TEKAD Asih sebetulnya sederhana saja. Perempuan 36 tahun ini ingin menyukseskan program Gebrak Malaria di desanya. Tanpa ragu dia minum pil klorokuin, obat malaria, sesuai dengan anjuran petugas puskesmas. Dosisnya 3-2-1: tiga pil di hari pertama, dua pil di hari kedua, dan sebutir pil di hari ketiga. ?Saya ingin memberi contoh pada warga di sini,? kata warga Desa Paripurno, Magelang, Jawa Tengah itu.
Namun, bukannya mencetak kisah sukses, Asih justru menuai musibah. Pada hari keempat, dia merasakan janin calon anak keduanya yang baru berusia enam bulan tak bergerak. Bidan Sumaryati, yang menangani Asih kala itu, tak bisa mendengar detak jantung si bayi. Asih pun segera dilarikan ke Rumah Sakit Bersalin Budi Rahayu di kota yang sama. Dan, datanglah kabar duka, sang bayi telah meninggal dan harus dikeluarkan dari rahim Asih.
Musibah akhir September itu pun memicu keheranan yang amat sangat. Sebelum minum klorokuin, Asih yakin, kondisi bayinya baik-baik saja. Sebagai kader pos pelayanan terpadu (posyandu), Asih mengaku cukup cermat memantau keadaan jabang bayi. Namun, men-dadak nyawa sang bayi melayang tanpa mengirim pertanda apa pun sebelumnya. Kenapa? Asih menduga keguguran ini terkait dengan Gebrak Malaria.
Gebrak Malaria yang hendak disukseskan Asih bermula pada pertengahan September lalu. Kala itu petugas Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah menyalurkan paket obat malaria klorokuin dan primakuin untuk delapan desa di Magelang. Maklumlah, wilayah kaki Bukit Menoreh ini termasuk daerah rawan malaria. Di desa Paripurno saja, tahun lalu terjadi 50 kematian akibat malaria. Walhasil, kawasan Bukit Menoreh pun menjadi salah satu target Gebrak Malaria, program yang April tahun lalu resmi dicanangkan secara nasional untuk mengerem laju malaria di seluruh Indonesia.
Singkat kata, para petugas puskesmas segera beraksi menyambut Gebrak Malaria. Pil malaria dibagikan ke sebagian besar penduduk Desa Paripurno dan tujuh desa yang lain. Anak-anak, dewasa, pria dan wanita, ibu hamil, yang sehat maupun yang sedang sakit, semua mendapat jatah pil klorokuin berwarna putih dan primakuin berwarna cokelat.
Di Desa Paripurno, petugas memukul rata dosis penggunaan tiga hari bagi segala kelompok umur: 3-2-1 untuk klorokuin dan 2-1-0,5 untuk primakuin. Tak ada penjelasan yang terperinci tentang manfaat dan efek samping obat. Petugas hanya menekankan, ibu hamil hanya boleh minum pil putih klorokuin. ?Ibu hamil tak boleh minum pil cokelat,? kata Asih.
Tak dinyana, terjadilah kepanikan. Hampir semua penduduk Desa Paripurno terserang mual, muntah, dan pusing yang hebat sesudah minum pil. Puncak kepanikan warga terjadi ketika Asih mengalami keguguran. Mereka menduga, musibah itu berkaitan dengan obat malaria yang dikonsumsi Asih.
Suasana panik juga muncul di Ngadiharjo, desa tetangga Paripurno. Siswa SD dan SMP ?mabuk? setelah minum obat yang dibagikan usai istirahat sekolah. Rohmiyati, siswi kelas 1 SMP Negeri 2 Ngadiharjo, misalnya, mengaku pusing dan mual sepuluh menit setelah minum obat itu. Ratusan teman Rohmiyati juga merasakan mual yang sama hingga sekolah terpaksa dibubarkan seb elum waktunya. ?Kami buang semua pil yang tersisa dan minum air kelapa untuk menetralkan rasa mual,? kata Rohmi.
Akhirnya, Gebrak Malaria di Bukit Menoreh mengundang perhatian anggota DPRD II Magelang. Dua pekan lalu, anggota dewan mengundang beberapa pihak, termasuk pejabat Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang. Kesimpulan sementara yang terungkap dari pertemuan itu, menurut Djatmiko, Ketua Komisi E DPRD Magelang, petugas sangat kurang memberi penjelasan mengenai manfaat dan efek samping pil malaria. Padahal, penjelasan yang cukup adalah kunci sukses program pemberantasan malaria.
Benarkah sesederhana itu? Sebetulnya persoalan utamanya lebih dari sekadar utang penjelasan. Syafruddin, Kepala Laboratorium Malaria di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, mengingatkan bahwa penanganan malaria semestinya berbasis pada bukti nyata. Artinya, petugas harus terlebih dahulu mencari kepastian dengan memeriksa darah pasien dengan mikroskop. ?Teknik ini sangat gampang dan bisa dilakukan petugas puskesmas,? kata Syafruddin. Bila darah pasien terbukti positif mengandung Plasmodium Sp.?parasit pemicu malaria yang tersebar melalui gigitan nyamuk?barulah pil klorokuin atau primakuin diberikan.
Pemberian pil itu pun harus disertai tindakan pemantauan. Gejala penyakit yang tak berkurang, misalnya tetap lemas, pusing, dan panas-dingin, harus dicermati. Sehari setelah minum klorokuin, darah pasien mesti diperiksa lagi untuk memastikan kondisi parasit. Jumlah parasit yang tidak kunjung turun menandakan bahwa parasit telah resisten atau kebal menghadapi klorokuin. Obat pun harus diganti dengan pil malaria jenis lain, yakni sulfadoxin pirimetamin. Bila tidak, ?Parasit tidak terbasmi, penyakit makin parah, dan jiwa pasien terancam,? katanya.
Fenomena resistensi parasit malaria, menurut dugaan Syafruddin, bisa menjelaskan keguguran yang menimpa Asih. Sangat mungkin Asih terinfeksi parasit malaria sebelum program Gebrak Malaria. Indikasinya, janin yang dikandung Asih hanya berbobot 500 gram atau kurang dari berat normal yang 1.000-1.500 gram untuk usia janin enam bulan. Tampaknya, parasit telah merusak sel darah merah Asih sehingga pasokan oksigen dan nutrisi untuk si bayi jauh terpangkas.
Sayangnya, petugas tidak memeriksa darah Asih?juga darah ratusan penduduk lainnya?sebelum memberikan tablet klorokuin. Petugas juga tidak memantau apakah parasit yang menginfeksi Asih telah kebal terhadap klorokuin. Akibatnya, boleh jadi malaria di dalam tubuh Asih justru berkembang pesat hingga akhirnya menewaskan si bayi. Jadi, Syafruddin yakin, bukan klorokuin, melainkan parasit malarialah yang telah menewaskan bayi Asih.
Lalu, bagaimana nasib penduduk yang sehat walafiat dan menenggak obat malaria? Orang sehat memang idealnya tidak membutuhkan klorokuin. Untuk tindakan preventif atau pencegahan, mereka yang sehat pun hanya perlu dua tablet klorokuin seminggu.
Syukurlah, tak ada ancaman serius bagi mereka yang telanjur minum tiga tablet klorokuin sehari sekaligus. Dosis tersebut masih dalam batas yang bisa ditoleransi tubuh. Namun, yang jauh lebih penting, obral obat pada orang sehat justru membuat parasit malaria makin kebal dan pandai berkelit dari serangan klorokuin. Nantinya, malaria jadi makin sulit dibasmi. Padahal dewasa ini parasit yang bermutasi makin kebal pun sudah menyebar luas di Indonesia dan akan terus bertambah kebal bila penggunaan obat tak terkendali. Jadi, pil malaria memang harus digunakan selektif. ?Jangan dihambur-hamburkan,? kata Syafruddin.
Mardiyah Chamim dan L.N. Idayanie (Magelang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini