Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Yang Baru Belum Nomor Satu ?

DPR akan merubah undang-undang lama: HIR, sebagai gantinya adalah mengesahkan RUU-HAP jadi UU. Menurut beberapa ahli hukum merupakan kemajuan di bidang hukum walaupun masih ada cacatnya.

26 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMUA pihak patut mendapat ucapan selamat. Kepada jaksa yang dibebaskan dari tugas sebagai penyidik. Kepada polisi yang dipercayai sebagai penyidik tunggal dalam perkara pidana. Dan tentu kepada semua yang bakal terpaksa berurusan dengan perkara pidana: Hukum Acara Pidana (HAP) yang baru kelak cukup menjamin terselenggaranya proses perkara pidana secara baik--setidaknya lebih baik dari penyelenggaraan selama lebih 130 tahun. Sebab minggu ini, dalam suatu sidang paripurna, DPR akan menguburkan undang-undang lama: HIR (Herzien Inlandsch Reglement) atau dalam bahasa kita RIB (Reglemen Indonesia yang Dibaharui) buatan pemerintah kolonial (1848). Dan sebagai gantinya adalah mengesahkan RUU-HAP menjadi UU setelah melewati masa perbincangan di DPR selama 2 tahun. Undang-undang baru tersebut, menurut banyak ahli hukum, merupakan kemajuan fantastis di bidang hukum. Meskipun, seperti kata Pengacara dan Ketua Yayasan LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Adnan Buyung Nasution, "mutu undang-undang tersebut belum terhitung nomor satu--karena di beberapa bagian ada cacatnya!" Meskipun demikian, menurut Buyung, banyak hal yang lebih maju dari yang diharapkan banyak ahli hukum. Misalnya munculnya lembaga praperadilan, batas penahanan, ganti rugi/rehabilitasi di samping soal bantuan hukum. Semua itu, menurut Buyung "menunjukkan kita semua masih komited dengan negara hukum yang melindungi hak asasi manusia." "Pengakuan terbesar terhadap harkat dan martabat manusia adalah dengan adanya lembaga praperadilan," ujar Irjen Departemen Kehakiman, Kamil Kamka, yang juga banyak terlibat dalam penggodokan RUU-HAP. Sebab, sebelm seorang tersangka diadili perkaranya, HAP yang baru nanti mengizinkannya meminta pertimbangan hakim patutkah ia ditangkap dan ditahan? Melalui lembaga praperadilan tersebut tersangka boleh menuntut ganti rugi atau rehabilitasi bila ternyata polisi salah ungkap atau main tahan. Menteri Kehakiman, Ali Said melihat masalah waktu penahanan merupakan kemajuan dalam HAP, karena ada batasan yang jelas. Selama ini, katanya, perpanjangan penahanan dari pengadilan, bisa tanpa batas. Dalam HAP penyidik hanya boleh menahan 20 hari, dan meminta perpanjangan penahanan kepada jaksa untuk 40 hari." Kalau penyidikan belum selesai, masa penahanan 60 hari itu sudah habis, tersangka harus dilepaskan. "Walau tersangka pembunuhan, atau penjahat kelas satu harus dilepaskan, kalau tidak yang menahannya ganti dituntut," ujar Ali Said. Bukan hanya polisi atau jaksa saja yang dibatasi wewenangnya untuk menahan oleh HAP. Hakim berikut hakim tinggi dan hakim agung, juga dibatasi dengan jelas. Seluruhnya, seorang tersangka hanya boleh ditahan selama 460 hari. Kalau jangka waktu itu habis, perkaranya belum mendapat keputusan yang berkekuatan pasti, tersangkanya harus dibebaskan. Pasal tentang batas penahanan inilah yang disebut Andi Mochtar, Ketua Tim Sigab (Gabungan Komisi I dan III DPR yang membahas RUU-HAP), sebagai salah satu topangan kuat untuk hak asasi manusia. Apalagi dalam penangkapan dan penahanan, disyaratkan, polisi harus cukup punya bukti pihak penyidik. Sebab kesalahan penangkapan, dan terlambatnya melepaskan tahanan dari semestinya, bisa dituntut ganti rugi. Pasal ganti rugi ini dinilai bekas Ketua Mahkamah Agung, Prof. Oemar Seno Adji, sebagai hal yang baru--tidak disinggung HIR. Tapi kemajuan itu, diingatkan Oemar, sebenarnya sudah dikandung oleh Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (1970). Hanya saja, peraturan pelaksanaannya yang tidak pernah ada. "Tetapi inovasi dan jiwanya sudah ada dan kemudian dirumuskan dalam HAP yang baru itulah," ujarnya. Hakim Tinggi Ja-Bar, Bismar Siregar, juga membenarkan bahwa pasal ganti rugi sebagai kemajuan. "Sampai terhadap keputusan hakim yang keliru pun terdakwa dapat menuntut ganti rugi," kata Bismar. PERJUANGAN kalangan advokat akhirnya terwujud juga: Tersangka berhak berhubungan dengan penasihat hukumnya semenjak permeriksaan pendahuluan. Persoalan hubungan tersebut diawasi petugas atau tidak, menurut Oemar Seno Adji, itu sudah menjadi perdebatan internasional di PBB. Umumnya, katanya, konsep yang diterima PBB adalah bebasnya tersangka berhubungan dengan pembela. Tetapi, standar minimal ditetapkan, hak tersangka untuk berhubungan dengan diawasi oleh petugas. Cuma yang dirasakan Buyung sebagai cacat terhadap HAP ini adalah dicantumkannya, kata dapat, untuk didampungi pembela bagi tersangka dalam pemeriksaan. "Jadinya kita banci, karena harusnya itu merupakan hak," ujar Buyung. Pasal inilah, salah satu kerikil yang hampir membuyarkan perumusan HAP (TEMPO 19 September). Sebab, sebelumnya wakil pemerintah, Mudjono, sudah menyetujui pembela melihat dan mendengar pemeriksaan, kecuali untuk kejahatan yang mengancam keamanan negara. Namun Ali Said, sebagai wakil pemerintah yang baru, tidak dapat menyetujuinya, dan menghendaki pengacara hanya melihat tapi tidak mendengar pemeriksaan untuk semua perkara. Akhirnya disepakati kompromi pengacara dapat melihat dan mendengar. Dalam penjelasan dicantumkan, pengacara hadir secara pasif. "Kata dapat ini bisa mengundang interpretasi, bisa boleh dan bisa tidak, dan kalau demikian tidak ada arti larangan bagi petugas untuk menghalangi hak tersangka didampingi," ujar Buyung Nasution SH. Kata pasif dalam penjelasan juga dipertanyakan Buyung: "Apa tak boleh mengajukan keberatan atas pemeriksaan?" tanyanya. Khusus mengenai kejahatan terhadap keamanan negara, tidak banyak perdebatan. Ali Said menjelaskan: "Kejahatan ini harus dibongkar sampai ke akarakarnya." Pembela dilarang ikut mendengar, karena di luar negeri pernah terjadi ternyata pembela dibayar oleh sindikat yang mau menghancurkan negara. Hasil pemeriksaan yang didengar pembela itu, kemudian dibocorkan pembela kepada sindikat yang membayarnya. Secara keseluruhan bunyi pasal bantuan hukum ini, Prof. Oemar Seno Adji memuji "Boleh hadir saja untuk pembela sudah kemajuan, boleh mendengar dan melihat lebih maju lagi," komentarnya. Tetapi yang paling dianggap cacat oleh banyak pihak, adalah berlakunya acara pidana khusus yang mengatur undang-undang subversi, ekonomi atau korupsi. "Berarti UU yang baik itu akan berjalan bersama dengan perkosaan hukum," ujar Buyung. Karena dengan alasan khusus itu, Kopkamtib tanpa mengindahkan HAP bisa saja melakukan penahanan. Alasan ini pula yang membuat Fraksi PDI dan PPP di DPR bersitegang, sehingga terjadi debat yang keras dengan wakil pemerintah, Ali Said. "Undang-undang khusus itu justru bisa merongrong HAP," ujar Da Costa. Sebab menurut wakil PDI ini, dengan diberlakukannya hukum acara pidana khusus itu, akan menyebabkan tidak terjaminnya hak asasi. Sebetulnya yang menjadi "momok" bagi wakil-wakil parpol kata Ali Said, adalah undang-undang subversi. "Momok inilah yang ingin dihilangkan terutama oleh wakil PPP," ujarnya. Padahal yang diatur oleh acara khusus bukan hanya subversi, tetapi juga undang-undang lain seperti korupsi, ekonomi, imigrasi, senjata api dan sebagainya. Perdebatan yang sengit ini akhirnya bisa diatasi dengan kesepakatan tetap memberlakukan undang-undang khusus itu dalam pasal Ketentuan Pera!ihan. Hanya saja dengan catatan: undang-undang khusus itu akan diubah dalam waktu sesingkat-singkatnya. Penyidik tunggal di tangan polisi memang tidak menjadi perdebatan hangat di kalangan tim Sigab. Sebab ide itu sudah tercantum dalam RUU HAP, "sehingga wakil dari kejaksaan juga tidak protes," ujar seorang anggota tim. Banyak pihak yang menilai tugas kejaksaan akan banyak berkurang dengan berlakunya undang-undang baru ini. Jaksa Agung Ismail Saleh, tidak sepenuhnya sependapat. "Itu tergantung cara melihatnya," jawab Ismail Saleh. Sebab menurut penafsirannya, dengan undang-undang baru itu jaksa bertugas mengawasi pemeriksaan yang dilakukan polisi, dan juga memberikan petunjuk. "Itu kan tambahan pekerjaan, padahal selama ini bisa lebih cepat karena ditangani sendiri," ujarnya. Apalagi untuk undang-undang khusus masih diberlakukan yang lama. HANYA kekhawatiran perkara akan bolak-balik antara jaksa dengan polisi, juga akan diatasi dalam pelaksanaannya. Jaksa Agung Ismail Saleh bersama Kapolri Awaluddin Djamin, akan mengadakan "penataran bersama". "Pelaksanaan HAP akan tercapai kalau masing-masing instansi mengandalkan prestasi bukan prestise," kata Ismail Saleh lagi. Ganjalan yang belum pasti mendapat jawaban, adalah peranan instansi Kopkamtib setelah IIAP menetapkan penyidik tunggal. "Kopkamtib itu termasuk undang-undang khusus," ujar Albert Hasibuan dari IKP. Namun sumber TEMPO membenarkan, hal itu menjadi persoalan, dan banyak pihak dari penegak hukum menghendaki instansi penyidik itu diserahkan kepada polisi saja, termasuk yang menyangkut keamanan negara. Kekhawatiran lain adalah penyidik tunggal polisi yang statusnya militer dan tunduk kepada hukum militer. "Seharusnya senjata polisi bukan bedil, tapi KUHP," kata Buyung yang merasa belum pas dengan status polisi ini. Status yang diinginkan Buyung, polisi dikembalikan menjadi sipil yang sama-sama runduk kepada hukum bagi orang yang dul rusnya. Usul Buyung ini, dibenarkan seorang pejabat tinggi hukum. Pejabat itu mengusulkan polisi tidak perlu dilepaskan dari Hankam, tetapi cukup diberi status sipil penuh, sehingga hukum sipilnya berlaku. Ia memisalkan, di Hankam yang juga ada pegawai sipilnya, bahkan dalam Angkatan Perang. "Jika penyidik hanya bisa diadili secara militer sementara yang diperiksa sipil, tidak ada asas kebersamaan," ujar pejabat itu. Terlepas dari berbagai ganjalan, HAP yang baru disepakati semua pihak sebagai langkah kemajuan. Setelah disahkan DPR, HAP akan diserahkan kepada pemerintah, untuk diundangkan. "Diharapkan dalam waktu tiga bulan sudah menjadi undang-undang," kata seorang anggota Tim Sigab. Tiga bulan mendatang, IIIR (Herzien Inlandsch Reglement) bisa diharapkan sudah tinggal kenangan. Bikinan kolonial itu, memang sudah dirasakan tidak layak lagi, untuk bangsa yang sudah merdeka 36 tahun lalu. Namun kerja keras menunggu anggota DPR yang akan dipilih nanti untuk menyusun undang-undang baru pendamping HAP. Yaitu UU Bantuan Hukum, Peradilan Anak, Pidana, Peradilan Administrasi yang kini telah menjadi kebutuhan mutlak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus