Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Hipertensi terjadi saat tekanan darah sistolik di atas 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik di atas 90 mmHg. Penyakit ini sering disebut sebagai pembunuh senyap karena tanpa keluhan tetapi bisa tiba-tiba menyebabkan serangan jantung atau stroke.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Tekanan darah tinggi atau hipertensi kini juga umum dialami generasi milenial, khususnya yang berusia 22-40 tahun. Penyebabnya antara lain stres karena beban pekerjaan dan kurang bergerak. Demikian menurut spesialis jantung dan pembuluh darah dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI), Badai Bhatara Tiksnadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Gaya hidup lebih tidak aktif, WhatsApp bisa setengah jam hingga satu jam, lebih banyak stres karena tuntutan pekerjaan, beban pekerjaan yang terus bertambah jadi bagian dari hidup sehari-hari," ujarnya.
Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan 34 persen orang dewasa di Indonesia atau berusia di atas 18 tahun mengalami hipertensi. Angka ini naik dibandingkan 2013, yakni 14,5 persen. Selain tuntutan pekerjaan, COVID-19 juga menjadi penyebab generasi milenial, yang lahir 1981-1996, stres dan berisiko terkena hipertensi.
Data sebuah studi menunjukkan sekitar 92 persen milenial berpikir COVID-19 bisa mengganggu kesehatan mental. Di sisi lain, makanan, terutama tinggi garam, gorengan, jeroan, minuman beralkohol, kegemukan, dan merokok pun menjadi penyebab sekaligus faktor risiko, termasuk kalangan milenial, terkena hipertensi.
"Makanan (gorengan dan jeroan) ini kalau sudah ada sulit ditolak dan saat makan tidak menyesal, maka hindarilah. Makan ini banyak di populasi, gorengan, apalagi jeroan," tutur Badai.
Hal senada diungkapkan Ketua Yayasan Jantung Indonesia (YJI), Esti Nurjadin. Menurutnya, kenaikan prevalensi hipertensi di kalangan milenial antara lain disebabkan gaya hidup dengan level stres tinggi, tingginya konsumsi minuman beralkohol, merokok, konsumsi garam, gula, dan lemak, serta kurang bergerak.
"Selain stres pekerjaan, mereka berada dalam usia sudah berkeluarga yang sudah punya anak, bekerja juga harus menjadi guru di rumah. Stres bertambah dengan adanya COVID-19, tidak bisa bersosialisasi seperti sebelumnya," kata Esti.
Tetapi, apabila generasi milenial sudah terlanjur menerapkan gaya hidup tak sehat lalu melakukan modifikasi seperti berhenti merokok, maka bisa berdampak positif pada kesehatan.
"Kalau berhenti setelah rutin merokok, efek rokok pulih baru 10-15 tahun sehingga tidak bisa hilang karena terakulumasi menyebabkan perubahan di paru-paru, beberapa kadang irreversible. Tetapi kalau dilakukan lebih awal, kerusakan tidak seberat yang lebih lama, jangan pernah ditunda tobatnya," tutur Badai.
Badai mengatakan hipertensi baru bergejala bisa sudah berat atau merusak organ penting macam jantung dan ginjal, seperti pusing, sesak, berdebar, buang air kecil sedikit, hingga nyeri dada.