Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Latief Menunjukkan Jalan

Chalid Latief, dengan modal pengetahuan & keahlian menggambar yang diperolehnya di bangku SMA, mencoba memetakan kota Surabaya, setelah produksi pertama sukses ia bersama saudaranya dirikan CV. Pembina.(ils)

26 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAKTU turun di Stasiun Semut, Surabaya, Chalid Latif bingung. Setelah 3 tahun belajar di Kota Sala, arek Suroboyo ini harus lama termenung mencari jalan ke rumahnya. "Saya ini dilahirkan dan dibesarkan di Surabaya, tapi tiba-tiba buta jalan," katanya. Itu terjadi pada tahun 1950. Tapi dari pengalaman itu, ia mempunyai gagasan membuat peta. Dan berhasil. Dengan modal pengetahuan dan keahlian menggambar yang diperolehnya di bangku SMA, tahun 1950 itu juga ia mulai memetakan Kota Surabaya. Bisnis kecil-kecilan dirintis bersama saudaranya Ishom Latif di sebuah rumah tua, bilangan Peneleh Surabaya. Produksi pertama peta kota perjuangan itu laku keras. Inilah yang membangkitkan semangat kedua pemuda Peneleh itu terus membuat peta. Untuk itu ternyata keduanya bukan hanya jeli melihat lekuk liku daerah yang dipetakan. Mereka juga dapat cepat membaca "peta pemasaran"nya. Pada waktu itu, hanya Jambatan, yang pernah menerbitkan peta buatan Belanda. "Kalau orang Belanda bisa membuat peta, mengapa orang Indonesia sendiri tidak bisa?" kata Chalid Latif yang kini menjadi Direktur Utama PT Pembina Peraga. Selesai memetakan Kota Surabaya, Latif bersaudara mulai mencoba membuat peta daerah lainnya. Ternyata usahanya cepat mendapat sambutan. Departemen P&K adalah yang pertama kali memesan peta Indonesia berukuran 100 x 230 cm. Sejak itu pula, peta buatan Latif dikenal. Setelah 10 tahun, perusahaannya mekar. Pendirinya merasa perlu memasang nama pada setiap sudut peta yang dibuatnya, CV Pembina. Dan persis 20 tahun sejak bisnis peta itu dimulai, perusahaan berganti nama menjadi PT Pembina Peraga, berkantor pusat di Jakarta. Diekspor Kunci sukses Latif bersaudara ini ternyata bukan karena modal yang menumpuk. "Yang harus didahulukan adalah panjangnya akal," kata Chalid Latif. Artinya nama dan prestasi. "Uang dan keuntungan akan datang sendiri kalau sudah punya nama," katanya. Ternyata benar. Sekarang boleh dikatakan PT Pembina memonopoli pembuatan dan pemasaran peta maupun atlas tentang beberapa kota besar serta daerah provinsi di seluruh Indonesia. Begitu pula peta Indonesia, peta dunia dan peta untuk turis (tourist map). "Bahkan kami sudah mengekspornya . ke negara-negara ASEAN, Eropa, Amerika dan Australia," kata Latif yang lulus Fakultas Ekonomi UI itu. Dalam merencanakan peta atau gambar suatu daerah, PT Pembina selalu berhubungan dengan pemerintah daerah setempat. "Tapi biasanya kami membuatnya berdasarkan pesanan," kata Chalid. Tahap pertama, perusahaan mengirim beberapa petugas ke lapangan untuk mengumpulkan data dengan meminta sketsa (peta garis) suatu wilayah. Tapi tak jarang pula petugas-petugas itu selama beberapa hari harus tinggal di daerah-daerah yang akan dipetakan. Untuk melengkapi bahan, Pembina Peraga tak jarang membeli data dari berbagai pihak--terutama untuk memperoleh hasil pemotretan dari udara. Pihak-pihak itu antara lain Perusahaan Negara Areal Survey (Penas), Dinas Tatakota, Departemen Dalam Negeri, Ditjen Telkom, dan sumber luar negeri seperti Dinas Topografi-Belanda. Setelah semua data terkumpul, proses selanjutnya dikerjakan di kantor pusatnya, Jalan Panjaitan, Jakarta. Di sini dikerahkan 24 orang, terdiri dari 12 juru gambar, 4 orang untuk tugas reproduksi dan 8 orang bagian cetak. Para penggambar mula-mula membuat kerangka peta. Data-data terperinci--juga yang menurut pesanan -- dimasukkan. Tahap ini meliputi pula pemisahan warna, pembuatan relief untuk gunung, penempelan nama Jalan, kota dan sungai serta tanda-tanda lainnya. Gambar yang seluruh pembuatannya digarap dengan tangan itu, kemudian dipasang di bawah kamera besar merk Dai Nippon Screen untuk difoto. Hasil foto ini lalu dicetak pada plat sebelum diputar oleh roda-roda percetakan yang ada di Surabaya. Cepat Berubah Setelah melewati masa 20 tahun, Latief bersaudara telah mencetak tidak kurang dari 300 ribu peta dan 100 ribu atlas setiap tahun. Tahun ini PT Pembina harus membuat peta pesanan Pemda Aceh, Lampung, Kodya Tanjungkarang, Irian Jaya dan Departemen P8K. "Di luar pesanan, permintaan umum sangat besar," kata Chalid, "karena rupanya orang sudah mulai peta minded." Karena itu omzet Pembina semakin menggelembung. Tahun ini kira-kira Rp 250 juta. Di samping itu, sejak beberapa tahun lalu PT Pembina juga memelarkan usahanya, yaitu membuat dan berdagang alat-alat peraga bagi sekolah sekolah, sesuai dengan namanya: Pembina Peraga. Rupanya yang dinikmati keuntungan bisnis peta itu bukan hanya pemilik perusahaannya. Penghasilan karyawannya holeh dibilang lumayan. Juru gambar yang rata-rata tamatan SMA atau STM, setelah mendapat pendidikan khusus dari perusahaan itu, bisa mengantungi gaji bersih Rp 50 ribu. Thoha Denar, misalnya, kepala bagian penggambaran, bergaji Rp 100 ribu sebulan. "Memang kecil, tapi karena suasana kekeluargaan besar, kami senang bekerja di sini, " kata Thoha. Selain teliti, para pekerja juga harus lincah mengikuti perkembangan daerah yang dipetakan. "Membuat peta itu lama. Sedang perkembangan kota sering cepat sekali," kata Asisten Direksi Pembina Peraga, Sumasno, di Surabaya. Menyelesaikan sebuah peta bisa memakan waktu 5 bulan. "Sehingga kalau peta sudah jadi, kota besar seperti Surabaya dan Jakarta sudah berubah, hingga masih banyak kekurangan yang harus ditambahkan," tambah Sumasno. Karena itu setiap peta kota sewaktu-waktu harus diperbaharui. Contohnya, Surabaya: sejak 1969 sudah dipetakan sembilan kali. Menurut Sumasno, peta Kota Surabaya paling laris. Sekali cetak sebanyak 20 ribu buah dan habis dalam waktu kurang dari dua tahun. Arek Suroboyo itu kini juga sedang menyiapkan sebuah gedung bertingkat empat di Jalan Panjaitan, Jakarta, untuk kompleks percetakan, penerbitan, ruang gambar dan perkantoran. Namun Latif masih merasa usahanya hanya kecil-kecilan. "Sekedar membantu agar orang tidak buta jalan," katanya tersenyum lebar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus