Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TRESIA Silvia Wulandari, 54 tahun, tak pernah mempermasalahkan tubuh tambun anaknya. Sejak kecil, badan Eldian Rinaldi-nama anaknya-tergolong besar. Enam tahun lalu, saat Eldian duduk di bangku kelas III sekolah menengah pertama, berat badannya sudah 100 kilogram. "Badannya padat, jadi enggak terlalu kelihatan gemuk," kata Wulandari, Jumat pekan lalu.
Perempuan asal Jambi ini justru merasa khawatir saat badan anaknya kurusan. Tanpa diet atau olahraga, pada tahun yang sama, bobot anaknya menyusut sekitar 10 kilogram. "Dia juga seringngeluh, ’Mama, kok pusing ya’," ujarnya.
Cemas badan Eldian bermasalah, Wulandari membawanya ke dokter. Hasil pemeriksaan menunjukkan kadar gula darah puasanya lebih dari 500 miligram per desiliter (mg/dL). Padahal normalnya hanya80-100 mg/dl. "Saya kaget, benar setinggi ini?" ucapnya.
Vonis diabetes pun diterima Eldian. Wulandari curiga penyakit ini muncul gara-gara anaknya gemar mengkonsumsi minuman kemasan. Eldian mengakui, sejak dua tahun sebelum terdiagnosis diabetes, ia memang senang mengkonsumsi minuman manis dalam kemasan. "Kadang teh, kadang jus, sehari empat sampai lima kotak," ucap Eldian.
Eldian hanya satu di antara sekian banyak anak yang menderita diabetes. Dalam rangka Hari Diabetes Sedunia yang jatuh pada 14 November, kesehatan anak-anak penderita diabetes seperti Eldian ini menjadi bahasan di seminar Rumah Sakit Ibu dan Anak Bunda, Jakarta, 29 November 2017.
Menurut dokter spesialis anak konsultan endokrinologi anak, Andi Nanis Sachrina Marzuki, salah seorang pembicara dalam seminar ini, membiarkan anak menderita diabetes sama dengan membiarkannya meninggal lebih cepat. Komplikasi yang diakibatkan diabetes sangat mematikan, seperti penyakit jantung dan stroke. "Kemungkinan meninggal di usia di bawah 50 tahun lebih tinggi," tuturnya.
Namun, seperti diakui Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia Aman Pulungan, data jumlah penderitanya tak ada. Padahal tren angka penderita diabetes di dunia terus meningkat. Di Jepang, yang rutin memeriksa kadar gula darah lewat urine pada anak sejak 1975, dalam kurun waktu tiga dekade, jumlah penderita diabetes anak terus naik. Kejadiannya diperkirakan 3 dari 100 ribu anak setiap tahun dan jumlah anak usia sekolah menengah pertama 3-6 kali lebih tinggi ketimbang usia sekolah dasar. "Lebih dari 80 persen anak-anak dengan diabetes tipe 2 mengalami obesitas," kata Aman.
Soal anak obesitas ini pernah diteliti dokter Aman dan kawan-kawan pada 2012. Mereka meneliti 92 pelajar sekolah menengah pertama di Jakarta yang kelebihan berat badan. Dari hasil pemeriksaan, hampir 30 persen dari pelajar tersebut menderita hipertensi, 71 persennya mengalami acanthosis nigricans (salah satu tanda diabetes),dan 9 persen sudah impaired fasting glucose (gula puasa terganggu), salah satu gejala pradiabetes. "Belum diabetes, tapi hampir menjadi diabetes," ujarnya.
Meski datanya belum ada, menurut Nanis, perkiraan peningkatan penderita diabetes bisa dilihat dari jumlah anak yang kelebihan berat badan. Penelitian pada 2010 mencatat, sekitar delapan persen anak kelebihan berat badan. Angkanya naik menjadi 9,2 persen pada 2013, dan 11 persen pada 2016. Kalau ditambah dengan jumlah anak yang kegemukan sekitar 20 persen, "Satu dari tiga anak Indonesia kelebihan berat badan," katanya.
Diabetes terjadi ketika tubuh bermasalah dengan insulin, hormon yang membantu mengubah gula yang berasal dari makanan menjadi energi. Ketika tubuh tak memproduksi cukup insulin, gula menumpuk dalam darah. Jika dibiarkan, semua organ tubuh akan bermasalah.
Ada dua tipe diabetes yang bisa dialami anak: tipe 1 dan tipe 2.Diabetes tipe 1merupakan penyakit autoimun, yakni sistem kekebalan tubuh menyerang dan menghancurkan sel-sel pembuat insulin di pankreas. Akibatnya,insulin yang diproduksi tak cukup,atau malah pankreas tidak memproduksi insulin sama sekali.
Sedangkan diabetes tipe 2 terjadi karena pankreas tak memproduksi cukup insulin untuk mempertahankan kadar gula darah dalam batas normal. Atau karena sel-sel tubuh menjadi kurang peka terhadap insulin, yang dikenal dengan istilah resistansi insulin.
Sementara diabetes tipe 1 terjadi karena imun tubuh salah mengenali sel pembuat insulin, diabetes tipe 2 disebabkan oleh pola hidup yang tak dijaga. Asupan makanan tak seimbang dengan energi yang dikeluarkan sehingga menyebabkan obesitas.
Diabetes bisa dikenali dari gejalanya. Menurut Nanis, diabetes tipe 1 dan tipe 2 punya gejala yang sama. Orang tua mesti curiga kalau anak banyak minum, sering buang air kecil,dan banyak makan tapi tubuhnya malah menyusut. "Makannya banyak, enggak olahraga, tapi malah jadi kurus," ujarnya.
Tanda lain yang bisa dikenali adalah kulit berubah menjadigelap, tebal, dan seperti beludru pada bagian tubuh yang berkerut dan melipat seperti ketiak, selangkangan, dan leher. Dalam dunia kedokteran, ini dinamakan acanthosis nigricans.
Masalahnya, banyak orang tua luput memperhatikan gejala tersebut.Dokter spesialis anakNaomi EsthernitaFauzia Dewanto,yang berpraktik diunit perawatan intensifRumah Sakit Siloam Hospital Kebon Jeruk, Jakarta Barat, beberapa kali mendapat pasien anak yang menderita ketoasidosis, salah satu komplikasi diabetes.
Ketoasidosis adalah suatu kondisi ketika tubuh tak bisa mengolah gula darah karena insulinnya tak cukup.Sebagai pengganti gula darah, tubuh menggunakan lemak sebagai bahan bakar. Hasil proses tersebut adalah senyawa bersifat asam dengan jumlah cukup banyak bernama ketone, yang berbahaya bagi tubuh. "Saat dibawa ke sini, napasnya sudah cengap-cengap. Kalau terlambat, bisa koma, bahkan ’lewat’," katanya.
Selain ketoasidosis, ancaman komplikasi lain ada di depan mata. Jika kadar gula dalam darah tetap tinggi, lambat-laun kualitas pembuluh darah jadi jelek.Kadar gula darah tinggi itu pun menyebabkan kolesterol jahat (low density lipoproteinaliasLDL) lebih mudah menumpuk di dinding pembuluh darah sehingga mempersempit pembuluh darah.
Nutrisi dan oksigen yang diantarkan oleh darah jadi tak maksimal sampai ke organ. "Sehingga terjadilah komplikasi, seperti sakit jantung, stroke, gagal ginjal, kebutaan, gangguan saraf, dan amputasi," kata dokter spesialis penyakit dalam subspesialis endokrin, metabolik, diabetes, yang berpraktik di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan, Wismandari Wisnu.
Nah, agar semua kondisi ini tak terjadi, Nanis mewanti-wanti orang tua lebih memperhatikan kondisi anak. Orang tua tak bisa menghindari diabetes tipe 1 lantaran itu penyakit autoimun. Tapi, dalam kasus diabetes tipe 2, orang tua berperan besar mencegah anaknya mengidap penyakit ini.
Yang penting dilakukan, menurut Nanis, adalah mengontrol berat badan anak. Perkembangan anak bisa dipantau lewat kurva pertumbuhan anak sampai umur 18 tahun yang bisa diunduh di situs Badan Kesehatan Dunia (WHO).Kalau berat badannya melebihi batas ideal yang disebutkan kurva, orang tua mesti mulai berhati-hati. "Jangan bangga dengan anak gemuk. Membiarkan anak gemuk sama dengan membiarkan anak mati cepat," ujarnya.
Nur Alfiyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo