WAKTU turun di Stasiun Semut, Surabaya, Chalid Latif bingung.
Setelah 3 tahun belajar di Kota Sala, arek Suroboyo ini harus
lama termenung mencari jalan ke rumahnya. "Saya ini dilahirkan
dan dibesarkan di Surabaya, tapi tiba-tiba buta jalan," katanya.
Itu terjadi pada tahun 1950. Tapi dari pengalaman itu, ia
mempunyai gagasan membuat peta. Dan berhasil.
Dengan modal pengetahuan dan keahlian menggambar yang
diperolehnya di bangku SMA, tahun 1950 itu juga ia mulai
memetakan Kota Surabaya. Bisnis kecil-kecilan dirintis bersama
saudaranya Ishom Latif di sebuah rumah tua, bilangan Peneleh
Surabaya. Produksi pertama peta kota perjuangan itu laku keras.
Inilah yang membangkitkan semangat kedua pemuda Peneleh itu
terus membuat peta.
Untuk itu ternyata keduanya bukan hanya jeli melihat lekuk liku
daerah yang dipetakan. Mereka juga dapat cepat membaca "peta
pemasaran"nya. Pada waktu itu, hanya Jambatan, yang pernah
menerbitkan peta buatan Belanda. "Kalau orang Belanda bisa
membuat peta, mengapa orang Indonesia sendiri tidak bisa?" kata
Chalid Latif yang kini menjadi Direktur Utama PT Pembina Peraga.
Selesai memetakan Kota Surabaya, Latif bersaudara mulai mencoba
membuat peta daerah lainnya. Ternyata usahanya cepat mendapat
sambutan. Departemen P&K adalah yang pertama kali memesan peta
Indonesia berukuran 100 x 230 cm. Sejak itu pula, peta buatan
Latif dikenal.
Setelah 10 tahun, perusahaannya mekar. Pendirinya merasa perlu
memasang nama pada setiap sudut peta yang dibuatnya, CV Pembina.
Dan persis 20 tahun sejak bisnis peta itu dimulai, perusahaan
berganti nama menjadi PT Pembina Peraga, berkantor pusat di
Jakarta.
Diekspor
Kunci sukses Latif bersaudara ini ternyata bukan karena modal
yang menumpuk. "Yang harus didahulukan adalah panjangnya akal,"
kata Chalid Latif. Artinya nama dan prestasi. "Uang dan
keuntungan akan datang sendiri kalau sudah punya nama," katanya.
Ternyata benar.
Sekarang boleh dikatakan PT Pembina memonopoli pembuatan dan
pemasaran peta maupun atlas tentang beberapa kota besar serta
daerah provinsi di seluruh Indonesia. Begitu pula peta
Indonesia, peta dunia dan peta untuk turis (tourist map).
"Bahkan kami sudah mengekspornya . ke negara-negara ASEAN,
Eropa, Amerika dan Australia," kata Latif yang lulus Fakultas
Ekonomi UI itu.
Dalam merencanakan peta atau gambar suatu daerah, PT Pembina
selalu berhubungan dengan pemerintah daerah setempat. "Tapi
biasanya kami membuatnya berdasarkan pesanan," kata Chalid.
Tahap pertama, perusahaan mengirim beberapa petugas ke lapangan
untuk mengumpulkan data dengan meminta sketsa (peta garis) suatu
wilayah. Tapi tak jarang pula petugas-petugas itu selama
beberapa hari harus tinggal di daerah-daerah yang akan
dipetakan.
Untuk melengkapi bahan, Pembina Peraga tak jarang membeli data
dari berbagai pihak--terutama untuk memperoleh hasil pemotretan
dari udara. Pihak-pihak itu antara lain Perusahaan Negara Areal
Survey (Penas), Dinas Tatakota, Departemen Dalam Negeri, Ditjen
Telkom, dan sumber luar negeri seperti Dinas Topografi-Belanda.
Setelah semua data terkumpul, proses selanjutnya dikerjakan di
kantor pusatnya, Jalan Panjaitan, Jakarta. Di sini dikerahkan 24
orang, terdiri dari 12 juru gambar, 4 orang untuk tugas
reproduksi dan 8 orang bagian cetak. Para penggambar mula-mula
membuat kerangka peta. Data-data terperinci--juga yang menurut
pesanan -- dimasukkan. Tahap ini meliputi pula pemisahan warna,
pembuatan relief untuk gunung, penempelan nama Jalan, kota dan
sungai serta tanda-tanda lainnya.
Gambar yang seluruh pembuatannya digarap dengan tangan itu,
kemudian dipasang di bawah kamera besar merk Dai Nippon Screen
untuk difoto. Hasil foto ini lalu dicetak pada plat sebelum
diputar oleh roda-roda percetakan yang ada di Surabaya.
Cepat Berubah
Setelah melewati masa 20 tahun, Latief bersaudara telah mencetak
tidak kurang dari 300 ribu peta dan 100 ribu atlas setiap tahun.
Tahun ini PT Pembina harus membuat peta pesanan Pemda Aceh,
Lampung, Kodya Tanjungkarang, Irian Jaya dan Departemen P8K.
"Di luar pesanan, permintaan umum sangat besar," kata Chalid,
"karena rupanya orang sudah mulai peta minded."
Karena itu omzet Pembina semakin menggelembung. Tahun ini
kira-kira Rp 250 juta. Di samping itu, sejak beberapa tahun lalu
PT Pembina juga memelarkan usahanya, yaitu membuat dan
berdagang alat-alat peraga bagi sekolah sekolah, sesuai dengan
namanya: Pembina Peraga.
Rupanya yang dinikmati keuntungan bisnis peta itu bukan hanya
pemilik perusahaannya. Penghasilan karyawannya holeh dibilang
lumayan. Juru gambar yang rata-rata tamatan SMA atau STM,
setelah mendapat pendidikan khusus dari perusahaan itu, bisa
mengantungi gaji bersih Rp 50 ribu. Thoha Denar, misalnya,
kepala bagian penggambaran, bergaji Rp 100 ribu sebulan. "Memang
kecil, tapi karena suasana kekeluargaan besar, kami senang
bekerja di sini, " kata Thoha.
Selain teliti, para pekerja juga harus lincah mengikuti
perkembangan daerah yang dipetakan. "Membuat peta itu lama.
Sedang perkembangan kota sering cepat sekali," kata Asisten
Direksi Pembina Peraga, Sumasno, di Surabaya. Menyelesaikan
sebuah peta bisa memakan waktu 5 bulan. "Sehingga kalau peta
sudah jadi, kota besar seperti Surabaya dan Jakarta sudah
berubah, hingga masih banyak kekurangan yang harus ditambahkan,"
tambah Sumasno.
Karena itu setiap peta kota sewaktu-waktu harus diperbaharui.
Contohnya, Surabaya: sejak 1969 sudah dipetakan sembilan kali.
Menurut Sumasno, peta Kota Surabaya paling laris. Sekali cetak
sebanyak 20 ribu buah dan habis dalam waktu kurang dari dua
tahun.
Arek Suroboyo itu kini juga sedang menyiapkan sebuah gedung
bertingkat empat di Jalan Panjaitan, Jakarta, untuk kompleks
percetakan, penerbitan, ruang gambar dan perkantoran. Namun
Latif masih merasa usahanya hanya kecil-kecilan. "Sekedar
membantu agar orang tidak buta jalan," katanya tersenyum lebar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini