Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Mereka menjual rumah

Lokasi para transmigran di semoi-sepaku, kal-tim, kurang memenuhi syarat. para transmigran tidak puas dengan janji-janji yang tidak sesuai dengan kenyataan. pernah terjadi wabah penyakit, 58 orang meninggal.

14 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA transmigran yang menempati lokasi Semoi-Sepaku (Kalimantan Timur) terbilang kurang beruntung. Terutama yang ada di lokasi Semoi. Ketika mereka baru saja datang di sana 10 bulan lalu, wabah penyakit melanda. Dalam waktu dua bulan saja 58 orang meninggal. Diduga akibat malaria. " Untungnya berita itu baru didengar wartawan enam bulan kemudian sehingga tidak menghebohkan," ujar Nouhin, anggota DPRD Kalimantan Timur. Pihak Kanwil Transmigrasi setempat tampaknya dengan mudah melokalisir berita itu. Sebab lokasi yang letaknya jauh di tengah hutan itu memang tidak mudah dijangkau orang luar. Apalagi kalau hari hujan, orang yang bertandang ke sana dengan mobil, bisa-bisa tiga hari baru bisa keluar -- sebagai mana dialami wartawan TEMPO yang "terjebak" di lokasi itu pertengahan September lalu. "Sekarang sudah tidak ada yang sakit lagi. Waktu itu kita memang tidak tahan dengan udara yang sangat dingin dan basah," ujar Slamet, transmigran dari Malang. Lokasi ini termasuk paling besar di propinsi ini. Penghuninya sekitar 11.000 jiwa dan masih akan ditambah lagi. Para transmigran umumnya kaget juga menghadapi alam yang masih baru-antara lain akibat janji-janji yang tidak sesuai dengan kenyataan. Tanah 2 Ha yang dijanjikan (separo disediakan dan separonya lagi harus menebang sendiri) misalnya tidak bisa segera mereka tanami. "Selama tiga bulan kita masih harus membersihkan dulu karena masih banyak pohon yang malang melintang," ujar seorang transmigran yang takut disebut namanya. Dimarahi Mengapa takut? "Soalnya ada anggota kami yang kirim surat ke Jawa menceritakan keadaan di sini lantas dimarahi," keluhnya. Akibatnya, para transmigran yang akan berkirim surat ke Jawa sekarang harus melalui kantor transmigrasi. "Kami heran kok mereka tahu isi surat kami. Apa dibuka ya?" tanya transmigran tadi. Menurut ketentuan dalam perjanjian pemborongan, satu hektar tanah di sekitar rumah transmigran harus bersih dari pohon-pohon. Kenyataannya transmigran harus membersihkan sendiri. "Anehnya pihak transmigrasi kok mau menerima penyerahan lokasi dari pemborongnya," ujar transmigran tadi. Untuk menyiapkan lokasi itu, sesuai dengan hasil tender, disediakan anggaran Rp 170.000/Ha. Tapi dari pihak pelaksana (yang rupanya sudah tangan keempat) mengerjakannya hanya dengan Rp 25.000/Ha. Dengan demikian sebagian besar anggaran jatuh ke tangan kontraktor dan sub-sub kontraktor. Karena itu, para transmigran tidak bisa segera bercocok tanam. "Kalau kami datang langsung bisa menanam mungkin kami tidak kebingungan lagi setelah jatah dari pemerintah habis sebulan lagi ini," kata transmigran asal Jawa Tengah "Sekarang ini kami benar-benar bingung. Kalau jatah dari pemerintah habis apa yang kami makan," katanya. Jatah itu memang akan habis bulan Nopember ini. Tapi kebun mereka belum bisa menghasilkan makanan yang berarti. Pulang Saja Hampir semua transmigran sekarang ini baru bisa menghasilkan singkong. Celakanya harga singkong pun merosot keras menjadi Rp 100/karung. "Itu pun kalau ada yang mau datang ke sini," ujar Ny Slamet. "Kita sendiri tidak sanggup menggendong singkong 8 Km hanya laku Rp 100," katanya lagi. Apalagi jalan tidak bisa dilalui kalau lagi hujan. Lombok hasil mereka yang juga cukup banyak, juga tidak laku. Banyak pohon lombok yang dibabat begitu saja dan dibuang. Imanuddin, transmigran kader dari Karawang yang belum mempunyai anak juga cemas menghadapi habisnya jatah ini. "Kita usulkan untuk diperpanjang, tapi belum ada jawaban," katanya. Di belakang rumahnya, masih tampak hutan yang lebat. Dia tidak mau mengerjakan karena merasa itu tugas pemborong. Bahkan Imanuddin sudah menawarkan rumah dan tanahnya dengan harga Rp 100.000. Ketika ada yang menawar Rp 50.000 ia menurunkan harga lagi menjadi Rp 75.000. "Untuk pulang ke Karawang," katanya. Beberapa rumah lagi, kini juga ditawarkan, semua untuk ongkos pemiliknya pulang ke Jawa. "Transmigran tidak mungkin menjual rumah," jawab Syarifudin Astin Kepala Kanwil Transmigrasi Kal-Tim kepada TEMPO. "Dalam waktu 10 tahun rumah itu baru boleh dioperkan," tambahnya. "Tapi baiklah kita cek dulu," katanya lagi. Menurut Astin hanya beberapa transmigrasi yang sulit diurus. "Mereka ini umumnya dari DKI Jakarta. Bahkan sudah 2 orang yang kami usir," katanya lagi. Rumah serta tanah itu dijual dengan harga Rp 100. 000 memang sangat merugikan. "Biaya pembangunan rumahnya saja sudah Rp 250.000 dan penyiapan lokasinya Rp 170.000." ujar seorang pemborong.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus