Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAGI baru mulai ketika Luh Gede Yuli terbangun. Anak berumur 11 tahun ini menyambut pagi dengan aktivitas rutinnya: mandi, sarapan, dan berangkat ke sekolah. Sesekali tawanya mengambang di udara. Padahal, "Lima bulan setelah peristiwa, ia jadi anak yang cengeng, pelamun, dan pemalas," sang ibu, I Ketut Jondri, 33 tahun, mengenang.
Jondri sedang berkisah tentang tragedi yang dialaminya bersama Yuli. Bom jahanam 12 Oktober tahun lalu merenggut nyawa suaminya, I Ketut Cindra. Saat ledakan terjadi, Cindra yang sopir itu tengah mangkal di depan Sari Club, Kuta, Bali. Berita kematian Cindra mengambrukkan Jondri, sedangkan tangis Yuli meledak membelah langit.
Sejak saat itu, Yuli kerap mengumbar tangis bila teringat pada sang ayah. Kalau malam tiba, Yuli teramat sulit memicingkan mata. Pikirannya selalu mengapung, mengenang sang ayah. Beban Yuli kian bertambah karena sang ibu mengalami masalah serupa. Jondri menjadi pemurung dan emosinya mudah meletup. "Saya bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan," kata Jondri.
Kebingungan serupa dirasakan Ngurah Anom, 32 tahun. Laki-laki yang dulunya kepala satuan pengamanan sebuah restoran di Kuta ini mengalami luka di mata kiri dan telinga akibat ledakan. Trauma fisik ini membuatnya harus dioperasi hingga tujuh kali dan ia pun mesti merelakan daun telinga sebelah kirinya diamputasi.
Setahun setelah peristiwa itu, pendengaran Anom belum pulih. Begitu juga penglihatan kirinya. Di saat begini, perusahaan tempat Anom bekerja memintanya mengundurkan diri. Stres karena trauma fisik, disusul kehilangan pekerjaan, membuat Anom susah tidur. Ia pun kerap marah-marah tanpa alasan.
Menurut Wayan Dedik, field manager counterpart International Medical Corps (IMC)—lembaga internasional yang mendampingi korban ledakan bom Bali—trauma psikologis yang dialami korban ledakan bom dikenal dengan nama post-traumatic stress disorder (PTSD). Menurut Livia Iskandar-Dharmawan, psikolog dari Yayasan Pulih, yang mendampingi korban ledakan bom Marriott, PTSD bisa muncul dalam waktu cepat seusai kejadian, bisa juga muncul lama setelah kejadian.
PTSD ditandai dengan stres, ketakutan yang berlebihan, gelisah, rasa curiga pada orang lain, pemurung, pemarah, penyendiri, kecewa, mimpi buruk, menyalahkan diri sendiri dan orang lain, serta gejala lainnya. Sedangkan pada anak-anak, PTSD bisa dilihat dari gejala-gajala stres, mengompol, menangis, atau takut akan gelap, dan gejala khas lainnya.
Berdasarkan taksiran yang dilakukan IMC di wilayah Kuta, Bali, dengan mengambil sampel 2.120 orang, ternyata 7,6 persen di antaranya mengalami gangguan PTSD dan 4 persen masuk kategori sangat terganggu.
IMC bergerak cepat. Untuk orang dewasa, dilakukan konseling dalam kelompok. Caranya adalah membuat dialog yang maksimal anggotanya 15 orang. Tiap orang diberi kesempatan mengungkap isi hati, lalu ditanggapi oleh anggota kelompok dengan bimbingan seorang psikolog.
Untuk anak-anak, konseling dilakukan tak langsung melalui serangkaian kegiatan. Misalnya menggambar dengan tema kebersamaan, perbedaan, keragaman, dan toleransi. Dilakukan pula kegiatan rekreatif dan harmonisasi dengan alam. "Sehingga anak tidak sadar sedang menjalani terapi," ujar Wayan Dedik. Terapi buat anak-anak ini dilakukan dengan mengikutsertakan orang tua mereka. Hal ini penting untuk meningkatkan rasa saling percaya, sekaligus memperbaiki komunikasi di antara mereka.
Model pendampingan psikolog dan pelibatan keluarga juga dilakukan oleh Livia. Saat ini, korban bom Marriott yang ditangani Yayasan Pulih berjumlah 59 orang. Dua bulan setelah ledakan, menurut Livia, dilakukan penggalangan dukungan dari keluarga dan kerabat dekat korban. "Sebab, biasanya korban lebih terbuka kepada keluarga dan kerabat dekat," ujar Livia. Dukungan orang terdekat, menurut Livia, membuat proses pemulihan lebih cepat karena tumbuh rasa kebersamaan dan rasa diperhatikan.
Kini Jondri lebih tegar menyongsong hidup. Ia melalui hari-harinya dengan menjalankan usaha garmen kecil-kecilan. Sedangkan Yuli dengan riangnya berkejaran dan pergi ke sekolah. Jondri dan Yuli memang terbilang cepat pulih. Sementara itu, korban yang lain masih berkutat dengan terapinya. "Kami tidak tahu kapan terapi akan dihentikan," ujar Wayan Dedik.
Agus Hidayat, Rofiqi Hasan (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo