Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Hujan emas di negeri orang

Kisah sukses buruh indonesia di malaysia, karena mereka rajin dengan upah murah. setelah punya harta mereka pulang. dan ada juga yang nasibnya sedih. (sd)

27 Februari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUARA penyanyi Hetty Koes Endang terdengar dari rumah panggung di celah-celah perkebunan karet. Sejumlah rumah menghiasi ruang tarnunya dengan wayang kulit dari miniatur rumah Toraja. Di halaman samping beberapa rumah terlihat kawatak, kain tenun khas Timor, tengah dijemur. Sepintas, suasana kompleks perkebunan karet Borneo Abaca Ltd (BAL) Estate di dekat Tawau, Sabah (Malaysia) itu mirip perkampungan buruh perkebunan di Sumatera Utara. Bedanya, buruh asal Indonesia di perkebunan karet BAL itu terlihat lebih makmur. Rantai emas melilit leher hampir setiap gadis dan ibu rumah tangga. Tape recorder, radio dan relevisi berwarna mudah dijumpai di setiap rumah. Bahkan video tape, yang di Indonesia masih dimiliki kalangan terbatas, sudah memasuki beberapa rumah orang yang lebih mampu. "Mana mungkin anak saya bisa menjadi orang kalau cuma menjadi buruh perkebunan di Indonesia," kata Tawi bin Talitia, 56 tahun, kepada TEMPO. Lelaki tua yang meninggalkan kampungnya, Mattirowal di Mare, Bone, Sul-Sel sejak 1956 itu, memang boleh menepuk dada. Dari 6 orang anaknya, dua menjadi guru SD di Tawau, seorang bekerja pada perpustakaan Desa Semporna, sekitar 50 km dari Tawau--sementara 2 anaknya yang lain masih duduk di SD. Anaknya yang sulung hampir tamat Fakultas Komunikasi Geografi Universiti Kebangsaan Selangor. Dari tetesan keringatnya menderes (menakik) karet, Tawi juga bisa menyekolahkan adik iparnya sampai tamat IKIP di Ujungpandang. Selepas sembahyang subuh, pukul 06.00 ia sudah siap di bawah pohon karet dengan pisau deres dan dua tong kaleng. Tugas menakik karet hanya dilakukan sampai pukul 12.00. Gajinya 9,2 ringgit (sekitar Rp 2.750) sehari atau 239 ringgit sebulan dengan 26 hari kerja. Tapi Tawi--juga kebanyakan buruh dari Indonesia yang memburu duit--sering lembur sampai pukul 14.00 atau lebih. Tarif lembur satu jam 1,34 ringgit. Dengan begitu sebulan paling tidak ia bisa mengantungi 300 ringgit. "Dengan hidup hemat, sebulan kami cukup mengeluarkan uang 150 ringgit untuk sekeluarga," katanya. Tabungannya bertambah besar terutama karena untuk menyekolahkan anak-anaknya Tawi tak perlu mengeluarkan biaya. "Di Sabah tak perlu membayar uang sekolah. Bahkan anak-anak mendapat jatah susu, pakaian, buku dan lain-lain," tambahnya. Ia cuma menyediakan uang transpor dan uang jajan. Niat mencari duit di negeri orang itu timbul karena Tawi sulit mencari nafkah di kampung halamannya. Apalagl musibah melanda keluarganya ketika gerombolan Kahar Muzakkar membakar rumah dan mengangkut harta benda Tawi. Dengan bekal pas-pasan, 1956 Tawi, bersama beberapa temannya, menyeberang ke Tarakan di Kalimantan Timur lewat Pare-pare dengan perahu kecil. Dari Tarakan mereka terus ke Nunukan, pulau kecil di perbatasan Kal-Tim dan 8abah. Dari sini mereka menyusup Tawau dengan perahu selama 4 jam. Sampai di Tawau segala macam pekerjaan diterimanya mencuci piring, menjaga keamanan dan kemudian memburuh di perkebunan karet. Setelah diterima sebagai buruh perkebunan, ia mendapat perumahan sederhana. Seketika itu pula ia menjemput istri dan anak-anaknya. "Ini prestasi yang lumayan, 23 tahun bertahan sebagai penderes karet," kata Tawi. Jika telah bekerja 25 tahun, ia berhak menikmati pensiun berupa pesangon 1.200 ringgit. Untuk hari tuanya, kecuali mengharap kiriman anaknya yang sudah bekerja, Tawi juga berniat mengolah sawah di kampung kelahirannya yang telah ia beli beberapa tahun lalu. Bagi buruh di Bal Estate agaknya tidak terlalu penting mengejar karir mencari kedudukan yang lebih tinggi. "Kami hanya mencari duit," kata Kia Tkan, 45 tahun, lelaki asal Adonara, Flores. Jabatannya mandor di perkebunan Bal. Di tangan kirinya melingkar arloji merk Omega, hadiah pimpinan perusahaannya. "Semua buruh yang telah mengabdi selama 25 tahun terus menerus mendapat penghargaan sebuah Jam tangan Omega," katanya kepada TEMPO di rumahnya, Kampung Mawar, Tawau. Bertugas sebagai penderes sejak 1956, sejak 10 tahun lalu ia menjadi mandor. SEHARUSNYA Kia sekarang sudah berhak menjadi staf perkebunan. Tapi jenjangnya terhambat karena ia hanya memegang identity Card (ID) berwarna merah. Artinya, Tokan tetap memegang paspor Indonesia. Tapi ia sudah mendapat izin tinggal di Malaysia. "Banyak mandor lebih muda, tapi bisa naik karena memegang kartu biru atau menjadi warga negara Malaysia," katanya. Sebenarnya gampang saja bila Tokan ingin mengajukan permohonan jadi warga negara setempat, karena ia sudah lama tinggal di sana. Tapi "sampai sekarag saya belum mau. Saya dilahirkan di kampung dan mau mati di kampung saya saja." Risikonya ia harus puas dengan jabatan mandor. "Jabatan paling tinggi untuk warga negara Indonesia cuma mandor," tambahnya. Dan sebagai mandor ia mengawasi 80 buruh. Gaji sebulan 424 ringgit plus mendapat rumah berukuran 8 x 6 meter. Sedang istrinya, Isah, wanita asal Madura. juga membantu suaminya dengan bekerja di tempat penitipan bayi di areal perkebunan itu upahnya 6 ringgit sehari. "Dua tahun sekali kami pulang kampung," kata wanita yang gemerlapan dengan gelang dan kalung emas itu. Untuk persiapan hari tua, Tokan telah membeli 5 hektar kebun kelapa dan 3 ekor kerbau di Adonara. Dua anaknya kini, duduk di SD dan dua lagi di SlTP Tawau. Berbeda dengan buruh-buruh yang dimandorinya, Tokan bekerja dari pukul 06.00 sampai 13.00. Perusahaan juga menjaminnya dengan asuransi: santunan 7.000 ringgit bila ia meninggal selama bertugas. Pengobatan seluruhnya ditanggung perusahaan. "Selama sakit kami masih tetap mendapat gaji penuh," kataya. Walau buruh dipikat dengan berbagai jaminan dan gaji cukup tinggi, mereka tidak diikat oleh perjanjian kerja. "Begitu kami sampai di sini, langsung disuruh bekerja," kata Abdul Gafar, 29 tahun. Pemuda asal Sanggalia, Maros, Sul-Sel ini, masuk kebunkaret di Bal Estate 9 Maret 1981. "Pokoknya setiap bulan menerima gaji." Gaji yang dikantunginya sekitar 300 ringgit sebulan. Tabungannya cepat membengkak karena istrinya, Nuraini, juga ikut bekerja sebagai penyemprot hama dengan gaji 5,65 ringgit sehari. Suami-istri Gafar meninggalkan karnpung halaman dengan modal Rp 200.000. "Itu untuk mengurus surat-surat, termasuk paspor dan makan selama perjalanan. "Modal itu sekarang sudah kembali." Dia merencanakan, membeli sawah di kampungnya dari uang tabungan. "Kalau sudah punya sawah dan tabungan, saya akan pulang saja." Perkebunan ternyata bukan satu-satunya sumber penghidupan orang Indonesia yang merantau di Malaysia. Suryani, 54 tahun, sebulan bisa menerimaupah 400 ringgit sebagai babu Restoran Tomato di Tawau. Makan dan tempat tinggal untuk janda asal Malang Ja-Tim ini sepenuhnya ditanggung majikannya. Sebagai babu, ia bisa membiayai sekolah 4 anaknya yang ia tinggalkan di Malang: tiga orang di SMA dan yang sulung kuliah di sebuah perguruan tinggi di Malang. "Setiap bulan saya kirim 150 ringgit untuk biaya anak-anak," katanya. Lain halnya dengan Yani, 21 tahun. Wanita berkulit hitam manis ini mengeruk duit melalui kamar Hotel Angs di Tawau. Ia memang seorang pelacur. Sejak mengenal Sabah dua tahun lalu, Yani sebulan sekali bisa pulang kampung di Jawa Timur untuk menengok anak tung galnya dan orang tua sekaligus memperpanjang visa. Jam kerja ia tentukan sendiri. Bahkan tarif juga diputuskan sendiri, 100 ringgit tiap tarnu. "Sehari bisa menerima 6 tamu," katanya kepada TEMPO. Hasil bersih sehari bisa 300 ringgit. "Enaknya, di sini saya tak perlu malu seperti di Malang," katanya, tertawa lebar. Hujan duit di negeri orang memang memikat orang yang lagi sulit mencari rezeki di negeri sendiri. Aisyiah, 25 tahun, wanita dari Desa Moroangin, Kecamatan Maiwa.Fnrekang, Sul-Sel, terpikat pula mengadu nasib di Sabah, menyusul saudaranya yang sudah agak lama mendahului. Modalnya: uang tunai Rp 15. 000 dan surat jalan dari lurah. Tentu saja ia terhambat untuk melintas perbatasan karena tidak punya paspor. "Untuk mengurus paspor perlu duit banyak," ujarnya. Selama masih di Nunukan, ia mencari duit dengan bekerja sebagai penjual karcis bioskop. Setelah menangguhkan niatnya menyeberang ke Sabah selama 13 bulan, Aisyiah berhasil mengumpulkan Rp 30.000. Pertengahan 1976 semua surat yang diperlukan sudah di tangan. Ia menyeberang dan menuju Tawau. Pekerjaan pertama yang diperolehnya menjual karcis bioskop dengan gaji 100 ringgit. Dan saat itulah ia bertemu dengan Udding, pemuda asal Desa Wattae, Pancalautang, Sidrap, Sul-Sel, buruh kebun kelapa sawit di Apasbalung, Tawau. Tahun itu pula mereka menikah. Tidak lama kemudian, pasangan muda ini angkat kaki dari Tawau. Dari uang tabungan ,mereka menyewa tanah 2 hektar seharga 200 ringgit selama satu musim (4 bulan). Semangat mereka untuk berwiraswasta dikembangkan di sini. Tanah yang disewa dari penduduk asli itu ditanami cikui atau semangka. "Ketika itu di sini orang belum ada yang menanam cikui," kata Aisyiah kepada TEMPO. Keruan saja, setelah panen, semangka dari kebunnya laku keras. Mereka berhasil mengeruk uang sekitar 6.000 ringgit (Rp 1,8 juta). Dari uang panen semangka-Udding bertambah semangat. Ia menyewa 10 hektar lagi. "Tapi untungnya sekarang tidak sebanyak dulu, karena sudah banyak orang yang menanam cikui, kata Aisyiah. Hidupnya makmur. Setahun sekali mereka pulang kampung. AISYIAH sendiri memang kelihatan gemerlapan dengan emas yang menghiasi leher, tangan, jari dan kakinya. Untuk mengurus 10 hektar kebunnya ia mempekerjakan 10 buruh dengan gaji masing-masing 200 ringgit sebulan. Aisyiah sudah punya 8 hektar sawah dan sebuah rumah mungil di kampung asal. "Saya tetap akan pulang kampung kalau sudah punya modal," katanya. Cerita sukses orang Indonesia mencari nafkah di negeri orang ini punya daya tarik yang besar bagi orang di Sul-Sel, Nusa Tenggara Timur dan juga Sumatera. Untuk memenuhi keinginannya, sering calon buruh itu menyerahkan bulat-bulat nasibnya kepada perantara atau calo yang memang secara teratur mengirim buruh ke Malaysia. Yayah, 30 tahun, misalnya. Pemuda asal Kirikan Jambi ini terdampar di Tawau lewat calo. Orangtuanya sebenarnya mengirimnya ke Yogyakarta untuk kuliah di IAIN -- 1977. Tapi setelah tingkat III ia kandas: orangtua tidak mampu mengirim biaya. Setelah luntang-lantung di Yogya, awal 1981 ia berangkat ke Tarakan untuk dapat menembus Tawau. Di Tarakan ia mengumpulkan bekal dengan menjahit pakaian sekaligus nguping bagaimana caranya masuk Malaysia. Ia menghubungi Haji Mustafa yang sering mengirim buruh ke sana. "Semua surat sudah dibereskan calo itu," katanya. Sesampainya di Tawau, ia langsung ditugasi menebas rumput di perkebunan kelapa sawit. Sarjana muda IAIN ini cukup puas dengan pekerjaannya sebagai buruh kasar bergaji 6,90 ringgit sehari. Cuma sialnya, sebelum mulai bekerja ia mesti meneken utang 380 ringgit, yaitu biaya mengurus paspor serta biaya keberangkatannya ke Tawau. "Utang itu harus dicicil setiap bulan 50 ringgit. Sebelum lunas, paspor ditahan Pak Haji," katanya. Akhir tahun lalu pangkatnya meningkat menjadi tukang deres karet. Sebulan ia bisa mengantungi 400 ringgit. Cita-citanya sederhana. Setelah uang terkumpul, ia pulang kampung untuk membuka usaha kecil-kecilan. "Ijazah kami tak laku di perkebunan karet ini," katanya. Aaslinya Sukma Permana -- Tapi pemuda Tanjungpinang _ itu berganti nama Yusuf bin Yunus setelah berada di Malaysia "Supaya terasa lebih Melayu," katanya. Ijazah memang tidak pernah digaetnya. Namun ia punya keahlian membuat tembok. Ketika di Tanjungpinang, upahnya Rp 1.500 sehari. Ini lumayan untuk hidup sebagai bujangan. Tapi pemuda berusia 25 tahun itu tergiur juga akan cerita teman-temannya yang baru pulang dari Malaysia. Di seberang sana, upah tukang batu 25 ringgit sehari atau Rp 7.000. Dengan speed boat Yusuf bersama 10 temannya menyusup ke Johor Lama, sebuah kampung di sebelah tenggara Negara Bagian Johor. Taikong, atau calo, yang membawanya dari tanah air, langsung menyerahkannya kepada seorang penadah, orang Malaysia. Seminggu mereka disembunyikan di sebuah bangsal buruk di kebun karet. Tapi cita-citanya untuk jadi tukang batu ouyar setelah ia dilempar ke perkebunan kelapa sawit di Felda (The Federal Land Development Authority) Air Tawar V. "Apa boleh buat. Daripada kelaparan," katanya kepada TEMPO di Johor. Setiap hari ia menanam kelapa sawit dengan upah 0,10 ringgit sebatang. Sehari penuh kadang-kadang bisa mengumpulkan 10 ringgit. Dari menancapkan bibit kelapa sawit, ia lantas banting stir. Walau belum pernah membawa truk, ia nekat minta pekerjaan sopir. Setiap hari Yusuf mengangkut kelapa sawit dari kebun sampai pabrik sejauh 50 km. Gajinya lumayan, 18 ringgit sehari. Pekerjaannya berganti-ganti Dari sopir truk, sopir traktor sampai buruh di pabrik bata. Dan setelah 2 tahun mengembara di Malaysia kini ia menjadi pemborong pembangunan rumah murah di Sungai Mas, Kota Tinggi Johor. Bahkan Yusuf, yang sudah fasih berbahasa setempat, kini mempekerjakan 30 huruh yang sebagian besar dari Indonesia. Ia kelihatan mentereng dengan mobil yang dibelinya 7.000 ringgit. Tempat makannya pun di restoran Desaru Holiday, tempat rekreasi mewah di ujung Tenggara Johor. "Biar kalah sabung, asal menang sorak," katanya tertawa lebar. Tapi tidak semua orang Indonesia yang memburu duit di Malaysia bernasib baik. Sebagian besar, sekitar 75%, bekerja di perkebunan kelapa sawit, karet, cokelat dan kopi. Selebihnya sebagai buruh pada proyek pembangunan jalan, konstrulesi dan lain-lain. "Betapa pun uletnya bekerja, seorang buruh di kebun kelapa sawit sehari paling banter cuma mendapat 20 ringgit," ujar M.Nur, 32 tahun, kepada TEMPO di perkebunan swasta Johore Silica Estate, sekitar 100 km dari Kota Tinggi, Johor. Orang muda asal Bengkalis Riau ini memang sudah bertekar mengadu nasib di Malaysia. "Kalau di kampung, menjadi buruh, mengangkat batu segala, malu," katanya. Di perkebunan kelapa sawit Nur bertugas sebagai penyemprot hama. Jam kerja dari 7.00 sampai 13.00. Upahnya 11 ringgit sehari. Dan kalau hujan terus-menerus, para buruh tetap mengurung diri di barak. Artinya tidak mendapat duit. "Praktis penghasilan cuma untuk makan," katanya. Biasanya ia bisa mengumpulkan uang 300 ringgit sebulan. Tempat tinggalnya yang disediakan perusahaan lumayan. Sebuah rumah beton dua kamar. Setiap kamar dipakai bersama 7 orang. Pakaian kumal untuk bekerja di kebun kelihatan bergelantungan di samping rumah. Setiap bulan ia bisa menabung 150 ringgit, sisa biaya hidup. Seorang buruh berpengalaman dan trampil sehari bisa mengumpulkan 200 tandan kelapa sawit. Tapi Thamrin, 20 tahun, pemuda asal Lombok, baru di perkebunan itu melihat kelapa sawit. Sehari paling banter ia cuma berhasil menurunkan 40 tandan atau mendapat 5 ringgit. "Untuk bayar utang saja tidak cukup," katanya. Karena itu ia memilih pekerjaan lain, menyemprot hama. Mulanya Thamrin memang - tergoda ke Malaysia oleh ajakan orang lain, yang menjanjikan bahwa dia akan bisa menabung Rp 1 juta setahun di Negri itu. Tertarik oleh janji muluk, Thamrin meminta semua perhiasan ibunya untuk dijual. Dengan modal Rp 150 ribu ia diberangkatkan seorang calo lewat Tanjungpinang menuju Malaysia. Karena sudah kepalang basah, Thamrin tidak mundur. "Biar menjadi umpan nyamuk, saya teap bertahan," katanya. Gangguan utama di tengah hutan kelapa sawit itu memang nyamuk. Tapi ia toh sempat bangga, karena mempunyai tabungan 1000 ringgit setelah bekerja setahun. Dengan uang simpanan itu Desember lalu ia pulang kampung menengok ibunya yang tengah sakit. TAPI yang membuat para buruh yang masuk seca tidak sah gelisah adalah razia polisi. Suryani, 18 tahun, terdampar di Malaysia karena ikut suaminya yang bekerja di Felda Air Tawar III. Wanita Bugis yang baru 3 bulan kawin itu bekerja menanam bibit dan memotong pelepah kelapa sawit. Sehari bisa mendapat 12 ringgit. Suatu hari, perutnya berontak karena memang sudah hamil tua. Ia memberanikan diri pergi ke rumah sakit Kota Tinggi untuk memeriksakan perutnya. Belum sempat mendapat pertolongan, dua polisi mendatanginya. Ia ditangkap dengan tuduhan hamil di luar perkawinan dan pendatang haram. Suryani berusaha meminta maaf dan mengeluarkan isi dompetnya untuk menyogok polsi agar dibebaskan. Ia tetap diperiksa. Surat nikah ia tunjukkan. Tapi tuduhan sebagai pendatang haram tetap dijatuhkan. Polisi membebaskan, dengan perintah segera meninggalkan Malaysia. "Perut sudah begini sakit, mana mungkin berangkat," katanya. Ia kembali ke perkebunan, dan dua hari kemudian lahirlah anaknya yang pertama di barak. "Saya tidak kembali ke rumah sakit. Takut ditangkap lagi," katanya. Karena dikejar-kejar polisi sebagai pendatang haram, setelah bayinya berumur 5 bulan, Suryani dan suaminya meninggalkan Malaysia. "Inilah harta yang kami bawa pulang," katanya pada TEMPO di Johor Lama, sesaat sebelum masuk perahu menuju Batam di tengah hujan lebat. Ia menunjukkan bayinya yang dibungkus kain, melangkahkan kaki, mengakhiri petualangan sebagai pendatang haram.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus