OESMAN Effendi (lahir di Padang 1919) muncul kembali di Ruang
Pameran TIM setelah absen tahun lalu. Setelah undur dari Jakarta
1972, untuk berlipat diri di Kota Gedang, OE kini mengetengahkan
tak kurang dari 40 lukisan dengan warna-warna meriah untuk
memamerkan produktifitasnya dan pencariannya.
OE berangkat dari kegelisahan yang lain. Bukan lagi "menemukan
abstraksi alam," dari ngarai dan bukit Sumatera Barat yang molek
itu. Lukisannya kini menawarkan kepada para penikmatnya untuk
ikut menghayati "hakekat melukis" sendiri.
Berhasil
Pada OE warna adalah warna. Adalah cahaya. Bukan dimanfaatkan
untuk meniru atau memindahkan isi alam. Tapi bermaksud
mengemukakan esensi setiap wujud baik sawah ngarai atau apa
saja. Sementara garis yang merupakan kekuatan utama pula pada
lukisannya, bukan lagi garis yang sebenarnya yang menganduqg
tenaga dan ekspresi, akan tetapi semata "rasa garis."
Ada persamaan dengan Rusli: mengajak orang ikut berproses.
Hanya saja kalau Rusli menawarkan banyak bidang putih kosong,
di mana penikmat seperti diberi ruang untuk mengikuti imajinasi
-- pada OE dengan kanvas yang penuh, harmoni keseluruhan
gambarnya membuat orang penasaran untuk ikut aktif. Ia tidak
memberi orang suguhan -- tapi mengajak "bekerja".
Namun mungkin karena usia, tenaga atau memang tema yang digarap
masih dalam proses, kita menemukan beberapa hal yang belum
selesai. Kalau dahulu lukisannya tampak "terkunci" dengan baik,
sekarang seperti belum mendapat kata akhir yang pantas. Ia
seperti menggantung, sulit mencari titik. Dengan demikian tampak
bahwa OE belum menemukan akhir babak yang sedang ditempuh.
Bagi beberapa orang yang biasa dengan hal-hal yang tuntas,
mungkin hal tersebut mengganggu. Sebaliknya bagi mereka yang
gemar mengamati proses, inilah justru saat di mana lukisan OE
menjadi sangat menarik. Lukisannya menjadi lebih longgar dan
membutuhkan partisipasi yang sebenarnya. Dengan kata lain, baik
dari warna maupun komposisi, ia menjadi lebih atraktif dan
membutuhkan "kawan".
OE adalah salah satu contoh usaha yang berhasil untuk
mempergunakan alam sebagai titik tolak kesenian kontemporer. Itu
amat penting terutama buat pelukis Indonesia yang tinggal di
kota. Lukisannya bukan semata gagasan yang divisuilkan,
sebagaimana banyak kita lihat pada senirupa modern Indonesia.
Pada OE gagasan tetap hanya bagian. Lukisannya bukan teori,
analisa, manipulasi teknis, tetapi petualangan "rasa".
Dengan 40 buah karya, OE kali ini tampak sebagai orang tua yang
gigih, yang terus bekerja tanpa menganggap pekerjaannya tugas
rutin. Sumbernya memang masih tetap bukit, ngarai, sawah,
motif-motif tradisionil Sumatera Barat. Tetapi kekayaan daerah
tersebut bukan menunggangi, bukan etalase. Ujarnya: "Apa yang
saya hasilkan tahun ini sebenarnya lebih merupakan
vignet-vignet."
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini