Dalam tulisan ''Sudah Miskin, Diperas Pula'' (TEMPO, 11 September, Nasional) terdapat kesan bahwa TEMPO meletakkan gejala pekerja anak terlalu condong ke konteks peraturan dan politis. Menurut saya, justru regulasi peraturan dan budaya politik itulah yang mengacaukan kejernihan masalah hak-hak anak untuk bekerja. Kita semua mafhum, akhir-akhir ini ada sindrom psikopolitis di seputar masalah ketenagakerjaan sehubungan dengan adanya ancaman pencabutan GSP oleh Amerika. Namun hendaknya jangan sampai hal ini mengorbankan dimensi sosiologis dan tingkat pencapaian pembangunan yang masih pada taraf awal pertumbuhan dan pemerataan, lebih-lebih yang menyangkut hak-hak anak yang terjun bekerja. Secara sosiologis, sekurangnya dalam dua puluh tahun terakhir ini, kita sedang menyaksikan adanya pergeseran konsep tentang nilai ekonomi anak (economic value of children). Hipotesa lama umumnya menyebutkan bahwa semakin miskin sebuah keluarga semakin tinggi nilai ekonomi anak dalam keluarga itu, sehingga semakin mendorong anak terjun bekerja pada usia dini. Hipotesa ini banyak dikunyah oleh para ahli dalam penelitian, di antaranya oleh Kuntjaraningrat dan Benyamin White, dan oleh pelaku penelitian lain sebelum tahun 1980-an. Pada tahun 1985, Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) masih melihat relevansi hipotesa ini di Kismantoro, Wonogiri, Jawa Tengah, karena tingkat kemiskinan masyarakat sudah cukup parah. Keparahan ini barangkali yang juga menyebabkan perilaku keluarga berencana (KB) di daerah itu justru cenderung positif. Namun di Onggowangsan, Purworejo, PPM melihat gejala penyimpangan. Justru karena nilai ekonomi anak yang nyata, orang tua cenderung semakin bersemangat menyekolahkan anaknya. Rupanya faktor urbanisasi yang telah masuk ke stadium kedua yang mendorong anak justru berusaha mencapai pendidikan, setidaknya sampai SLTA. Di desa selatan Purworejo ini diketahui perilaku KB cenderung negatif. Dan penyebabnya, itu tadi, urbanisasi yang telah mencapai maturitas. Pada tahun 1985, ketika menjadi Koordinator ''Survei Buruh dan Pekerja Anak'', proyek kerja sama FBSI dengan YKAI, penulis menemukan keterangan bahwa hanya anak yang berasal dari keluarga sangat miskin yang terpaksa terjun bekerja. Padahal, saat itu, mereka seharusnya duduk di bangku sekolah. Di perkotaan dan lingkungan industri, peristiwa anak bekerja juga didorong oleh adanya antecedent variables. Misalnya, godaan untuk mencari uang dan pengalaman, serta kebiasaan dan budaya. Jadi, penyebabnya bukan hanya faktor push, tapi ada juga unsur pull-nya. Jika benar di Glugur, Medan, kata TEMPO, ada anak yang bekerja pukul 7 pagi sampai 11 malam, saran saya agar dilakukan pengecekan ulang. Barangkali itu peristiwa insidental. Rasanya, di sektor wage employment, bahkan pekerja dewasa pun tidak akan mau jika disuruh bekerja terus-menerus. Sedangkan gejala anak bekerja menangkap ikan di perairan timur Sumatera Utara secara paksa (?), barangkali ini adalah tipikal kondisi budaya masyarakat, sehingga tidak pantas disajikan dalam berita yang punya risiko berhadapan langsung dengan dicabutnya GSP. Apa pun keadaannya, jika dilihat secara sosiologis, pekerja anak di Glugur lebih berbahagia daripada kebanyakan pekerja anak yang lain. Soalnya, dia bisa mendapat upah Rp 15.000 per minggu, atau Rp 60.000 per bulan. Di sini barangkali kita tidak bisa kompromi jika masalahnya sudah menyangkut standar upah minimum. Namun, apa yang harus dikatakan di sektor self- employed, khususnya di lapangan kerja informal pembantuan, termasuk pula dalam gejala cultural bias tadi, bukan hanya pekerja anak yang sukar dikuantifikasikan upahnya. Dari penghayatan saya di bidang kemasyarakatan, peristiwa anak terjun bekerja bukanlah momok. Kemomokan inilah yang justru menyukarkan anak dalam pekerjaannya, dan dalam mencari pekerjaan di sektor formal. Anak terjun bekerja pasti ada sebabnya. Gejala ini bukan hanya gejala Indonesia, bukan hanya gejala Amerika, tapi gejala dunia. Perlindungan terhadap hak anak untuk terjun bekerja adalah bagian dari hak asasi yang esensial bagi anak. Termasuk perlindungan terhadap hal-hal yang menyebabkan anak terganggu pelaksanaan kerjanya, misalnya karena adanya peraturan. Setiap terjadi gelombang law enforcement terhadap usia kerja, kita menyaksikan kesukaran segera menimpa anak untuk masuk ke lingkungan pabrik. Restriksi usia jika menyebabkan pengurangan hak-hak anak untuk bekerja jelas bertentangan dengan UUD 1945 tentang hak setiap warga negara untuk bekerja dan memperoleh penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Masalahnya, pertama, perlindungan terhadap anak yang bekerja justru diwujudkan dalam pemberian insentif bagi pemberi kerja yang mampu memberi batasan jam kerja dan hak atas standar upah minimum jam kerja penuh. Kedua, kita menyambut baik strategi kependidikan link and match dan dual system yang dicanangkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yang juga getol mengupayakan sekolah terbuka untuk semua jenjang pendidikan, khususnya dalam rangka wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Kedua strategi kependidikan tersebut inheren dalam sistem sekolah terbuka. Persoalannya adalah anak yang bekerja pasti ada sebabnya, dan sebagian besar sebab bukan berasal dari anak itu sendiri. Persoalannya bukan GSP. ALI MUSTAFA TRAJUTISNA Asosiasi Pedagang Kakilima se-Indonesia Pusat Peranserta Masyarakat (APKLI-PPM) Jalan Kalibata Timur 31A Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini