BARU dua minggu setelah Gunawan Simon diberhentikan dari keanggotaa IDI (2 April 1985), Kanwil mencabut izin praktek dokter yang sudah bikin heboh itu. Tindakar pencabutan izin praktek menyangkut nasib orang, sehingga menurut Kakanwil, dr. Rustandi M.P.H., harus berhati-hati. Walau sikap IDI sudah jelas - selain mencabut rekomendasi juga memecat Simon dari keanggotaar IDI -Rustandi masih juga menggali berbagai pertimbangan Antara lain, meminta pendapat pasien-pasien Gunawan Simon. Surat keputusan pencabutan izin praktek turun, pekan lalu, 17 April 1985. Salah satu yang dijadikan pertimbangan untuk mengeluarkan keputusan itu adalah pencabutan rekomendasi izin praktek dari IDI Cabang Bandung 4 April 1985, menyusul surat pemberhentian dari keanggotaan IDI tadi. Semua prosedur, menurut Rustandi, sudah dilalui. Selain memanggil Simon, juga dilakukan peninjauan ke tempat praktek Gunawan Simon. Bahkan Rustandi sendiri yang melakukan peninjauan itu. "Saya ini jadi penasaran, ada apa, sih, di sana, kok bisa jadi terkenal," ujar Rustandi pada wartawan TEMPO, Ida Farida. "Ternyata, tidak ada yang aneh, biasa-biasa saja." Tapi sampai Selasa pagi pekan ini, Gunawan Simon belum menerima SK terulis. Sementara itu, pada saat yang sama Kanwil sudah menyelenggarakan jumpa pers. Senin sore, Simon masih berpraktek. Kurang lebih lima paslen kelihatan menunggu. Agaknya memang banyak pasien Simon tak terpengaruh pemberitaan pencabutan rekomendasi IDI. Selain masih datang ke praktek Simon, ada pula yang mencoba membela. Rustandi mengutarakan, ia menerima sebuah surat imbauan yang ditandatangani 24 pasien dr. Gunawan Simon, yang isinya minta agar izin praktek Simon tidak dicabut walaupun ada juga keluhan tingginya honorarium yang dipetik. Tingginya imbalan memang salah satu pertimbangan pencabutan izin praktek. Di samping itu, pelanggaran Kode Etik, seperti dikemukakan IDI, dan pelanggaran ketetapan pemerintah yaitu memberikan obat secara langsung dari tempat praktek. Simon sendiri tampaknya tenang-tenang saja menghadapi pencabutan itu, dan tetap mengaku tidak merasa bersalah. "Kalau yang punya wewenang sudah menonaktifkan saya, ya saya turuti saja. Hitung-hitung istirahat," katanya. Ketika ditanyakan apakah secara ekonomis ia dirugikan, Simon menyatakan tidak. "Toh sebelum saya menjadi dokter, saya juga bisa hidup," katanya lagi. "Orang 'kan tidak harus hidup hanya sebagai dokter." Apakah itu berarti ia tak akan lagi berpraktek sulit dipastikan. Simon tak mau berkomentar tentang itu. "Tanpa papan nama pun seandainya ada yang datang minta tolong, saya berhak menolong. Atau, kalau saya tega, saya akan menolak," ujarnya diplomatis. Sekjen IDI Pusat, Dr. Azrul Azwar, berpendapat bahwa bila pasien yang datang ke praktek Simon adalah pasien gawat darurat, Simon memang diwajibkan menerimanya. Di luar itu, Simon tak berhak menerima pasien di praktek swasta, sekalipun tanpa papan nama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini