Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Tak terpisahkan capek, jazz, dan bir

Sejumlah eksekutif mencari dunia lain dengan mendatangi kafe. kafe yang menyuguhkan musik jazz jadi rebutan. tapi yang dicari bukan musiknya, tapi suasananya.

2 Oktober 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SABTU dua pekan lalu, di Kafe Jamz, Kebayoran, Jakarta. Jam menunjukkan pukul 21.45. Di muka loket berjeruji besi, sejumlah orang berdesak. ''Penuh, Bu, penuh,'' kata satpam di depan loket. ''Mau lihat sebentar saja,'' kata seorang perempuan bersepatu merah. Ruangan yang tidak besar itu memang betul-betul sesak. Di panggung, Idang Rasjidi yang tambun itu sudah berkeringat. Dengan kepala menggeleng dan mata terpejam, kedua tangannya terus berayun di atas papan tuts. ''Come with me... now...,'' lantunan penyanyi Kemala Ayu. Ia cuma bercelana jins. Blus kaus hitamnya berleher rendah, memperlihatkan tonjolan urat lehernya ketika menarik suara. Malam itu Jamz bagai ruang tamu besar. Hampir tak ada jarak antara pengunjung dan pemain musik. Penonton duduk santai di bangku-bangku panjang ala warung bakso. Satu bangku diisi lima orang. Alhasil, dari 28 bangku di 14 meja itu ada 140 orang. Belum lagi yang bersandar di tembok, di bawah potret sejumlah musisi jazz. Yang lain berdiri di tangga, hingga pelayan kerepotan membawa baki. Di depan toilet ada sedikit ruang, juga tak bersisa. Hampir semua pengunjung khusyuk menatap pentas The Jakarta All Stars. Pada malam yang sama, di Kafe Stage, basement pertokoan Ratu Plaza, Jakarta. Pukul 22.40. Luluk Purwanto berdiri di depan pub. ''Jazznya mana?'' tanya TEMPO. ''Nggak jadi,'' jawab Luluk. Kenapa? ''Sudah berapa kali kita undang pemusik jazz untuk jam session di sini, cuma dua orang yang mau datang,'' kata pemusik yang selalu mengenakan ikat kepala itu. Alhasil, pertunjukan di kafe malam itu diganti siter India. Penontonnya lebih banyak orang berambut pirang, seperti juga kemarinnya ketika Stage mementaskan kecapi Sunda. Masih pada malam yang sama, pukul 23.50. Kali ini di Kafe O'Reileys di Grand Hyatt Jakarta. Pengunjung pun sesak. Dua penyanyi berpakaian gaya 60-an bergantian menyanyi Be soft with me tonight.... Gadis-gadis dari grup In Session itu asyik sendiri dengan lagu popnya, sedangkan pengunjung hanya sekali-sekali melempar matanya ke panggung. Ada perempuan yang lebih senang bergelendot di bahu pasangannya. Maklum, malam Minggu. Yang lain duduk di muka bar. Yang berdiri asyik mengobrol dalam kelompok. Mereka modis, ganteng, rapi, dan wangi. Jangan lupa, ini kafe hotel kelas satu di Jakarta. Kita kembali ke Jamz di Kebayoran itu. Sudah pukul 01.30. Suasana sudah semakin panas selepas larut malam. Itu lantaran penyanyi kulit hitam Gino Demetrios Williams bersama grup Premiere pintar melibatkan penonton. Ketika grup musik dari Dallas, AS, itu berhenti main, pengunjung protes. ''More..., more,'' ujar penonton. Si penyanyi kulit hitam menyambut dengan teriakan, ''Kamu mau minta tambah lagu? Kamu sendiri tidak menikmati lagunya, kan? Come on,'' katanya sambil naik ke atas meja. Rupanya ia mengajak penonton menikmati musiknya dengan berajojing di atas meja. Wow, ajakan itu bersambut. Hampir semua orang kontan memanjat-manjat, naik ke meja. Laki, perempuan, segala usia. Termasuk Peter Gontha, yang bersama Henry Pribadi dan Jimmy Suciawan mendirikan Jamz ini dengan modal Rp 7 miliar. Kota Jakarta memang insomnia, susah tidur, apalagi pada malam Minggu. Maksudnya, pada sekelompok warganya yang berduit. Mari kita sapa mereka sejenak. Tito Sulistio, 38 tahun, malam itu muncul di Jamz pukul 11 malam lebih. Turun dari Baby Benznya, Presiden Direktur Penta Finance itu memaksa masuk kendati penjaga pintu bilang penuh. Ia datang bersama istrinya. Dan ikut bergoyang di atas meja. ''Mau nggak mau saya ikut, sudah kebawa suasana,'' katanya. Kafe sudah menjadi bagian dari gaya hidup Tito. ''Paling tidak seminggu sekali saya ke kafe,'' kata bapak tiga anak ini. Tito orang sibuk. Kerjanya di bidang jual-beli saham itu meminta curahan waktu 10 sampai 12 jam sehari. ''Minimal tiap hari ada dua rapat dan dua tamu, belum lagi telepon,'' kata master bidang akuntansi dan keuangan itu. Jadi, usai kerja, Tito perlu ''dunia yang lain''. Dunia itu namanya kafe. Kenapa kafe? Karena untuk pergi ke kafe tak perlu dandanan khusus. Tito tinggal membuka jas Giorgio Armani-nya, lalu menggulung lengan baju putihnya, langsung ke kafe atau pub dari kantornya yang megah di gedung World Trade Centre. Kadang ia ke captain's bar di Hotel Mandarin, atau ke O'Reileys di Grand Hyatt, dan kini ke Jamz, kafe terbaru di Jakarta. ''Musiknya enak, sound system-nya good,'' kata Tito. Tito memilih pub yang lagunya tidak terlalu bising. ''Jadi, masih bisa ngobrol dan ketawa-ketawa,'' kata pengusaha muda ini. ''Kalau lagu rock, aduh.'' Tapi, kata Tito lagi, di kafe- kafe kok tidak ada yang menjual pisang goreng atau tahu isi. Bintang favorit Tito: Jacky, penyanyi lagu-lagu jazz. Tapi ia terhibur sekali dengan Rebecca Lily dan band Priemere. Namun ia berterus terang, kalau ke kafe niatnya bukan mengapresisasi musik. Ia hanya ingin lepas dari kesibukannya. Lain dengan Mohammad R. Kaffah, 26 tahun. Ia penggemar berat musik jazz. Dan ia ke warung-warung minum itu untuk mencari seni improvisasi lagu. ''Capek, jazz, dan bir adalah tiga hal yang tak bisa dipisahkan,'' kata asisten manajer di Bukaka Teknik Utama itu. Konon, badannya baru bisa regang oleh irama jazz dan tegukan bir. ''Rata-rata dua hari sekali saya ke pub,'' kata pria lajang yang baru awal tahun ini kembali dari Amerika Serikat itu. Kaffah merasa konsep ''capek, jazz, dan bir'' baru bisa dipuaskan belakangan ini di Jakarta setelah berdiri Jamz. ''Di sini benar-benar tempat buat dengerin musik. Jazz all the time,'' kata sarjana dari Universitas Houston, Texas itu. Maklumlah, musisi favoritnya Embong Rahardjo, yang main di Jamz dua kali seminggu. Kota Bandung tak ketinggalan. Ada Kintamani Music Cafe di Jalan Lombok, yang menyediakan hari Kamis dan Sabtu untuk jazz. Yang lain Fame Station di Lippo Building. Hotel-hotel besar seperti Panghegar dan Savoy Homan tak kekurangan penonton pada acara Sunday Jazz. Di klub eksekutif Bumi Sangkuriang kerap juga diselenggarakan acara jam session. Pengisinya, ya, dia-dia juga: Ireng Maulana, Embong Rahardjo, Bubby Chen. Menurut Ida Arimurti, yang sehari-hari penyiar di Radio Prambors Jakarta, kafe atau pub belakangan ini tumbuh karena musiknya. ''Pengelolanya sudah mengatur bisnis hiburan dengan lebih baik,'' katanya. Dan itu, katanya, bukan semata karena jazz. Justru karena kini orang makin punya banyak pilihan. Hampir semua kafe atau pub yang bertebaran di Segitiga Emas Jakarta menjadwalkan berbagai kelompok aliran musik. Ada hari musik pop, lalu jazz, blues, reggae, rock, dan seterusnya. Malah tersedia pula musik- musik nostalgia, back to sixties, seperti di Tavern dan Newscafe. Artinya, pub-pub itu mencoba menjaring berbagai jenis konsumen. Itu sebabnya, kata Ida, kafe atau pub makin nyaman. ''Memang kafe dengan musik jazz lebih enak,'' kata Ida. Karena di tempat seperti itu bisa bertukar pikiran dengan lebih detail ''Suasananya membuat kita bisa ngobrol dengan enak. Kalau di kantor atau di telepon ngomongnya kan saklek,'' katanya. Pemusik Bandung nan nyentrik, Harry Roesli, sependapat bahwa orang ke kafe itu untuk membeli ''suasana'', bukan musiknya. Harry sendiri suka ke pub Laga di Jalan Terusan Pasteur. Alasannya, karena atmosfer itu tadi. ''Saya suka suasana yang nggak formal,'' kata bapak dua anak itu. Di pub itu Harry diizinkan masuk dengan celana pendek dan sandal jepit. ''Pernah juga pakai sarung,'' kata Harry. ''Musik? Apa sih bedanya musik yang ditawarkan masing-masing pub?'' kata Harry. ''Kalau dibilang jazz, paling jazz yang begitu, jazz rock, jazz pop.'' Mungkin juga pemain musik tak bisa disalahkan. Coba saja duduk di Jazz 'n Rock Kafe di gedung ATD Plaza, Jakarta. Hari Senin, Rabu, Jumat adalah pentas kelompok jazz. Grupnya Mates O Band dengan penyanyi Jacky. Kendati sudah dibilang malam jazz, penonton toh meminta lagu pop Lionel Richie, Stevie Wonder. Semua dilayani Jacky dengan baik. Hal semacam ini meresahkan penikmat pub semacam Danny Jozal, Presiden Direktur BASF. Ia jadi tak punya banyak pilihan. Soalnya, Danny lebih nyambung dengan mainstream jazz. Sedangkan, ''Yang berkembang di kafe-kafe sekarang ini fusion, rock jazz, yang nggak saya mengerti,'' kata penggemar Louis Armstrong dan Count Bessy itu. Sebenarnya, kata Danny, musisi jazz kita juga bisa main mainstream jazz. ''Tapi mereka tidak mau. Mungkin dianggap kuno dan kurang pasarnya,'' kata Danny. Dan mengapa jazz semacam itu yang laris, kata violis kondang Luluk Purwato, karena, ''Masyarakat pencinta jazz kita lebih open.'' Maksud Luluk, ''gampang menerima apa saja, nggak rewel''. Jadi, hiburan atau seni musik apa yang akan diperkenalkan, ''tergantung musisinya, mau memberi pertunjukan seperti apa,'' katanya. Sebenarnya di Indonesia, kata Luluk, musisi jazz banyak, penggemar jazznya juga tidak sedikit. ''Tapi musisi jazznya lebih banyak yang jadi penghibur atau mengiringi penyanyi,'' katanya. Luluk kini menjadi manajer bagian hiburan di Stage. Di kafenya ada Monday Jazz dan Tuesday Jazz. Sebenarnya wawasan musik jazz itulah yang hendak dicapai Jamz buka awal Agustus lalu. ''Menu utama kami musik. Ada Indra Lesmana trio, Oele Pattiselano, bergantian dengan orkes impor. Makanan dan minuman nomor dua. Itu bedanya kami dari pub lainnya,'' kata Roy Mesmana, Manajer Operasional Jamz. Apa pun alasan orang ke pub jazz, tak mengapa, kata Remy Sylado. Maklumlah, kata Remy, jazz itu menunjukkan ''kelas selera'' tertentu: elite, eksklusif. Kalau kini muncul pub jazz di Ibu Kota, itu hanya pengulangan dari klub-klub jazz yang pernah ada pada zaman Batavia tahun 20-an, misalnya di Lokasari. Kalau sekarang jazz populer di kalangan itu, bukan tak mungkin karena snob saja. ''Belum tentu mereka yang mengaku senang jazz itu betul-betul mengerti jazz,'' kata Remy kepada wartawati TEMPO Siti Nurbaiti. Itu cuma sarana untuk masuk kategori kelompok menengah atas. Tapi snob itu bukan hal yang buruk. ''Sebab, snob itu bisa menjadi langkah pertama untuk mengenal jazz dan akhirnya ia mulai mengapresiasikannya,'' katanya. Selasa, 21 September 1993. Pukul 23.00 di Jamz. Hampir tengah malam, dan bukan malam Minggu. Toh ruangan kafe itu tetap penuh. Di antaranya ada ibu-ibu rumah tangga. ''Di sini enak, tak ada beban,'' kata seorang ibu berusia 32 tahun. Ya, tapi di sudut Jakarta yang lain, banyak orang-orang yang keberatan beban. Bunga Surawijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus