BELASAN kepala menjulur di pintu beton penjara (LP) wanita dan
pria di Jalan Listerik Medan. Sesekali terdengar tawa para napi
dari tahanan lelaki. Disambut cekikikan tahanan dan napi wanita
yang sedang antre rangsum makan siang. Rupanya mereka menjadi
tontonan mengasyikan bagi penghuni yang laki-laki dari tembok
sebelah. "Mereka lupa sebentar dengan hukuman atau masa tahanan
mereka," ujar Tulus, pegawai LP yang mengawasi tahanan dan
narapidana pria sambil ikut tertawa.
Di LP Jalan Listerik itu ada 116 orang tahanan yang sudah
selesai diperiksa jaksa. Namun mereka belum tahu kapan
perkaranya akan disidangkan. Salah seorang di antara mereka
adalah Suryadi (30 tahun) yang sudah menunggu selama lima
bulan. Tuduhan kepadanya- menyebabkan matinya seseorang dalam
kecelakaan lalulintas. Sudah berkali-kali ia diperiksa
jaksa--namun belum ada kabar kapan akan diadili.
Nasib sopir bis Mini, Togar Sianipar juga demikian. Tuduhan
kepadanya sama dengan Suryadi. Mei lalu ia ditahap polisi selama
seminggu. Ia dibebaskan setelah menyerahkan uang Rp 110 ribu
kepada polisi yang memeriksa dan menjanjikan perkaranya tidak
diteruskan. Selain itu, ia masih harus memberi uang duka kepada
keluarga korban Rp 150 ribu.
Tapi ia hanya sebentar sempat men ikmati kebebasan. Seorang
jaksa menjemput Togar dan menjebloskan sopir itu kembali ke
tahanan. Jaksa memeriksanya dengan tuduhan yang sama seperti
yang pernah dibuat polisi. Kedua instansi, baik kepolisian
maupun kejaksaan, memang sama-sama mempunyai wewenang mengurus
Togar. Dan Togar, seperti halnya pesakitan lain, tak punya upaya
untuk protes atau menyatakan keberatan .
Ketidakenakan berurusan dalam perkara pidana juga dialami
pembantu rumahtangga Duwok (23 tahun), penduduk Desa Ngronggot,
26 km dari Nganjuk (Jawa Timur) Agustus lalu ia diperkarakan
majikannya, Suparman, karena dituduh mencuri perhiasan. Ia
dibawa ke kantor polisi dan ditahan.
Di tahanan, begitu cerita Duwok kemudian, ia dipaksa mengakui
tuduhan majikannya. Karena membantah, katanya, Duwok mendapat
pukulan-pukulan dari pemeriksa. Kepalanya luka-luka dan
membuatnya pingsan, seperti dituturkan kembali oleh Ridwan,
Hansip Desa Ngronggot tempat Duwok mengadukan nasibnya. Dari
cara pemeriksaan itulah polisi memperoleh pengakuan Duwok.
Meskipun kemudian kecurigaan berikutnya jatuh kepada
Sumiran--seorang pemuda yang juga sering membantu di rumah
Suparman. Sumiran ditangkap polisi di dukuh lain. Entah
bagaimana caranya, Sumiran mengakui perbuatannya. Dan Duwok,
yang sudah 17 hari mendekam dan disiksa di tahanan, dibebaskan.
Namun penahanan itu sudah memporakporandakan jalan hidup Duwok.
Perkawinannya dengan seorang pemuda yang direncanakan akhir
bulan September ini batal. "Gara-gara calon mertua mendengar
Duwok ditahan karena mencuri," ujar seorang tetangga Duwok.
Akibatnya perempuan malang itu sering termenung. Lalu sakit dan
di-opname di rumahsakit Kertosono.
Sebelum masuk rumahsakit, Duwok sempat mengadukan perlakuan
polisi ke Kejaksaan Negeri Nganjuk. "Untuk minta perlindungan
dan keadilan - kareml ia merasa tidak berbuat tapi mendapat
perlakuan tak wajar," ujar Ridwan, yang mendampingi Duwok ke
Kejaksaan.
Berita tentang Duwok muncul di Swrabaya Post (11 September). Dan
hal itu dibenarkan pejabat kepolisian Nganjuk. "Itu tindakan
yang salah dan contoh penangkapan tak benar," kata Danres
Letkol. Pol. Sutardjo setelah menegur anak buahnya.
TAPI sikap pejabat tersebut ternyata tidak mendatangkan kebaikan
bagi Duwok. Buktinya, tiga hari setelah teguran Danres, Duwok
dijemput polisi dari rumah sakit. Anak janda itu kembali
menghuni kamar tahanan. Tuduhannya tetap mencuri. "Delapan puluh
persen persoalan sudah selesai, dan semuanya sudah dilaporkan ke
atasan," ujar Dansek Ngronggot Sumarno. Tidak bersedia bicara
banyak, Sumarno hanya menambahkan, "benar tidaknya bisa
dibuktikan nanti di pengadilan."
Bagaimana nasib Duwok selanjutnya masih dipertanyakan.
Jeritannya sama dengan yang diperdengarkan para pesakitan sejak
lama. Kalau saja pesakitan macam Duwok boleh didampingi
penasihat hukum di pemeriksaan, mungkin nasibnya akan lebih
baik--jauh lebih baik. Seperti yang dialami "penjahat" di bawah
ini.
Mula-mula ada seorang ibu yang sedang berbelanja di Pasar
Jembatan Lima didekati dua orang pengendara sepeda motor.
Sebelum ibu itu sadar apa yang akan terjadi, dompetnya yang
berwarna hitam telah melayang, disambar pengendara motor itu.
Gegerlah segera suasana pasar. Polisi turun tangan.
Keterangan yang didapat polisi di tempat kejadian sangat
sedikit. Seorang tukang rokok yang melihat kejadian tidak
semuanya mencatat nomor polisi kendaraan yang dipakai
penjahat. Hanya disebutkan, pelaku mempunyai ciri tahi lalat di
pipi sebelah kanan. Petunjuk lain berupa sebuah topi pet merah
sang bandit yang terjatuh ketika melarikan diri.
Dari keterangan saksi, yang dicocokkan dengan daftar residivis
yang ada di Kantor Kores Jakarta Barat, diketahui: penjahat
bernama Udin Belok, 27 tahun, penganggur. Alamatnya di
Kalipojok, RT 008/RW 05, Kelurahan Krendang. Tercatat, Udin
Belok baru 3 minggu keluar dari LPK Cipinang.
Hari itu juga Udin Belok ditangkap di rumahnya beserta barang
bukti Yamaha merah, dompet warna hitam milik korban dan ITP.
Udin Belok dibawa ke kantor polisi.
Ketika hendak diperiksa, tiba-tiba Udin nyeletuk minta
disediakan pembela. Polisi meneruskan permintaan itu ke Lembaga
Bantuan Hukum (LBH). Di sinilah ketika tersangka didampingi
penasihat hukumnya, suasana menarik terjadi. Dengan enaknya Udin
Belok mengangkat kaki dan duduk semaunya di depan meja polisi.
Sementara polisi mengajukan pertanyaan-pertanyaan, pengacara si
Udin terus-terusan melancarkan protes. Pemeriksaan berjalan
dan--tampaknya--pesakitan berada di atas angin.
Pemeriksaan selesai. Udin dengan sukarela menandatangani berita
acara pemeriksaan di bawah mata penasihat hukumnya yang
menasihatinya membaca berita acara itu terlebih dahulu. Polisi
memutuskan Udin harus ditahan. Tetapi, setelah 20 hari ditahan,
teman Udin belum juga tertangkap. Polisi terpaksa memintakan
perpanjangan penahanan dari penuntut umum. Jaksa menberi
selama 40 hari.
Tapi Udin Belok keberatan. Penasihat hukumnya mengurus agar
perkaranya diajukan ke pengadilan. "Prapengadilan" sidang.
Ternyata, berdasarkan bukti-bukti dan saksi-saksi, penahanan
terhadap Udin sah menurut hukum. Udin harus menerima putusan,
karena begitu aturannya, ia tak berhak meminta banding.
Berkas si Udin lalu dilimpahkan polisi ke kejaksaan. Jaksa, yang
bertulis sebagai penuntut umum, menyimpulkan: berkas perkara
Udin sudah cukup lengkap--polisi tak perlu melakukan penyidikan
ulang. Tersangka berikut barang bukti kejahatannya siap diajukan
ke pengadilan.
Belakangan Udin dijatuhi hukuman penjara satu setengah tahun.
Tak jelas, adakah ia menerima atau menolak putusan pengadilan
tersebut. Yang pasti, pengadilan berjalan lancar, karena hakim
tak harus mendengar keluhan terdakwa atau protes pembela sekitar
hasil pemeriksaan polisi--seperti hampir lazimnya terdengar.
Semuanya berjalan lancar--begitulah proses perjalanan perkara
pidana berdasarkan Hukum Acara Pidana yang akan datang yang
diperagakan Kepolisian (Kores) Jakarta Barat pertengahan bulan
ini Dan proses yang lancar tersebut, menurut Ketua Mahkamah
Agung Mudjono, boleh dihadapkan tak sekedar impian. "Karena",
seperti berulangkali diucapkan Mudjono, "akhirnya semuanya
terpulang kepada iktikad penyelengara negara kita ini . . ."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini