab (waktu itu) Ismail Saleh. Ketiganya
menyetujui RUU HAP yang akan diajukan pemerintah.
"Itulah kunci kenapa HAP bisa dilahirkan--kalau salah satu saja
dari kami tidak sepakat tidak mungkin bisa diajukan ke DPR,"
ujar Mudjono. Dua menteri kehakiman, semenjak 1972 (Menteri
Kehakiman Oemar Seno Adji) sampai 1974 (Mochtar Kusumaatmadja)
tidak berhasil mengajukan RUU HAP ke DPR.
Untuk menghilangkan rintangan-rintangan dalam pembahasan, lebih
dulu diadakan kesepakatan 13 pasal antar fraksi dan pemerintah.
Isi yang terpenting, persetujuan: RUU HAP yang diajukan
pemerintah terbuka untuk diperbaiki.
Setelah itu, pemballasan dimulai dengan tim gabungan antara
Komisi III dan I DPR, disingkat Tim Sigab. Pembahasan yang
semula di gedung megah Senayan, diteruskan di bungalow Bank Bumi
Daya di Megamendung. Di tempat yang sejuk, 75 km dari Jakarta
itu, berbagai pasal digarap. Lancar.
Sidang kadang-kadang diselingi lelucon. Ada saja cara pembahasan
pasalpasal yang memancing ketawa. Misalnya ketika merumuskan
pemeriksaan perkara susila dan rekonstruksinya. Atau ketika cara
saksi bisu memberikan keterangan dipermasalahkan. "Setiap usul
diselingi ketawa anggota," ujar Gde Djaksa.
Tiga bulan lamanya anggota Tim Sigab setiap hari bekerja mulai
pukul 09.00 sampai pukul 12.00 dan dilanjutkan lagi sore hingga
malam hari. Wakil pemerintah, Mudjono, beserta anggota lainnya
baru bisa pulang ke Jakarta pada hari Jumat malam setiap minggu.
Senin pagi sekitar pukul 03.00 dan 04.00 mereka sudah berangkat
lagi ke Megamendung. "Pak Mudjono itu bekerja setengah mati,"
kata Albert Hasibuan dari TKP.
Pimpinan tim sebenarnya Andi Muchtar, yang juga Ketua Komisi III
DPR. Namun Andi Muchtar sering menderita sakit kepala. Beberapa
kali Andi Muchtar terpaksa menyerahkan palu sidang kepada Kamil
Kamka (sekarang Irjen Departemen Kehakiman) yang ada di
sampingnya.
Dalam sidang-sidang itu pula Mudjito, dari Fraksi ABRI,
tiba-tiba menderita serangan jantung. Ia tidak sadar lagi
ketika dibawa ke Rumah Sakit RSPAD di Jakarta. Dan Mudjito
meninggal sebelum RUU yang dibahasnya rampung.
Pembahasan baru tersendat ketika memasuki pembicaraan mengenai
penahanan, barang bukti, penyitaan dan peluntutan. Ada 60 pasal
rumit mengenai masalah ini. "Satu hari hanya cukup untuk
membahas satu pasal," ujar Gde Djaksa dari PDI. Tidak kurang
dari 2 bulan dihabiskan untuk menggarap materi-materi penting
itu.
Hampir semua anggota Tim Sigab membenarkan bahwa perdebatan
keras muncul ketika masalah beralih kepada pasal Ketentuan
Peralihan. Perdebatan begitu memuncak, sehingga suatu kali
"Mudjono dan Kamil Kamka hampir saja berkelahi dengan Da Costa,"
ujar seorang anggota FKP. Bahkan, katanya pula, Kamil Kamka
pernah tidak mau memimpin sidang kalau Da Costa masih hadir.
AKHIRNYA kesepakatan terwujud juga. "Semuanya itu berkat
musyawarah -- tidak ada yang merasa dirinya dipaksa," ujar Ali
Said. Da Costa membenarkan: "Kita menerimanya dengan kompromi."
HAP yang semula 280 pasal menjadi 286 pasal itu, disahkan juga.
Tak sedikit pihak yang puas --atau paling sedikit lega. Bahkan
FKP mengadakan syukuran di Mina Sea Food, Hotel Sahid Jaya, 18
September lalu. Hadir pimpinan DPR, dan tokoh-tokoh yang banyak
ikut terlibat seperti Mudjono, Ali Said, Ismail Saleh, Kamil
Kamka, meskipun Kapolri Awaluddin Djamin dan pimpinan parpol
tidak kelihatan.
Ketua FKP Soegiharto dalarn malam syukuran itu berulangkali
menunjuk HAP sebagai hasil karya "DPR Orde Baru". Tetapi hampir
semua anggota Tim Sigab menunjuk Mudjono yang berjasa. Malah ada
yang menyebut asas prapengadilan di HAP sebagai Muljono Corpus
menggantikan istilah Haheas Corpus untuk lembaga serupa. Namun
Mudjono menunjuk Direktur Utama Bank Bumi Daya Omar Abdalla yang
paling berjasa: menyediakan bungalow dan makan minum bagi
anggota Sigab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini