PARA transmigran yang menempati lokasi Semoi-Sepaku (Kalimantan
Timur) terbilang kurang beruntung. Terutama yang ada di lokasi
Semoi. Ketika mereka baru saja datang di sana 10 bulan lalu,
wabah penyakit melanda. Dalam waktu dua bulan saja 58 orang
meninggal. Diduga akibat malaria. " Untungnya berita itu baru
didengar wartawan enam bulan kemudian sehingga tidak
menghebohkan," ujar Nouhin, anggota DPRD Kalimantan Timur.
Pihak Kanwil Transmigrasi setempat tampaknya dengan mudah
melokalisir berita itu. Sebab lokasi yang letaknya jauh di
tengah hutan itu memang tidak mudah dijangkau orang luar.
Apalagi kalau hari hujan, orang yang bertandang ke sana dengan
mobil, bisa-bisa tiga hari baru bisa keluar -- sebagai mana
dialami wartawan TEMPO yang "terjebak" di lokasi itu
pertengahan September lalu.
"Sekarang sudah tidak ada yang sakit lagi. Waktu itu kita memang
tidak tahan dengan udara yang sangat dingin dan basah," ujar
Slamet, transmigran dari Malang. Lokasi ini termasuk paling
besar di propinsi ini. Penghuninya sekitar 11.000 jiwa dan masih
akan ditambah lagi.
Para transmigran umumnya kaget juga menghadapi alam yang masih
baru-antara lain akibat janji-janji yang tidak sesuai dengan
kenyataan. Tanah 2 Ha yang dijanjikan (separo disediakan dan
separonya lagi harus menebang sendiri) misalnya tidak bisa
segera mereka tanami. "Selama tiga bulan kita masih harus
membersihkan dulu karena masih banyak pohon yang malang
melintang," ujar seorang transmigran yang takut disebut
namanya.
Dimarahi
Mengapa takut? "Soalnya ada anggota kami yang kirim surat ke
Jawa menceritakan keadaan di sini lantas dimarahi," keluhnya.
Akibatnya, para transmigran yang akan berkirim surat ke Jawa
sekarang harus melalui kantor transmigrasi. "Kami heran kok
mereka tahu isi surat kami. Apa dibuka ya?" tanya transmigran
tadi.
Menurut ketentuan dalam perjanjian pemborongan, satu hektar
tanah di sekitar rumah transmigran harus bersih dari
pohon-pohon. Kenyataannya transmigran harus membersihkan
sendiri. "Anehnya pihak transmigrasi kok mau menerima penyerahan
lokasi dari pemborongnya," ujar transmigran tadi. Untuk
menyiapkan lokasi itu, sesuai dengan hasil tender, disediakan
anggaran Rp 170.000/Ha. Tapi dari pihak pelaksana (yang rupanya
sudah tangan keempat) mengerjakannya hanya dengan Rp 25.000/Ha.
Dengan demikian sebagian besar anggaran jatuh ke tangan
kontraktor dan sub-sub kontraktor.
Karena itu, para transmigran tidak bisa segera bercocok tanam.
"Kalau kami datang langsung bisa menanam mungkin kami tidak
kebingungan lagi setelah jatah dari pemerintah habis sebulan
lagi ini," kata transmigran asal Jawa Tengah "Sekarang ini kami
benar-benar bingung. Kalau jatah dari pemerintah habis apa yang
kami makan," katanya. Jatah itu memang akan habis bulan Nopember
ini. Tapi kebun mereka belum bisa menghasilkan makanan yang
berarti.
Pulang Saja
Hampir semua transmigran sekarang ini baru bisa menghasilkan
singkong. Celakanya harga singkong pun merosot keras menjadi Rp
100/karung. "Itu pun kalau ada yang mau datang ke sini," ujar Ny
Slamet. "Kita sendiri tidak sanggup menggendong singkong 8 Km
hanya laku Rp 100," katanya lagi. Apalagi jalan tidak bisa
dilalui kalau lagi hujan. Lombok hasil mereka yang juga cukup
banyak, juga tidak laku. Banyak pohon lombok yang dibabat begitu
saja dan dibuang.
Imanuddin, transmigran kader dari Karawang yang belum mempunyai
anak juga cemas menghadapi habisnya jatah ini. "Kita usulkan
untuk diperpanjang, tapi belum ada jawaban," katanya. Di
belakang rumahnya, masih tampak hutan yang lebat. Dia tidak mau
mengerjakan karena merasa itu tugas pemborong. Bahkan Imanuddin
sudah menawarkan rumah dan tanahnya dengan harga Rp 100.000.
Ketika ada yang menawar Rp 50.000 ia menurunkan harga lagi
menjadi Rp 75.000. "Untuk pulang ke Karawang," katanya. Beberapa
rumah lagi, kini juga ditawarkan, semua untuk ongkos pemiliknya
pulang ke Jawa.
"Transmigran tidak mungkin menjual rumah," jawab Syarifudin
Astin Kepala Kanwil Transmigrasi Kal-Tim kepada TEMPO. "Dalam
waktu 10 tahun rumah itu baru boleh dioperkan," tambahnya. "Tapi
baiklah kita cek dulu," katanya lagi. Menurut Astin hanya
beberapa transmigrasi yang sulit diurus. "Mereka ini umumnya
dari DKI Jakarta. Bahkan sudah 2 orang yang kami usir," katanya
lagi. Rumah serta tanah itu dijual dengan harga Rp 100. 000
memang sangat merugikan. "Biaya pembangunan rumahnya saja sudah
Rp 250.000 dan penyiapan lokasinya Rp 170.000." ujar seorang
pemborong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini