Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Secangkir Inspirasi di Studio Kopi Ndaleme Eyang Solo

Di Solo, Studio Kopi Ndaleme tak hanya menyuguhkan kopi, tapi juga membuat pelatihan soal kopi dan membuka diskusi tentang budaya dan film.

14 Desember 2018 | 11.53 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Solo - Sejak buku fiksi Filosofi Kopi karya Dewi Lestari terbit pada 2006, kemudian diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama pada 2015 dan 2017, kedai-kedai kopi terus bermunculan dan memikat para pecinta kopi baru. Namun, tidak sedikit pula kedai yang akhirnya tumbang karena ketatnya persaingan dalam konsep dan strategi pemasaran yang hampir seragam.
"Kalau cuma nyari kedai yang instagrammable buat ngopi sambil selfie, di Kota Solo ini sudah luar biasa banyak. Tapi kalau mau ngopi sambil diskusi, tambah teman baru, saling berbagi inspirasi, saya baru nemu di sini," kata Farhan, salah satu pelanggan di Studio Kopi Ndaleme Eyang, saat ditemui Tempo pada Rabu malam, 12 Desember 2018.
 
Farhan adalah pegiat film indie yang malam itu menghadiri program screening Layar Padhang Bulan, salah satu agenda rutin yang diselenggarakan Studio Kopi Ndaleme Eyang di Jalan Pajajaran Timur 1 No.10, Kelurahan Sumber, Kecamatan Banjarsari, Kota Solo. Layar Padhang Bulan malam itu memutarkan film fiksi pendek Bunyi Hujan Di Atas Genting karya Krisna L Salya yang diadaptasi dari cerpen Seno Gumira Ajidarma. 
 
Selain sering memutar film-film indie, Studio Kopi Ndaleme Eyang yang baru diluncurkan pada Maret 2018 itu juga memiliki sejumlah agenda rutin bulanan yang tidak kalah seru. Di antaranya adalah Ngopi Senja, dan Apresiasi Karya. Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah, dua seniman muda di bidang sastra dan musik - anak penyair Wiji Thukul, belum lama ini juga melantangkan karya mereka yang sarat kritik kepada penguasa di Studio Kopi yang berjarak sekitar 1,5 kilometer di selatan kediaman keluarga Presiden Joko Widodo ini.
 
 
Studio Kopi Ndaleme Eyang adalah kepanjangan tangan dari Studio Kopi Sang Akar di Tebet, Jakarta Selatan, yang didirikan pada 2014. Dua studio kopi tersebut merupakan salah satu unit usaha untuk mendukung keberlangsungan Sanggar Anak Akar, sekolah otonom di Jakarta Timur yang telah mendidik ratusan kaum marginal sejak didirikan pada 1994. 
 
Di Studio Kopi Ndaleme Eyang yang buka tiap hari itu, pengunjung dapat menjelajahi beragam cita rasa kopi arabika dan robusta yang diperoleh langsung dari petani lokal di Jawa Tengah, seperti kopi Sindoro, Lawu, Klaten, dan lain-lain. Harga per cangkir kopi segar yang diseduh secara manual itu hanya berkisar Rp 13 ribu hingga Rp 15 ribu. Ditemani sejumlah menu camilan lokal yang harganya juga terjangkau, pengunjung bisa bersantai di kedai berarsitektur rumah adat Jawa minimalis itu dari pukul 16.00-24.00. 
 
"Mirip dengan Studio Kopi Sang Akar di Jakarta, Studio Kopi di Solo ini konsepnya memang menyediakan ruang bagi teman-teman pegiat seni budaya dari mana saja. Mulai dari komunitas film fiksi, film dokumenter, sastra, musik indie, dan lain-lain," kata pengelola Studio Kopi Ndaleme Eyang, Yoseph Heriyanto.
 
Selain menjadi wadah bagi para pecinta seni dan budaya untuk saling bertemu dan berbagi, Studio Kopi Ndaleme Eyang juga mempunyai satu program kegiatan yang jarang dimiliki kedai kopi lain, yaitu Kelas Literasi Kopi. Kegiatan semacam workshop yang mengulas hal ihwal kopi itu diselenggarakan oleh Baracik Muda Indonesia, komunitas peracik kopi nusantara yang mana Yoseph juga sebagai salah satu pendirinya. 
Suasana di Studio Kopi Ndaleme Eyang di Kelurahan Sumber, Kota Surakarta. Tempo/Dinda Leo Listy
 
Workshop kopi dengan jumlah peserta terbatas, maksimal 20 orang, itu telah tiga kali  diselenggarakan pada Maret, September, dan terakhir pada 8 - 9 Desember lalu. Hanya dengan berkontribusi Rp 100 ribu per orang untuk makan siang, makanan ringan, dan kopi selama dua hari pelatihan, para peserta akan mendapatkan beragam materi mulai dari sejarah kopi, cara mengolah kopi pascapanen, hingga teknik seduh manual. 
 
"Setelah ikut Kelas Literasi Kopi, sebagian peserta mulai merintis kedai sendiri. Ada yang kedainya di belakang kampus UNS, belakang kantor Samsat Solo, ada juga yang di kota Klaten," kata Yoseph. 
 
 
Tidak lantas dibiarkan bergerak sendiri, para peserta pelatihan itu juga masih mendapat pendampingan selama setahun dari Studio Kopi Ndaleme Eyang, mulai dari strategi pemasaran hingga dalam hal tata kelola manajerial. "Bersyukur kalau ilmu yang kita miliki bisa bermanfaat buat orang lain. Nggak perlu takut tersaingi, toh nanti mereka akan menemukan pasarnya sendiri," kata Yoseph.  
 
DINDA LEO LISTY
 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus