MULYADI alias An Tjing Siang, bekas pemain bulutangkis nasional,
sekarang sudah terbilang kaya. Ia memiliki sebuah rumah besar di
Jember. Ia juga sudah mampu memberi hadiah rumah kepada kedua
orangtuanya yang masih tinggal di Surabaya. Tapi jangan lupa,
semua itu bukan karena bulutangkis.
"Saya sekarang jadi kontraktor," katanya kepada TEMPO
"sekarang saya pensiun jadi pemain bulutangkis, karena usia
semakin tua dan stamina menurun, mau apalagi sekarang kalau
nggak cari hidup. Saya sudah sadar selagi stamina saya tangguh
disanjung penggemar bulutangkis, mumpung belum diremehkan orang,
cepat-cepat saya mundur dari dunia yang paling saya cintai ini."
Jadi Makelar
Benarkah Mulyadi sudah tua? Usianya baru 37 tahun. Kawin pada
1974 dengan seorang wanita yang sudah jadi pacarnya selama 15
tahun. Sekarang ia dikaruniai dua orang yunior. Pada 1974 ia
menggondol juara nasional untuk pertama kalinya. Setelah itu
berturut-turut ia menunjukkan reputasinya dengan gigih, baik di
kandang maupun di negara orang lain. Pada 1973, ia melihat
raketnya mulai memberat, lalu digantungkannya selama-lamanya.
Mulyadi sekarang mungkin sudah terlalu tua sebagai seorang
pemain. Tetapi ia mencintai bulutangkis bukan main. Baginya
tidak berlaku pepatah "habis manis sepah dibuang" -- karena ia
segera putar haluan. "Saya ingin jadi pelatih yang baik,"
katanya waktu menggantungkan raketnya. Menurut pengakuannya pada
TEMPO, kendati pun ia sibuk cari makan untuk membiayai keluarga
dan rumahnya yang besar itu, bulutangkis tak akan
ditinggalkannya -- sampai ia meninggal.
Sebagai bekas juara, Mulyadi menyimpan kenang-kenangan yang
menyenangkan. Ia mendapat hadiah yang lumayan banyaknya, baik
dari pemerintah maupun pengagum-pengagumnya. Toh ia berusaha
untuk tetap punya kerjaan -- katanya risih kalau tak bekerja.
Mulyadi ini memang menghargai kerja. Betapa tidak, ia sudah
mengorbankan studinya gara-gara bulutangkis. "Sejak kecil saya
keranjingan bulutangkis, makanya meneruskan sekolah rasanya
tidak mamptl," katanya mengenangkan. Sejak kecil ia sudah punya
lapangan bulutangkis yang terawat apik, di desa kelahirannya
(Rambipuji, 10 km dari Jember). Untung saja pilihan itu berbuah.
Pada 1973 ia menentukan kemenangan Indonesia di Jakarta.
Ketika ia mencukur Svend Pri yang secara luar biasa berhasil
mengalahkan Rudy Hartono sebelumnya. Kemenangan Mulyadi yang
gemilang.
Setelah pensiun sebagai pemain, Mulyadi mencoba hidup jadi
makelar mobil bekas. Waktu itu ia mengalami banyak duka. "Orang
mengira jual beli mobil bekas banyak untung, salah-salah rugi
lho," ujarnya mengenangkan. Karena lubang itu mapet, pasaran
lesu, Mulyadi mencari lubang lain. Di sinilah bulutangkisnya
mulai lagi berguna. Ia banyak kenalan "orang-orang atasan" di
Pemda Jember. "Mereka sahabat dan murid saya," kata Mulyadi.
Dari mereka-mereka itulah Mulyadi kemudian mendapat "tcnder".
Tan Yoe Hok alias Hendra Kartanegara, orang pertama dari
Indonesia yang berhasil meraih mahkota juara "All England"
(1959) juga tidak hidup dari bulutangkis. Setelah mengundurkan
diri pada 1967 sebagai pemain, ia merantau sebagai pelatih. Pada
1969, ia melatih pemain-pemain Mexico dengan gaji $700 per
bulan. Hanya dua tahun. Kemudian ia sempat selama setahun
melatih pemain-pemain Hongkong dengan gaji $1000. Selebihnya ia
hidup dari usaha Pest Control. (Usaha pemberantasan hama).
"Memang kegiatan saya sekarang lebih korelatif dengan pendidikan
yang saya peroleh, tidak terhadap karier saya semula," katanya
mengakui. (Ia pernah belajar Kedokteran, tetapi kemudian
menukarnya dengan Kimia di Baylor University, Texas). Yoe Hok
mengatakan tidak yakin bisa hidup dari bulutangkis. Tetapi ia
menyadari juga bahwa di antara relasinya sekarang ada yang
pernah mengenalnya sebagai pemain. Langganan-langganannya
terdiri dari instansi pemerintah dan perusahaan-perusahaan
swasta. Usaha ini ternyata maju. Ia malah merencanakan membeli
sebidang tanah untuk perkebunan. Jadi bulutangkis sudah ngak
ingat lagi dah.
Yoe Hok mulai melambung namanya pada 1958. Bersama Ferry
Sonneville, ia ikut merenggut piala Thomas Cup yang sejak 1949
di tangan Malaya (sekarang Malaysia). Yoe Hok juga mencatat
kemenangan gemilang atas jago-jago Denmark seperti Kobero dan
Erland Kops. Tiba-tiba saja ia menjadi seorang pahlawan Ketika
pulang dari Malaya dengan kemenangan, regunya diarak keliling
kota dengam mobil terbuka. "Saya kaget juga atas sambutan itu,"
kata Yoe Hok "karena saya masih ingat, waktu berangkat ke
airpot sebelumnya, saya hanya naik beca dari penginapan."
Seingat Yoe Hok main badminton waktu itu hanya karena hobi,
tanpa pamrih apa-apa. "Kalau ke luar negeri masing-masing pemain
berangkat sendiri ke airport, kita cuma janji nanti ketemu di
sana jam sekian," kata Yoe Hok.
Pada 1959, dalam perjalanan mengikuti kejuaraan Kanada dan
Amerika, Yoe Hok mulai melihat ke depan. Ismail bin Mardjan,
salah seorany sahabatnya dari Malaysia berkata "Yoe Hok,
selama dua atau lima tahun mendatang anda masih akan terus
menang. Tapi sebaiknya anda fikirkan masa depan dan sekolah
anda." Nasehat tersebut menambah tajam keinginan Yoe Hok yang
sebelumnya sudah berminat untuk belajar di Amerika. Akhirnya ia
berhasil mendapat bea-siswa dari gerejanya di Bandung Hok lahir
di Bandung 1939.
Menurut Yoe Hok, pembinaan yang diadakan sekarang masih
menggunakan cara-cara dulu. "Sudah jadi baru dipoles," ujarnya.
Ia juga melihat banyak bahaya bila hanya mengandalkan bakat
alam. Karena. itulah tidak aneh kalau seorang juara seperti Rudy
Hartono sekali terpukul susah sekali kembalinya. "Saya inginkan,
patah tumbuh hilang berganti," ungkapnya tentang dunia
perbulutangkisan Indonesia.
Model Film Iklan
Eddy Yusuf (49 tahun), pemain kidal, juara Indonesia 1954 juga
memperoleh hidup lumayan setelah menaruh raketnya. Anak Ciamis
ini, pernah mengalami hidup yang sulit -- menurut pengakuannya
di sebuah harian ibukota, ia bahkan pernah menjual kiloan
piala-pialanya. Tahun 1967 sampai dengan 1969 ia menjalankan
opelet Jakarta-Cirebon. Kemudian jadi pegawai toko alat-alat
olahraga. Baru 1972 bekerja di pabrik Bir Bintang. Sekarang
pangkatnya sudah gede ia menjabat Public Relation Manager.
Selain itu juga menjadi Ketua Asosiasi Industri Minuman
Indonesia plus Wakil Ketua Bidang Industri Kadin Jaya. "Tapi
biar kata saya bekas pemain Thomas Cup tak ada hubungannya
dengan kwalifikasi saya di situ, saya mulai dari angkat botol
dan catat-catat," ujarnya.
Menurut Eddy Yusuf, nasib juara bulutangkis sekarang memang
berbeda dengan juara-juara dulu. Tapi jelek-jelek ia juga pernah
menerima sebuah mobil Toyota 700 cc dari pemerintah sebagai
hadiah -- meskipun hanya dipasang sebagai pemain cadangan pada
perebutan piala Thomas di Tokyo 1964. Maklum waktu itu Indonesia
menang 54 atas Denmark. "Tapi hanya itu sajalah saya kira hadiah
materi yang saya terima selama saya jadi pemain," ujarnya. Rumah
yang ditempatinya sekarang, adalah cicilan dari perusahaan
tempatnya kerja kini.
Di zaman Eddy, pemain-pemain nasional berusaha meningkatkan
prestasinya sendiri-sendiri tanpa pelatih. "Kita baru dapat
pelatih untuk phisik resminya tahun 1964," ujarnya. Untuk
teknik, ia dan rekan-rekannya mencari sendiri. Waktu itu ia
memujikan Tan Yoe Hok sebagai tokoh yang paling menonjol dalam
latihan. Dengan inisiatipnya sendiri ia skiping dan lari-lari
sendiri. Pola-pola permainan juga hanya berdasarkan pengamatan
terhadap pemain-pemain luar negeri. Tapi Eddy merasa sangat
bangga karena ia ikut menentukan kemenangan Indonesia pada 1961
di Jakarta. Di babak final ia mencekek Narong dari Muangthai
hingga kedudukan menjadi 6:3 untuk Indonesia.
Menilai bulutangkis sekarang, Eddy menganggap lebih bermutu.
"Sekarang speednya menonjol sekali," ujarnya. Tapi sebagai
akibatnya jadi susah untuk dinikmati, karena terlalu cepat,
seperti tenis meja. Ia juga membenarkan bahwa sekarang
pembinaannya lebih terarah. "Sepanjang kita aktif di dunia
bulutangkis, kita belum pernah punya pemain ganda setangguh
sekarang," ujarnya memuji.
Jago yang masih tetap aktif di lapangan meskipun sudah loyo, ada
juga. Minarni misalnya. Setelah menjadi juara nasional
berturut-turut sejak 1959 sampai dengan 1967, ia masih sempat
ikut andil memboyong "Uber Cup" pada 1975. Pada 1970 ia
mengalami cidera lutut di Asian Games, tatkala melawan Hiro
Yuki. Seharusnya ia bisa menang, tinggal 3 point, tapi ia keburu
jatuh dan digotong ke luar. Selama tiga tahun namanya tenggelam.
Ternyata ia menikah dengan Sudaryanto, adik Retno Kustiyah.
Setelah punya anak tiga tiba-tiba ia muncul lagi pada 1974. Ia
mengkhususkan diri dalam permainan ganda dan berhasil tampil di
Kejurnas 1974, berpasangan dengan iparnya. Pada 1975 dngan
pasangan Regina Masli ia berhasil ikut memukul Jepang 5:2. Kata
Minarni sejak 1970 pemain puteri Indonesia selalu disepelekan.
"Saya buktikan bahwa orang Indonesia yang sudah punya anak masih
bisa berprestasi," katanya dengan bangga, "nah sejak 1975 saya
mengundurkan diri sebagai pemain, sudah puas toh?!"
Meskipun sibuk sebagai pemain, Minarni sempat menamatkan SMA.
Terus ke Akademi Maritim sampai tingkat II. Sekarang selain
memiliki suami yang bekerja di Pantja Niaga, Minarni sendiri
tetap menggantungkan hidupnya pada bulutangkis sebagai pelatih.
Penghasilannya lumayan. "Tapi kalau seperti sekarang tak ada
apa-apa, ya nganggur saja nggak dapat apa-apa juga," ujarnya.
Selain mendapat fasilitas tempat tinggal di kompleks Senayan ia
hanya mencatat hadiah deposito sebesar Rp 1 juta dari pemerintah
-- atas andilnya merebut "Uber Cup". "Bunganya tiap bulan Rp 15
ribu, hanya cukup untuk beli susu bubuk anak-anak," ujarnya.
Tapi sebagaimana juga Rudy Hartono, akibat ketenarannya Minarni
sempat disambar rezeki iklan. Dua tahun yang lalu ia jadi model
film iklan untuk keju Kraft dengan honor $1000. Belum lama ini
juga dapat Rp 400 ribu untuk model film iklan Kao Feather
Shampoo anti ketombe. Bahkan beberapa bulan yang lalu ia dapat
sambungan telepon dan tv berwarna dari Philips. Jadi siapa
bilang "Habis manis sepah dibuang?" Hanya saja sebagai pembina
dan pelatih pemain puteri yang sukses di All England barusan, ia
tidak kebagian apa-apa memang. "Kalau para pemain pada dapat
hadiah, kita offisialnya nol," katanya sambil melingkarkan
jari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini