Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Sawah Produktif di Gambut Dangkal

Badan Restorasi Gambut mengembangkan sawah percontohan di lahan gambut dangkal. Butuh mitra perusahaan.

26 November 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAZIR Foead bersemangat menunjukkan foto-foto buah dan sayuran dari telepon seluler pintarnya. Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) itu bercerita tentang kesuksesan Ajung, petani dari Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, berkebun di lahan gambut.

"Ini jambu air sebesar tangan. Ini jambu Taiwan, di belakangnya itu kebun kacang tanah. Lemonnya, lihat, berkali lipat tangan saya," ujar Nazir sembari mengusap-usap layar ponselnya. "Bukan main, kita seperti tidak percaya kalau itu datang dari lahan gambut," katanya di sela diskusi panel Framework on Tropical Peatland Restoration di Hotel Menara Peninsula, Jakarta, awal November lalu.

Menurut Nazir, Ajung bereksperimen di lahan gambutnya selama 24 tahun. Ajung menggunakan abu serbuk kayu yang dibeli dari penggergajian. Abu bakar itu dicampur kotoran ayam dan ditebar di lahan gambut untuk menetralkan keasaman (pH) tanah. "Pak Ajung ini tertarik mencoba decomposer kami," tutur Nazir, bangga.

Decomposer yang dimaksud Nazir adalah cairan biang berisi bakteri pengurai yang dikembangkan di tetes tebu. Decomposer dan pupuk organik digunakan BRG di sawah percontohan di lahan gambut di Sebangau Kuala, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Karena dilanda kebakaran parah pada 2015, masyarakat di sana tak boleh lagi membakar lahan. Akibatnya, sawah mereka hanya bisa menghasilkan 70 kilogram gabah per hektare. "Tahun 2017 ini, kami memperkenalkan pembukaan lahan tanpa bakar dengan decomposer dan pemakaian pupuk organik. Panen Agustus lalu mendapatkan 4,5 ton per hektare," ujarnya.

Dari sisi biaya, decomposer juga terbilang lebih murah. Butuh empat botol untuk satu hektare. Setiap botol harganya Rp 50 ribu. "Bandingkan dengan pupuk kapur Dolomit yang biaya satu hektarenya Rp 800 ribu," kata Nazir. Penggunaannya juga mudah karena cukup disiram di lahan yang belum bersih dan dalam tiga minggu seluruh rebahan jerami terurai sendiri.

Nazir mengatakan banyak petani berminat setelah melihat keberhasilan sawah percontohan seluas hanya 2 hektare itu. Padahal sewaktu proyek ini dimulai banyak petani ogah-ogahan karena hanya kerja tanpa bayaran. "Biasanya masyarakat di sana panen 2-2,5 ton per hektare. Akan kami coba di desa lain dengan luas 100 hektare," ujarnya.

Untuk mengembangkan sawah 100 hektare itu, Nazir membutuhkan mitra perusahaan. Ia tertarik pada sistem pertanian bisnis terpadu Badan Usaha Milik Rakyat milik Luwarso di Pasirhalang, Sukaraja, Sukabumi, Jawa Barat, yang dikunjungi Presiden Joko Widodo pada awal September lalu. Tak hanya menggandeng petani menggarap 1.000 hektare sawah, Luwarso juga memiliki pabrik pengolahan beras dan mesin-mesin canggih.

Menurut Nazir, sudah ada investor yang berminat membuka lahan seluas 500 hektare dan akan mulai pada musim tanam mendatang. "Jika model bisnis ini berhasil, kami berharap bank akan tertarik sehingga perusahaan ini yang akan mengelola pinjaman bank itu," katanya.

BRG menargetkan 100 ribu hektare sistem pertanian bisnis terpadu ini terwujud di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Luasan itu sesuai dengan potensi lahan gambut dangkal yang bisa dioptimalkan menurut peta BRG, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Pekerjaan Umum di dua provinsi tersebut.

Cerita sukses Ajung dan sawah percontohan BRG di Sebangau Kuala itu membuktikan lahan gambut dangkal di kawasan budi daya juga dapat produktif. Penataan ulang pemanfaatan ekosistem gambut secara berkelanjutan untuk kepentingan ekonomi, sosial, dan ekologi menjadi sasaran ketiga BRG.

Menurut Nazir, dari 14,9 juta hektare lahan gambut di Indonesia, lebih dari separuhnya atau sekitar 55 persen dalam kondisi sudah terbuka dan berkanal. Seluas 12,9 juta hektare lahan gambut berada di tujuh provinsi, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua.

Dari tujuh provinsi tersebut, Riau, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Tengah mengalami kerusakan ekosistem gambut terparah. "Yang terparah karena luas lahan gambut yang sudah terbuka cukup besar," ujarnya.

Di Kalimantan Tengah, Nazir mencontohkan, rusaknya ekosistem gambut sebagai dampak Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektare. Peninggalan kanalnya besar-besar. Sedangkan di Riau, lebih dari separuh luas provinsi itu berupa gambut. Di sana juga banyak kebun sawit dan hutan tanaman industri besar.

Keberadaan kebun sawit dan perusahaan hutan tanaman industri di ekosistem gambut kawasan konservasi ini juga menjadi kepedulian Eyes on the Forest (EoF). Koalisi lembaga swadaya masyarakat bidang lingkungan ini didirikan World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia Program Sumatra Tengah, Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau pada 2004.

Pada Desember 2016, EoF menginvestigasi keabsahan lahan seluas 100.093 hektare yang meliputi 26 kebun kelapa sawit di Riau. Mereka menemukan akal-akalan perusahaan sawit untuk mengembangkan kebun sawit di kawasan hutan yang kemudian diubah peruntukannya menjadi kawasan bukan hutan.

"Perusahaan sawit sudah menduduki kawasan hutan itu jauh sebelum terbitnya Keputusan Menteri Kehutanan Tahun 2014 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan," tutur Editor EoF, Afdhal Mahyuddin.

Dengan menganalisis peta perubahan peruntukan hutan dan peta kawasan hutan, lalu membandingkannya dengan peta analisis tutupan lahan milik WWF, EoF menemukan kejanggalan. Lahan 26 kebun sawit itu memang di kawasan hutan yang telah diubah menjadi bukan hutan. Tapi citra Landsat memperlihatkan pola tutupan hutannya teratur. "Sewaktu kami cek ke lapangan memang sudah ada kebun sawit yang umurnya 6-20 tahun," kata Afdhal.

Menurut dia, ke-26 kebun sawit itu tidak termasuk 140 perusahaan yang memperoleh pelepasan kawasan hutan berdasarkan Buku Basis Data Spasial Kehutanan 2015. Artinya, mereka telah bertahun-tahun mengembangkan kebun sawit secara melanggar aturan.

Nazir menegaskan hanya lahan gambut di kawasan budi daya yang boleh ditanami. Pakar gambut Supiandi Sabiham pun sependapat. Menurut guru besar Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor itu, gambut yang berada di pusat atau kubah gambut dan yang ketebalannya lebih dari 3 meter harus dikonservasi. "Harus dikonservasi karena di kubah gambut itu merupakan sumber air. Sedangkan gambut yang di luar kubah tapi kedalamannya lebih dari 3 meter itu miskin unsur hara," ujarnya.

Menurut Supiandi, karakteristik gambut tropis seperti di Indonesia yang dominan dari kayu-kayuan cenderung menolak air atau hidrofobik. "Kalau kering cepat sekali airnya hilang. Berbeda dengan gambut subtropis yang dari rumput-rumputan, lebih menyerap air." Ia mengatakan kunci pengelolaan gambut adalah menjaga tinggi muka air tanah untuk mempertahankan kelembapan.

Nazir pun menegaskan pentingnya kesadaran pengusaha menjaga kubah gambut di lahan konsesinya agar uang yang diinvestasikan lebih terjamin pada musim kemarau. "Kalau kubah kering, tidak bisa menyuplai air saat kemarau sehingga berisiko tinggi terbakar. Kalau gambut terbakar kan semua menangis."

Dody Hidayat


Tugas Badan Restorasi Gambut
2.492.527 hektare gambut yang ditargetkan direstorasi.
1,4 juta hektare gambut berada di konsesi perusahaan.
1,150 juta hektare gambut berada di kubah gambut dalam.

Pekerjaan Rumah Restorasi
12.975.000 hektare gambut di 7 provinsi.
875.000 hektare gambut yang terbakar pada 2015.
2,8 juta hektare kubah gambut berkanal.
6,2 juta hektare gambut masih belum terbuka.
3,1 juta hektare gambut kawasan budi daya berkanal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus