Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Setelah jago menggantung raket

Minarni, juara nasional berturut-turut tahun 1959-1967 & memboyong "uber cup" 1975 kemudian menikah, & hidup sebagai pembina & pelatih bulu tangkis.(sd)

26 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MULYADI alias An Tjing Siang, bekas pemain bulutangkis nasional, sekarang sudah terbilang kaya. Ia memiliki sebuah rumah besar di Jember. Ia juga sudah mampu memberi hadiah rumah kepada kedua orangtuanya yang masih tinggal di Surabaya. Tapi jangan lupa, semua itu bukan karena bulutangkis. "Saya sekarang jadi kontraktor," katanya kepada TEMPO "sekarang saya pensiun jadi pemain bulutangkis, karena usia semakin tua dan stamina menurun, mau apalagi sekarang kalau nggak cari hidup. Saya sudah sadar selagi stamina saya tangguh disanjung penggemar bulutangkis, mumpung belum diremehkan orang, cepat-cepat saya mundur dari dunia yang paling saya cintai ini." Jadi Makelar Benarkah Mulyadi sudah tua? Usianya baru 37 tahun. Kawin pada 1974 dengan seorang wanita yang sudah jadi pacarnya selama 15 tahun. Sekarang ia dikaruniai dua orang yunior. Pada 1974 ia menggondol juara nasional untuk pertama kalinya. Setelah itu berturut-turut ia menunjukkan reputasinya dengan gigih, baik di kandang maupun di negara orang lain. Pada 1973, ia melihat raketnya mulai memberat, lalu digantungkannya selama-lamanya. Mulyadi sekarang mungkin sudah terlalu tua sebagai seorang pemain. Tetapi ia mencintai bulutangkis bukan main. Baginya tidak berlaku pepatah "habis manis sepah dibuang" -- karena ia segera putar haluan. "Saya ingin jadi pelatih yang baik," katanya waktu menggantungkan raketnya. Menurut pengakuannya pada TEMPO, kendati pun ia sibuk cari makan untuk membiayai keluarga dan rumahnya yang besar itu, bulutangkis tak akan ditinggalkannya -- sampai ia meninggal. Sebagai bekas juara, Mulyadi menyimpan kenang-kenangan yang menyenangkan. Ia mendapat hadiah yang lumayan banyaknya, baik dari pemerintah maupun pengagum-pengagumnya. Toh ia berusaha untuk tetap punya kerjaan -- katanya risih kalau tak bekerja. Mulyadi ini memang menghargai kerja. Betapa tidak, ia sudah mengorbankan studinya gara-gara bulutangkis. "Sejak kecil saya keranjingan bulutangkis, makanya meneruskan sekolah rasanya tidak mamptl," katanya mengenangkan. Sejak kecil ia sudah punya lapangan bulutangkis yang terawat apik, di desa kelahirannya (Rambipuji, 10 km dari Jember). Untung saja pilihan itu berbuah. Pada 1973 ia menentukan kemenangan Indonesia di Jakarta. Ketika ia mencukur Svend Pri yang secara luar biasa berhasil mengalahkan Rudy Hartono sebelumnya. Kemenangan Mulyadi yang gemilang. Setelah pensiun sebagai pemain, Mulyadi mencoba hidup jadi makelar mobil bekas. Waktu itu ia mengalami banyak duka. "Orang mengira jual beli mobil bekas banyak untung, salah-salah rugi lho," ujarnya mengenangkan. Karena lubang itu mapet, pasaran lesu, Mulyadi mencari lubang lain. Di sinilah bulutangkisnya mulai lagi berguna. Ia banyak kenalan "orang-orang atasan" di Pemda Jember. "Mereka sahabat dan murid saya," kata Mulyadi. Dari mereka-mereka itulah Mulyadi kemudian mendapat "tcnder". Tan Yoe Hok alias Hendra Kartanegara, orang pertama dari Indonesia yang berhasil meraih mahkota juara "All England" (1959) juga tidak hidup dari bulutangkis. Setelah mengundurkan diri pada 1967 sebagai pemain, ia merantau sebagai pelatih. Pada 1969, ia melatih pemain-pemain Mexico dengan gaji $700 per bulan. Hanya dua tahun. Kemudian ia sempat selama setahun melatih pemain-pemain Hongkong dengan gaji $1000. Selebihnya ia hidup dari usaha Pest Control. (Usaha pemberantasan hama). "Memang kegiatan saya sekarang lebih korelatif dengan pendidikan yang saya peroleh, tidak terhadap karier saya semula," katanya mengakui. (Ia pernah belajar Kedokteran, tetapi kemudian menukarnya dengan Kimia di Baylor University, Texas). Yoe Hok mengatakan tidak yakin bisa hidup dari bulutangkis. Tetapi ia menyadari juga bahwa di antara relasinya sekarang ada yang pernah mengenalnya sebagai pemain. Langganan-langganannya terdiri dari instansi pemerintah dan perusahaan-perusahaan swasta. Usaha ini ternyata maju. Ia malah merencanakan membeli sebidang tanah untuk perkebunan. Jadi bulutangkis sudah ngak ingat lagi dah. Yoe Hok mulai melambung namanya pada 1958. Bersama Ferry Sonneville, ia ikut merenggut piala Thomas Cup yang sejak 1949 di tangan Malaya (sekarang Malaysia). Yoe Hok juga mencatat kemenangan gemilang atas jago-jago Denmark seperti Kobero dan Erland Kops. Tiba-tiba saja ia menjadi seorang pahlawan Ketika pulang dari Malaya dengan kemenangan, regunya diarak keliling kota dengam mobil terbuka. "Saya kaget juga atas sambutan itu," kata Yoe Hok "karena saya masih ingat, waktu berangkat ke airpot sebelumnya, saya hanya naik beca dari penginapan." Seingat Yoe Hok main badminton waktu itu hanya karena hobi, tanpa pamrih apa-apa. "Kalau ke luar negeri masing-masing pemain berangkat sendiri ke airport, kita cuma janji nanti ketemu di sana jam sekian," kata Yoe Hok. Pada 1959, dalam perjalanan mengikuti kejuaraan Kanada dan Amerika, Yoe Hok mulai melihat ke depan. Ismail bin Mardjan, salah seorany sahabatnya dari Malaysia berkata "Yoe Hok, selama dua atau lima tahun mendatang anda masih akan terus menang. Tapi sebaiknya anda fikirkan masa depan dan sekolah anda." Nasehat tersebut menambah tajam keinginan Yoe Hok yang sebelumnya sudah berminat untuk belajar di Amerika. Akhirnya ia berhasil mendapat bea-siswa dari gerejanya di Bandung Hok lahir di Bandung 1939. Menurut Yoe Hok, pembinaan yang diadakan sekarang masih menggunakan cara-cara dulu. "Sudah jadi baru dipoles," ujarnya. Ia juga melihat banyak bahaya bila hanya mengandalkan bakat alam. Karena. itulah tidak aneh kalau seorang juara seperti Rudy Hartono sekali terpukul susah sekali kembalinya. "Saya inginkan, patah tumbuh hilang berganti," ungkapnya tentang dunia perbulutangkisan Indonesia. Model Film Iklan Eddy Yusuf (49 tahun), pemain kidal, juara Indonesia 1954 juga memperoleh hidup lumayan setelah menaruh raketnya. Anak Ciamis ini, pernah mengalami hidup yang sulit -- menurut pengakuannya di sebuah harian ibukota, ia bahkan pernah menjual kiloan piala-pialanya. Tahun 1967 sampai dengan 1969 ia menjalankan opelet Jakarta-Cirebon. Kemudian jadi pegawai toko alat-alat olahraga. Baru 1972 bekerja di pabrik Bir Bintang. Sekarang pangkatnya sudah gede ia menjabat Public Relation Manager. Selain itu juga menjadi Ketua Asosiasi Industri Minuman Indonesia plus Wakil Ketua Bidang Industri Kadin Jaya. "Tapi biar kata saya bekas pemain Thomas Cup tak ada hubungannya dengan kwalifikasi saya di situ, saya mulai dari angkat botol dan catat-catat," ujarnya. Menurut Eddy Yusuf, nasib juara bulutangkis sekarang memang berbeda dengan juara-juara dulu. Tapi jelek-jelek ia juga pernah menerima sebuah mobil Toyota 700 cc dari pemerintah sebagai hadiah -- meskipun hanya dipasang sebagai pemain cadangan pada perebutan piala Thomas di Tokyo 1964. Maklum waktu itu Indonesia menang 54 atas Denmark. "Tapi hanya itu sajalah saya kira hadiah materi yang saya terima selama saya jadi pemain," ujarnya. Rumah yang ditempatinya sekarang, adalah cicilan dari perusahaan tempatnya kerja kini. Di zaman Eddy, pemain-pemain nasional berusaha meningkatkan prestasinya sendiri-sendiri tanpa pelatih. "Kita baru dapat pelatih untuk phisik resminya tahun 1964," ujarnya. Untuk teknik, ia dan rekan-rekannya mencari sendiri. Waktu itu ia memujikan Tan Yoe Hok sebagai tokoh yang paling menonjol dalam latihan. Dengan inisiatipnya sendiri ia skiping dan lari-lari sendiri. Pola-pola permainan juga hanya berdasarkan pengamatan terhadap pemain-pemain luar negeri. Tapi Eddy merasa sangat bangga karena ia ikut menentukan kemenangan Indonesia pada 1961 di Jakarta. Di babak final ia mencekek Narong dari Muangthai hingga kedudukan menjadi 6:3 untuk Indonesia. Menilai bulutangkis sekarang, Eddy menganggap lebih bermutu. "Sekarang speednya menonjol sekali," ujarnya. Tapi sebagai akibatnya jadi susah untuk dinikmati, karena terlalu cepat, seperti tenis meja. Ia juga membenarkan bahwa sekarang pembinaannya lebih terarah. "Sepanjang kita aktif di dunia bulutangkis, kita belum pernah punya pemain ganda setangguh sekarang," ujarnya memuji. Jago yang masih tetap aktif di lapangan meskipun sudah loyo, ada juga. Minarni misalnya. Setelah menjadi juara nasional berturut-turut sejak 1959 sampai dengan 1967, ia masih sempat ikut andil memboyong "Uber Cup" pada 1975. Pada 1970 ia mengalami cidera lutut di Asian Games, tatkala melawan Hiro Yuki. Seharusnya ia bisa menang, tinggal 3 point, tapi ia keburu jatuh dan digotong ke luar. Selama tiga tahun namanya tenggelam. Ternyata ia menikah dengan Sudaryanto, adik Retno Kustiyah. Setelah punya anak tiga tiba-tiba ia muncul lagi pada 1974. Ia mengkhususkan diri dalam permainan ganda dan berhasil tampil di Kejurnas 1974, berpasangan dengan iparnya. Pada 1975 dngan pasangan Regina Masli ia berhasil ikut memukul Jepang 5:2. Kata Minarni sejak 1970 pemain puteri Indonesia selalu disepelekan. "Saya buktikan bahwa orang Indonesia yang sudah punya anak masih bisa berprestasi," katanya dengan bangga, "nah sejak 1975 saya mengundurkan diri sebagai pemain, sudah puas toh?!" Meskipun sibuk sebagai pemain, Minarni sempat menamatkan SMA. Terus ke Akademi Maritim sampai tingkat II. Sekarang selain memiliki suami yang bekerja di Pantja Niaga, Minarni sendiri tetap menggantungkan hidupnya pada bulutangkis sebagai pelatih. Penghasilannya lumayan. "Tapi kalau seperti sekarang tak ada apa-apa, ya nganggur saja nggak dapat apa-apa juga," ujarnya. Selain mendapat fasilitas tempat tinggal di kompleks Senayan ia hanya mencatat hadiah deposito sebesar Rp 1 juta dari pemerintah -- atas andilnya merebut "Uber Cup". "Bunganya tiap bulan Rp 15 ribu, hanya cukup untuk beli susu bubuk anak-anak," ujarnya. Tapi sebagaimana juga Rudy Hartono, akibat ketenarannya Minarni sempat disambar rezeki iklan. Dua tahun yang lalu ia jadi model film iklan untuk keju Kraft dengan honor $1000. Belum lama ini juga dapat Rp 400 ribu untuk model film iklan Kao Feather Shampoo anti ketombe. Bahkan beberapa bulan yang lalu ia dapat sambungan telepon dan tv berwarna dari Philips. Jadi siapa bilang "Habis manis sepah dibuang?" Hanya saja sebagai pembina dan pelatih pemain puteri yang sukses di All England barusan, ia tidak kebagian apa-apa memang. "Kalau para pemain pada dapat hadiah, kita offisialnya nol," katanya sambil melingkarkan jari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus