Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH spanduk bertulisan “Never Forget, Never Forgive 135+” terbentang di lapangan Galapuri, Ciledug, Tangerang, Banten, Ahad, 1 Oktober lalu. Sore itu, bertepatan dengan satu tahun tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang di Malang, Jawa Timur, akan berlangsung pertandingan Tribun Kultur FC melawan Capital FC dalam lanjutan kompetisi Community Soccer League—liga bagi klub sepak bola alternatif—di lapangan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun Tribun Kultur FC memutuskan tidak bertanding. Mereka hanya bersalaman dengan para pemain lawan dan wasit. Tribun Kultur FC juga melakukan minutes of silent, mengheningkan cipta sejenak, bagi 135 korban jiwa di Stadion Kanjuruhan. “Ini sebagai bentuk penghormatan dan keberpihakan kami pada keluarga korban Kanjuruhan,” kata Ilham Hermansyah, perwakilan manajemen Tribun Kultur FC, kepada Tempo, Rabu, 8 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tribun Kultur FC adalah klub sepak bola alternatif dari Jakarta yang dikelola secara kolektif. Terbentuk pada Februari 2023, klub itu menjadi wadah bagi mereka yang menyukai sepak bola. Mereka kerap bermain sepak bola bareng. Dari situ terciptalah forum untuk menentukan masa depan Tribun Kultur FC, yang kemudian memiliki jargon “100% Fan Owned Football Club”.
Kemunculan Tribun Kultur FC sebagai klub alternatif dipicu beberapa faktor. Di antaranya kemuakan atas karut-marut pengelolaan sepak bola nasional yang bernaung di bawah federasi. Lalu aturan yang mengekang kebebasan berekspresi penonton di tribun stadion untuk merayakan sepak bola. Misalnya larangan menyalakan flare atau pyro party di dalam stadion serta membentangkan spanduk ihwal isu-isu tertentu.
Faktor lain adalah mahalnya harga tiket hingga akses yang terbatas untuk menonton pertandingan. “Banyak teman yang akhirnya muak dengan itu, capek dengan sepak bola yang seperti itu, yang memang sudah tidak sehat,” ujar Ilham.
Dengan sistem swakelola yang mengusung kebersamaan, Tribun Kultur FC juga sangat mementingkan transparansi dalam keuangan. Menurut Ilham, keterbukaan informasi mengenai keluar-masuknya uang menjadi nilai yang harus dipercaya untuk menciptakan ekosistem yang sehat. Setiap bulan, pengelola klub itu membuka laporan keuangan kepada publik. Secara detail, mereka mencatat pengeluaran untuk sewa lapangan, pembelian air mineral, hingga biaya keperluan kompetisi.
Untuk membiayai pengoperasian klub, Ilham mengungkapkan, mereka menjual aneka merchandise, seperti kostum pemain atau jersei. Apabila sedang bertanding, Tribun Kultur FC juga menerapkan sistem pembelian tiket dengan harga terjangkau, Rp 5.000-10.000. “Itu termasuk zine yang kami buat,” tutur Ilham.
Hingga kini Tribun Kultur FC sudah mempunyai susunan pemain hingga staf kepelatihan. Menurut pelatih kepala klub tersebut, Diego Mandela, urusan taktik dan permainan diserahkan sepenuhnya kepada staf kepelatihan. Termasuk metode latihan hingga model sepak bola mereka. “Itu semua setelah kami mendapat delegasi dari manajemen dan suporter untuk menangani tim,” kata Diego.
Perjalanan klub tersebut mengalami pasang-surut. Di awal kompetisi Community Soccer League, mereka mendapati serangkaian hasil minor: sulit menang, paling bagus seri. Dalam sepak bola kolektif, suporter bisa melayangkan kritik atas buruknya permainan klub kesayangan mereka. Bahkan sempat digelar forum antara pemain, staf kepelatihan, suporter, dan manajemen untuk mencari solusi bersama. “Di situ indahnya klub ini, ketika ada kritik, ya ada forum yang digelar,” tutur Diego.
Muhammad Rafif, salah satu pemain, menemukan pengalaman baru selama berseragam Tribun Kultur FC. Asas perkawanan yang dibangun, keterbukaan, serta kesetaraan membuat Rafif bisa merayakan sepak bola secara utuh bersama klub. “Seru dan bangga menjadi bagian dari tim ini,” ucap Rafif.
•••
KLUB sepak bola alternatif juga muncul di sejumlah kota lain di Tanah Air. Boleh dibilang, kemunculan mereka tak lepas dari ideologi punk football, subkultur sepak bola di Eropa, yang menolak kapitalisasi dan berupaya mengembalikan sepak bola sebagai hiburan rakyat.
Salah satu klub alternatif yang mengadopsi semangat punk football tersebut adalah Riverside Forest di Bandung, Jawa Barat. Ada dua klub alternatif di Eropa yang menjadi rujukan Riverside Forest, yakni St. Pauli (Jerman) dan United of Manchester (Inggris).
Berdiri pada Desember 2021, Riverside Forest terbentuk secara spontan dan iseng. Berawal dari permintaan sponsor sebuah klub bola ke pembuat pakaian pria berlabel Prung Terraceswear, muncul gagasan untuk membuat klub bola sendiri. “Kata anak Prung, daripada sponsorin klub lain, mending bikin klub sendiri,” ujar Shamroog, 30 tahun, Director of Football Riverside Forest, kepada Tempo, Kamis, 9 November lalu.
Nama Riverside Forest terinspirasi dari kondisi kontur geografis Bandung yang dilintasi aliran sungai dan masih memiliki hutan kota. Sementara itu, nama kelompok suporter Birds Death Brigade atau brigade burung kematian terinspirasi dari julukan dan nama band Moscow Death Brigade dari Rusia.
Klub yang didirikan dan dikelola para suporter ini juga terbentuk karena ada jarak antara pendukung dan tim sepak bola lokal profesional. Para pendiri kemudian merancang agar klub punya ciri khas. Misalnya ikut mengkampanyekan isu tertentu dan desain timnya bisa mewakili Bandung sebagai kota kreatif.
Di awal pendirian, manajemen merancang logo serta kostum pemain atau jersei. Sukses menggondol gelar juara, Riverside Forest dipromosikan ke Bandung Premiere League. Namun langkah mereka terhenti karena dilarang ikut oleh penyelenggara liga.
Alasannya, pada masa pandemi 2022 itu, penonton yang datang mendukung Riverside Forest di Bandung Champion League terhitung banyak sehingga dinilai melanggar ketentuan pembatasan jumlah penonton. Paling sedikit, jumlah penonton yang hadir 800 orang. Saat pertandingan sore atau malam, jumlah penonton bisa lebih dari 1.000 orang.
Selain itu, pendukung dinilai melanggar aturan karena menyalakan flare begitu pertandingan selesai. Tidak hanya dilarang ikut liga, mereka terkena denda Rp 2,5 juta. Setelah sidang banding digelar, mereka harus membayar Rp 500 ribu. “Kami bayar dengan uang receh pecahan Rp 200 dan Rp 500,” kata Shamroog.
Pemain Rainfall FC dalam laga kandang mereka di Bogor, Jawa Barat, 25 Agustus 2023/Dok Rainfall FC
Riverside Forest berjalan tanpa beban target harus berjaya dengan predikat juara. Mereka cukup senang menjadi tim underdog sambil menyampaikan isu tentang sepak bola di tingkat lokal hingga global. Misalnya larangan tim ikut liga amatir dan larangan tim nasional Rusia tampil di turnamen internasional oleh Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA).
Selain dilarang ikut liga, mereka sulit mengakses izin kepolisian untuk menggelar pertandingan serta tempat latihan yang harga sewanya mahal. Mereka harus mencari lapangan bola di sekitar Kota Cimahi, Jawa Barat, yang umumnya milik institusi militer. Harga sewanya terhitung lebih murah, tapi terkadang jadwal latihan harus berganti karena lapangan dipakai tentara untuk berlatih menembak.
Pada Oktober lalu, Riverside Forest memutuskan ikut berlaga di kompetisi Liga 3 yang digelar Asosiasi Provinsi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia Jawa Barat. Keputusan itu sesuai dengan hasil voting lewat akun media sosial yang melibatkan 1.010 suara anggota Birds Death Brigade. Sebanyak 656 orang atau 65 persen ingin klub menjadi anggota federasi dan mengikuti liganya.
Riverside Forest juga membuat laporan keuangan secara terbuka di akun media sosial klub. Untuk pendanaan, klub mengandalkan donatur dan hasil penjualan merchandise tim yang dibeli para suporter. “Selain itu, dari kencleng (kotak donasi) seikhlasnya,” tutur Uban, 30 tahun, pengurus Birds Death Brigade.
Sejauh ini, pemain klub tidak ada yang dibayar. Namun ada jatah konsumsi dan penginapan setiap kali mereka bertanding. Manajemen pun mengupayakan penyediaan perlengkapan pemain, pelatih, dan ofisial, seperti kostum, sepatu, dan jaket. Manajemen juga selama ini tidak dibayar. Mereka baru membayar pelatih sesuai dengan syarat dalam Liga 3.
•••
KEHADIRAN Riverside Forest sebagai klub alternatif rupanya memantik sekumpulan anak muda di Bogor, Jawa Barat, membuat klub serupa. Tepat pada 7 Januari 2023, terbentuklah klub bernama Rainfall FC. Klub ini sebagian besar diinisiasi oleh anak-anak muda yang mempunyai latar belakang sebagai pencinta klub lokal.
Semangat yang mereka usung tidak muluk-muluk, yakni sepak bola damai. “Football for all, sepak bola untuk semua,” kata Fathungs, 20 tahun, dari media officer Rainfall FC, kepada Tempo, Kamis, 9 November lalu.
Sebagai agenda perdana, Rainfall FC berlaga melawan klub asal Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Pertandingan itu berlangsung di Stadion Pajajaran, Kota Bogor, pada 15 Januari lalu. “Kami nekat awalnya,” ucap Ketap, 22 tahun, dari manajemen dan pengembangan klub Rainfall FC. Seluruh pembiayaan untuk sewa lapangan dan lainnya menerapkan sistem patungan. Bahkan mereka juga menjual tiket dengan harga terjangkau yang nanti diberikan untuk keperluan Rainfall FC.
Kegiatan yang digagas Rainfall FC berlanjut pada laga persahabatan yang melibatkan dua klub alternatif lain, yaitu Riverside Forest dan Urbanside Collective Football. Sebagai tuan rumah, Rainfall menggelar kegiatan tersebut di Stadion Mini Kabupaten Bogor pada 26 Februari lalu.
Pertandingan tersebut digelar dengan konsep trofeo—dimainkan lebih dari dua tim dalam satu waktu. Setiap klub akan bertanding dalam durasi 20 menit. Menurut Fathungs, ada sekitar 600 orang yang hadir dalam acara tersebut.
Yang menarik, rivalitas kedaerahan yang selama ini terjadi di kompetisi profesional seakan-akan nihil di lapangan Stadion Mini itu. Rivalitas klub yang bertanding hanya sebatas 90 menit di lapangan. Di tribun stadion, meski awalnya terjadi saling lempar nyanyian, ujung-ujungnya para suporter tetap menjalin kebersamaan. “Kan, tidak lucu juga sepak bola kolektif ujung-ujungnya berantem,” tutur Ketap.
Belum lama ini Rainfall FC berkolaborasi dengan band Ibu Kota, Morfem. Bersama Jimi Multhazam dan kawan-kawan dari Morfem, Rainfall FC membuat seragam bola dengan tulisan “Morfem” pada bagian depan. Tentu ini menjadi salah satu cara yang mereka lakukan untuk membiayai Rainfall FC.
Selain menciptakan kultur sepak bola untuk semua, Rainfall FC ingin membuka ruang yang aman dalam sepak bola. Pasalnya, rivalitas dan sentimen kedaerahan yang selama ini terbangun di dunia sepak bola di Tanah Air telah menciptakan banyak sekat. “Rainfall menjadi wadah baru. Jadi lo enggak usah takut menonton sepak bola. Kami ingin menciptakan ruang aman,” ucap Neillose, 23 tahun, koordinator Der Troops, kelompok suporter Rainfall FC.
Sejumlah pemain dan pendukung Urbanside Collective Football di Bekasi, Jawa Barat, 8 April 2022/Dok Urbanside Collective Football.
Klub sepak bola alternatif lain yang turut mengusung konsep kolektivitas adalah Urbanside Collective Football dari Bekasi, Jawa Barat. Klub ini terbentuk dari kumpul-kumpul yang dilakukan oleh sekelompok anak muda di kawasan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Bantargebang, Bekasi, pada 22 Januari lalu. Mereka yang rata-rata memiliki latar belakang buruh dan penganggur yang hidup pas-pasan itu ingin menikmati hidup dengan cara mereka sendiri. “Kami ingin mengisi kekosongan ruang untuk bersenang-senang dalam kekacauan hiruk-pikuk kota urban,” tutur perwakilan Urbanside, Aries Ediwan, dalam jawaban tertulis kepada Tempo, Jumat, 10 November lalu.
Aries mengatakan sejauh ini Urbanside tidak mengikuti liga layaknya Tribun Kultur FC ataupun Riverside Forest. Pertandingan yang mereka jalani hanya laga persahabatan. Bersama Rainfall FC, misalnya, Urbanside pernah mengikuti pertandingan kolektif, seperti Mayday Collective Football di Bandung, dan menjadi tuan rumah pergelaran Collective Football for Dago Elos. “Masih belajar juga, dari mulai buat pertandingan, buat agenda sosial, keuangan, merchandise, dan lain-lain,” ujarnya.
Saat ini Urbanside masih menjadi laboratorium untuk belajar bersama-sama. Dengan asas perkawanan, inisiatif antarindividu, dan skill yang biasa saja, sejak awal mereka tidak mempunyai keinginan menjadi klub profesional. Seperti kebanyakan klub sepak bola alternatif, Urbanside berkolektif untuk menggerakkan roda klub. Prinsipnya sama: mengedepankan komunikasi sebelum mengambil keputusan.
Menurut Aries, satu hal penting dari terbentuknya Urbanside sebagai klub sepak bola alternatif adalah memangkas kebosanan hidup di kota urban. “Dengan membuat klub alternatif, cara itu cukup ampuh,” kata Aries.
Selain itu, Aries menambahkan, menonton sepak bola di tribun stadion sudah tidak bebas dan pengelolaan liga di bawah naungan federasi masih bobrok. Hal ini memantik lahirnya Urbanside sebagai klub alternatif. “Urbanside adalah ikhtiar kami untuk bereksperimen menemukan alternatif di tengah-tengah kondisi ketiadaan alternatif,” tutur Aries.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Anwar Siswadi dari Bandung dan Adi Warsono dari Bekasi berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Wadah Alternatif Merayakan Sepak Bola"